HIDUPKATOLIK.COM – Dalam perjalanan pulang dari Kastel Gandolfo, kediaman musim panas kepausan, menuju Roma, Paus Benediktus berbincang dengan Kardinal Bergoglio, Uskup Agung Buenos Aires yang kemudian menjadi Paus Fransiskus.
“Kau sangat populer. Popularitasmu ini, apa ada trik untuk itu?” tanya Paus Benediktus.
Kardinal Bergoglio menjawab, “Aku hanya berusaha menjadi diri sendiri.”
Percakapan dua tokoh penting Gereja Katolik itu terekam dalam adegan film “Two Popes” besutan Sutradara Gernando Meirelles yang diangkat dari kisah nyata.
Setiap fragmen yang ditampilkan itu tidak hanya menampilkan—meminjam istilah Goenawan Mohamad—fragmen penting sejarah Gereja Katolik, ketika iman, kekuasaan dan dosa saling bertaut, tetapi juga kontras antara Benediktus yang mewakili konservatisme di dalam Gereja Katolik serta Bergoglio yang reformis.
Setelah terpilih menjadi Paus ke-266 dan memilih nama Fransiskus, merujuk pada nama Fransiskus dari Asisi, Paus Fransiskus menjadi pribadi yang sangat populer di seantero dunia sebagai pribadi yang rendah hati dan sederhana yang sangat concern terhadap masalah-masalah aktual seperti kemiskinan dan kerusakan ekologis.
Paus Benediktus bahkan sudah meramalnya sejak pertemuan mereka berdua di Kapel Sistina. “Kau memimpin bukan dengan kekuasaan dan kecerdasan, tetapi kau memimpin terutama dengan cara hidupmu atau caramu hidup.” Preferential option for the poor tidak sekedar slogan tetapi dihayati secara sungguh-sungguh oleh anggota Jesuit ini.
Dalam lawatannya ke Indonesia (3-6 September) kita seperti disihir oleh penampilan publik dari pemimpin 1,3 miliar umat Katolik sedunia ini. Ia tampil bagaikan oase di tengah padang gurun katamