Peneliti Kewarganegaraan, Swandy Sihotang: Perlu Kejelasan Wewenang Terkait Wacana Pencatatan Perkawinan Semua Agama di Kantor Urusan Agama

96
Swandy Sihotang
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – WACANA tentang pencatatan perkawinan semua agama di KUA terus bergulir di tengah masyarakat sejak Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas menggulirkan wacana tentang KUA sebagai sentral pelayanan semua agama, baik pencatatan perkawinan maupun tempat pernikahan, pada pertengahan Februari 2024 lalu.

Pro dan kontra pun bermunculan, terlepas dari tujuannya yang mulia yakni mengoptimalkan fungsi KUA. Bahkan tak butuh waktu lama bagi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik (Ditjen Bimas Katolik) Kementerian Agama (Kemenag) untuk merespons wacana tersebut. Sebuah pertemuan koordinasi dengan perwakilan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) berlangsung pada awal Maret 2024 lalu. Pemapar utama adalah Swandy Sihotang, peneliti dari Yayasan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI)/Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

Swandy Sihotang (kiri) saat berbincang-bincang dengan Wartawati Katharina Reny Lestari.

Wartawati Majalah HIDUP Katharina Reny Lestari berkesempatan mewawancarai secara khusus Swandy Sihotang di bilangan Jakarta Barat pada awal April 2024 lalu.

Petikan wawancaranya sebagai berikut:

Apa hasil dari pertemuan koordinasi tersebut?                 

Ini instruksi dari Menteri Agama. Saya belum pernah dengar tanggapan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Menteri Agama mau KUA mencatat perkawinan semua agama. Jadi bukan cuma Islam. Sebenarnya ini yang sedang didiskusikan banyak pihak – Muslim dan non-Muslim, apakah menguntungkan atau tidak. Cenderung diskusi lalu melihat soal pelayanan yang universal. KUA tidak hanya melayani satu agama tapi semua agama.

Menurut saya, hal yang menarik adalah usulan itu bagus dan menarik ketika usulan itu dibatasi dalam hal kewenangan. Tapi dalam hal pelayanan, usulan itu menarik sekali, bagus sekali, karena KUA ada di hampir semua kecamatan.

Selama ini Muslim mencatatkan perkawinan di KUA, sementara non-Muslim mencatatkan perkawinan di Pencatatan Sipil. Ini yang dianggap sebagai perbedaan. Ada masalah tidak? Dari sisi pelayanan, bagi saya menarik sekali. Tapi dari segi kewenangan, ini menjadi persoalan karena ada universalitas Pencatatan Sipil.

Pencatatan Sipil bukan buatan orang Indonesia. Pencatatan Sipil adalah sistem registrasi intenasional, jadi syarat dan ketentuannya harus sama. Kalau tidak, tidak berlaku di negara lain. Itu persoalannya.

Selain pencatatan perkawinan, ada juga pencatatan kelahiran, kematian, kelahiran anak, pengesahan anak, pembatalan perkawinan.

Misalnya kewenangan ini diambil KUA, padahal KUA ada di bawah Kemenag. Saat ini yang diterbitkan KUA adalah buku nikah Muslim. Di buku nikah tertulis Kemenag. Kalau Pencatatan Sipil, akta perkawinan non-Muslim tertulis civil registration. Yang berlaku internasional adalah civil registration. Di luar ini tidak berlaku.

Artinya selama ini pencatatan perkawinan di KUA tidak berlaku di luar negeri?

Tidak berlaku otomatis. Setahu saya, buku nikah Muslim ketika perlu dipakai di luar negeri harus dilegalisir di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dengan catatan bahwa buku nikah yang ditebitkan Kemenag sama dengan pencatatan perkawinan yang diterbitkan Pencatatan Sipil. Ini baru sah.

Apa beda antara pelayanan dan kewenangan?

KUA punya kantor di kecamatan, sementara Pencatatan Sipil punya kantor di kabupaten. Jadi ketika seseorang mau mengurus akta perkawinan di Pencatatan Sipil, ia mesti pergi jauh ke kabupaten. Sementara kecamatan lebih dekat, silakan kecamatan menerima pencatatan perkawinan hanya sebagai loket saja. Ketika ada orang mendaftar, masing-masing masuk ke jalur masing-masing: Muslim masuk ke KUA atau Kemenag, non-Muslim masuk ke Pencatatan Sipil atau Kemendagri. Jadi kewenangan tetap pada kementerian masing-masing. Ini baru menarik.

Swandy Sihotang, Peneliti Yayasan Institut Kewarganegaraan Indonesia (kanan) sedang menyampaikan paparan di Kantor Ditjen Bimas Katolik Kemenag RI di Jakarta. Acara ini dihadiri jajawan Konferensi Waligereja Indonesia.

Tapi kalau kewenangan juga diambil, ini bukan kemajuan tapi kemunduran. Ketika kita ke luar negeri dan dibutuhkan akta perkawinan di sana, kita harus kembali ke Indonesia untuk melegalisir buku nikah.

Banyak orang belum paham soal pencatatan perkawinan yang bersifat universal. Mengapa?

Pencatatan Sipil mulai di Prancis tahun 1789 ketika terjadi kerusuhan. Masyarakat memberontak. Semua gedung pemerintah dibumihanguskan. Semua lembaga yang berkaitan dengan pemerintah dibakar. Kecuali satu, lembaga Gereja.

Ketika Revolusi Prancis sudah reda, negara menata pemerintahan baru tapi tidak tahu berapa jumlah penduduk karena semua data sudah hangus. Mereka juga tidak tahu berapa jumlah orang yang meninggal. Data penduduk tidak ada. Kemudian muncul ide bahwa data ada di Gereja karena Gereja punya data baptisan, Komuni, Krisma, pernikahan. Semua didata. Kemudian pemerintah baru bekerja sama dengan Gereja untuk mengadopsi data ini. Makanya praktis sama.

Karena hal ini dianggap baik, banyak negara lain juga mengadopsinya, termasuk Belanda. Ketika Belanda ke Indonesia, hal ini juga diterapkan. Makanya Indonesia punya sistem Pencatatan Sipil.

Awalnya sistem Pencatatan Sipil di Indonesia hanya untuk orang-orang Belanda karena orang Indonesia dianggap martabatnya lebih rendah. Masalah timbul ketika orang Belanda menikahi orang Indonesia. Untuk perkawinan, suami-istri harus dicatat. Akhirnya Belanda membuat aturan Pencatatan Sipil berlaku hanya untuk orang Indonesia yang mau menurut saja: mengikuti aturan Pencatatan Sipil.

Kemudian berkembang. Tapi banyak Muslim menganggap Pencatatan Sipil hanya untuk non-Muslim. Itulah salah satu penyebab kenapa muncul pencatatan perkawinan di KUA. Ini sejarahnya.

Sejak kapan pencatatan perkawinan di KUA mulai berlaku?

Tidak lama setelah Indonesia merdeka. Pencatatan Sipil dulu dianggap sebagai kantor kafir. Stigma ini kuat sekali, khususnya di Sulawesi. Ini yang menyebabkan kesalahan mayoritas terjadi. Akhirnya database kita tidak satu.

Pencatatan perkawinan, kelahiran, kematian, dan lain-lain dilakukan Kemendagri dengan database bernama SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan). Pencatatan perkawinan Muslim dilakukan di KUA dengan database bernama SIMKAH (Sistem Informasi Manajemen Nikah. Dua database ini tidak nyambung. Sekarang baru disambung-sambungkan, dibikin link antara dua database ini, tapi belum maksimal.

Sehingga ketika kementerian mana pun ditanya tentang jumlah perkawinan, tidak ada yang tahu. Badan Pusat Statistik (BPS) membuat data 10 tahun sekali, berkala. Sementara setiap hari ada orang yang menikah, siapa yang mencatat? Maka kita tidak punya data update tentang perkawinan. Tidak punya satu database yang mengetahui jumlah perkawinan.

Apakah bisa usulan Menteri Agama direalisasikan apabila belum ada integrasi data?

Hanya sebagai loket atau pelayanan saja sudah bagus sekali. Ini kemajuan luar biasa dari Menteri Agama. KUA memfasilitasi kementerian lain. Tapi ini juga berkaitan dengan Sumber Daya Manusia (SDM), anggaran. Apakah dari Kemenag atau Kemendagri? Meski ini tidak gampang juga. Perlu SDM, anggaran, sarana-prasarana.

Jika sebagai loket atau pelayanan saja bisa segera direalisasikan? 

Belum ada kesepakatan soal ini. Ini baru usulan. Menteri Agama minta semua Bimas untuk membahas usulan ini. Baru tahap itu. Titiknya mau ke mana, belum tahu. Kalau baca koran, ada sekitar 40 hal yang akan diterapkan di KUA. Tapi tidak bicara ini wewenang siapa.

Usulan Menteri Agama bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi KUA. Tanggapan Anda?

Saya belum tahu sejauh mana soal kewenangan nanti. Pasti Kemendagri tidak mau. Kemendagri mengerti bahwa ada universalitas Pencatatan Sipil. Jadi ini bukan memudahkan. Ini menyulitkan warga negara ketika mereka berhubungan dengan negara lain. Saya coba cari statement dari Kemendagri. Belum pernah saya dengar soal kewenangan ini. Baru dari Kemenag.

Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas

Lantas seberapa besar peluang usulan Menteri Agama bisa terwujud?

Sebagai pelayanan, kemungkinan besar akan diterima Kemendagri. Tapi untuk kewenangan, saya kira Kemendagri paham persoalannya. Ini bukan kemajuan tapi malah kemunduran. Pencatatan Sipil bukan hanya pencatatan perkawinan. Ketika satu data diambil, data tidak akan lengkap. Datanya tercerai-berai sehingga kita tidak punya satu database yang utuh.

Bagaimana dampaknya nanti?

Harusnya berpikir secara menyeluruh, baru step by step. Tapi ketika desain utuhnya tidak ketemu dan dimulai dengan step awal, kadang-kadang ini salah.

Pencatatan perkawinan di Pencatatan Sipil merupakan aturan dari United Nations (UN). Jadi negara-negara anggota UN harus tunduk pada aturan ini. UN selalu memberikan training segala macam, termasuk soal Pencatatan Sipil.

Jika demikian, kira-kira apa alasan Menteri Agama mengusulkan hal ini?

Saya lihat Menteri Agama tidak hanya memikirkan Islam, tapi semua agama. Tidak diskriminatif. Masak lembaga negara hanya melayani satu agama. Mulia tujuannya. Itu di satu sisi. Tapi di sisi lain, mungkin dia belum terlalu melihat dampaknya. Mungkin koordinasi dengan Kemendagri belum terlalu mendalam.

Usulan Menteri Agama bagus sekali. KUA sebagai tempat pelayanan semua agama. Saya setuju sekali. Terkait tempat pelayanan, ini harus dilihat satu per satu, tidak mengambil kewenangan kementerian lain. Sebaiknya Kemenag dan Kemendagri duduk bareng, sejauh mana sampai ke level teknis.

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 16, Tahun Ke-78, Minggu, 21 April 2024

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here