web page hit counter
Minggu, 6 Oktober 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Benvenuto Padre Francesco (3): Merebut Kredibilitas Kultural

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – MEMBUNGKUKKAN  badan, lantas mengucapkan “saudara-saudariku. selamat sore” (dalam bahasa Italia). Begitu Paus Fransiskus, ketika tampil pertama setelah terpilih 13 Maret 2013, di balkon Basilika Vatikan; setelah Kardinal Dekan Jean-Louis Tauran mengumumkan nama Kardinal Jorge Bergoglio dari Argentina sebagai paus baru. “…. Habemus papam” (….”kita punya seorang Paus”). Viva il Papa Francesco.

Dua peristiwa mengejutkan ratusan ribu umat yang berdesakan di Lapangan Santo Petrus menunggu asap putih keluar dari cerobong di atas Kapel Sistina. Juga jutaan orang lewat layar televisi. Walaupun sejak 28 Februari 2013, ketika Paus Benediktus XVI mengundurkan diri secara resmi, lapangan amat luas di depan Basilika St. Petrus dibangun 1656 sampai 1667 di bawah arahan Paus Aleksander VII, itu selalu dipadati umat menunggu terisinya sede vacante (takhta kosong).

Peristiwa pertama mengejutkan. Paus baru tidak berasal dari Italia, setelah dua Paus sebelumnya berdarah Polandia (Yohanes Paulus II) dan Jerman (Benediktus XVI). Walaupun berdarah Italia tetapi emigran Argentina. Padahal media massa sebagai suara publik, mengharapkan kali ini berdarah dan berasal dari Italia. Peristiwa kedua mengejutkan ketika Paus baru membungkukkan badan, sebelum mengucapkan kata-kata pertama dalam bahasa Italia. Mengapa dari Argentina? Mengapa membungkukkan badan dan kemudian mengucapkan salam “selamat sore”. Dua  peristiwa di luar kebiasaan perkenalan para Paus sebelumnya. Paus Fransiskus membongkar tradisi yang sudah berlangsung berabad-abad.

Memperpendek Jarak

Sejak abad VIII Paus Gregorius III (731-741) yang berasal dari Suriah sebagai Paus ke-11 bukan Eropa, Paus ke-266 ini adalah Paus ke-12 bukan Eropa. Berasal dari Amerika Latin. Memperoleh 90 suara pada putaran kelima selama konklaf tiga hari, lebih dari 2/3 suara yang disyaratkan termasuk ada 25 kardinal yang tidak memilih, dan 28 di antaranya kardinal berasal dari Italia. Padahal pada konklaf tahun 2005, Kardinal Jorge Bergoglio sudah di urutan jumlah pemilih kedua setelah Kardinal Joseph  Ratzinger di urutan pertama. Dalam daftar nominasi sebelum konklaf yang dibuat media massa,  nama Kardinal Jorge Bergoglio tidak masuk.

Ucapan “selamat sore” sebagai pembuka, itu pun aneh. Tidak pernah dilakukan para Paus terpilih sebelumnya. Apalagi membungkukkan badan. Mencengangkan. Umat semakin tertegun ketika paus baru berbicara. Bukan dengan kata-kata dan kalimat yang baku, sistematis, tertata tetapi dalam kalimat yang membuat umat terlihat kagum, bengong, bertanya-tanya.

Sesudahnya paus baru memberikan berkat Urbi et Orbi (Untuk Kota Roma dan dunia). Dua ajudan mundur, diikuti Kardinal-Dekan, Paus Fransiskus kembali ke Wisma Santa Martha, tempat menginap para kardinal selama konklaf, yang kemudian menjadi tempat tinggal Paus Fransiskus. Umat yang berdesakan riuh membicarakan. Viva il Papa. Siapakah dia? Sebaliknya di Kota Buenos Aires—di saat yang bersamaan, sesuai waktu setempat menjelang malam–rakyat Argentina yang 90%-nya pemeluk Katolik bersuka ria. Ucapan selamat dan syukur berdatangan dari berbagai belahan dunia, dari berbagai tokoh agama, golongan, dan pimpinan pemerintahan.

Mengenai kemunculan pertama “di luar tradisi”, Kardinal Suharyo memakai istilah, Paus Fransiskus sudah merebut kredibilitas kultural (Acara Api Karunia Tuhan offline keempat di Ballroom Vitra, Jakarta, 8 Juni 2024). Membungkukkan badan, mengucapkan selamat sore – sebuah perkenalan yang nyebal dari tradisi. Paus Fransiskus membongkar tradisi feodal-klerikalistis, membawanya pada ucapan dan tindakan yang membumi-merakyat. Menumbuhkan social effect yang besar untuk karya penggembalaannya ke depan.

Paus Fransiskus membongkar kebiasaan mengambil jarak. Kebiasaan pejabat yang sulit didekati rakyat dibuang. Ia memperpendek jarak. Paus Fransiskus, selama kunjungan apostoliknya awal September ini di Indonesia pun tidak mau naik mobil antipeluru tetapi mobil bak terbuka. Ia ingin menyapa, mendekatkan diri, memperpendek jarak antara dirinya dengan umat.

Muncul banyak spekulasi. Kemunculan pertama di hadapan umat, kebiasaan-kebiasaan kecil-sederhana-sepele sesudahnya–serba membongkar tradisi berabad-abad berlangsung—memunculkan spekulasi ketokohan sebagai teolog pembebasan. Apalagi memang Argentina menjadi salah satu negara di Amerika Latin—tempat kelahiran teologi pembebasan. Padahal Kardinal Jorge Georglio  bukan penganut teolog pembebasan.

Tiga Pengalaman Formatif

Sebagai ahli Kitab Suci, Kardinal Suharyo dalam acara Api Karunia Tuhan offline tanggal 8 Juni yang lalu, membaca karya penggembalaan Paus Fransiskus lewat kacamata Kitab Suci. Tiga bagian atau langkah dalam pribadi Paus Fransiskus mirip dengan pengalaman formatif Paulus, yang membuahkan kepemimpinan transformatif dan berpengaruh.

Tiga transformasi yang dialami Paus Fransiskus ialah, pertama pengalaman rohani yang mendasar; kedua, transformasi pribadi; ketiga, transformasi institusi. Pengalaman rohani mendasarnya berpegang pada peristiwa panggilan Matius mengikuti Yesus (Mat. 9:9). “Yesus memandang pemungut cukai itu dengan mata penuh kerahiman, memilihnya dan berkata ikutlah Aku”. Miserendo atque eligendo (karena belas kasih, Ia memilihnya). Homili Santo Beda—teolog dan biarawan dari Inggris, meninggal tahun 735—yang mengomentari panggilan Matius itu, yang didengar Jorge kembali ketika berumur 17 tahun, memantik keinginannya menjadi imam. Kata-kata itu kemudian dipakai sebagai moto dan lambang penggembalannya sebagai uskup juga sebagai paus.

Pengalaman kedua adalah pengalaman ketidakberdayaan. Dalam usia 21 tahun, Jorge didiagnose infeksi paru akut. Satu paru diangkat. Dia merasa terbatas. Meskipun dokter menyatakan secara medis tidak mengurangi daya tahan dan energinya. Ketika sebagai rektor sekolah tinggi filsafat dan teologi Kolese  Santo Joseph, San Miguel—alma maternya, milik SJ–diberhentikan sebelum masa tugasnya berakhir. Dia dianggap tidak sesuai dengan kondisi sosial waktu itu. Jorge adalah doktor teologi lulusan Jerman, satu almamater sekolah Joseph Ratzinger. Posisi teologisnya dianggap tidak cocok. Teologi pembebasan yang sedang berkembang di Amerika Latin, termasuk di Argentina, berimbas di antara para teolog di Argentina.

Situasi ketidakberdayaan bertambah, ketika sebagai anggota Yesuit diusir dari komunitas tempat tinggal Yesuit tahun 1992 sampai terpilih sebagai paus. Ketika sebagai Provinsial SJ Provinsi Argentina selama 6 tahun mulai 1973 di saat berkuasa pemerintahan militer Jenderal Jorge Rafael Videla, juga ketika sebagai Uskup Keuskupan Agung Buenos Aires, kepemimpinannya jadi spekulasi positif dan negatif. Jenderal Videla dalam penjara mengakui, Gereja Katolik banyak memberi petunjuk cara memperlakukan para pemberontak secara lebih manusiawi. Tetapi di saat yang sama Kardinal Jorge dikecam tidak membela dua pastornya yang  ditangkap pemerintahan Videla.

Untung Sergio Rubin, penulis dan pastor SJ, dalam biografi tentang Jorge Bergoglio memberikan informasi positif tentang peranan Jorge selama pemerintahan junta militer. Dalam situasi ketidakberdayaan, Kardinal Jorge terus berkomunikasi dengan kawan-kawan, termasuk dengan pemimpin agama Yahudi maupun Gereja Kristen Ortodoks. Ia bangkit dari ketidakberdayaan. Mengutip Kardinal Suharyo, ia mengalami transformasi pribadi. Pengalaman ketidakberdayaan yang membangun.

Pengalaman ketiga, ketika Paus Fransiskus menjadikan pengalaman rohani yang mendasar dan ketidakberdayaan, menjadi bagian utuh-unik kepribadian seorang penggembala. Ia menjadikannya sebagai transformasi institusi dalam kebijakan dan karya apostoliknya. Yang paling sederhana pun, demikian Kardinal Suharyo, ketika masih kardinal dia memakai sepatu warna merah seperti kardinal lainnya, tetapi ketika Paus dia memakai sepatu hitam. “Itu pun sudah berkerut-kerut, menandakan bukan kulit yang baru,” canda Kardinal Suharyo.

Kardinal Suharyo menambahkan, “kalau kita perhatikan,  sebelum dikukuhkan sebagai paus Kardinal Jorge selalu membawa sendiri tasnya. Baru sesudah jadi paus, tasnya dibawakan orang lain”. Masuk akal, sebab kalau mau memberikan sesuatu spontan pada umat, masakan harus memanggil orang yang membawakan tasnya. Dalam transformasi institusi dia lakukan antara lain desentralisasi pengesahan teks-teks liturgi dengan surat apostolik Motu PropioMagnum Principium”, yang memperlancar proses pengesahan teks liturgi untuk ibadat dan penerimaan sakramen. Dengan surat apostolik ini pengesahan bisa dilakukan masing-masing konferensi waligereja.

Transformasi dilakukan di banyak bidang lain, menempatkan seorang wanita untuk memimpin keuangan Vatikan, mendobrak klerikalisme—bentuk feodalisme dalam Gereja—dan gagasan jalan bersama (sinodal) – dua contoh tindakan transformasi institusi yang radikal.

Sementara Paulus yang mengalami pengalaman rohani mendasar dari seorang penganiaya yang kejam pada orang Kristen kemudian bertobat, tidak diterima dan dikembalikan ke Tarsus, dibawa ke Antiokia oleh Barnabas jadi anggota Dewan Paroki, kemudian diajak ke Yerusalem, Paulus menjadi penyebar kekristenan besar pada akhirnya. Kejadian dan perkembangannya mirip dengan Paus Fransiskus, tamu agung kita awal September ini yang di awal kegembalaannya sudah merebut kredibilitas kultural.

St. Sularto
Wartawan Senior

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles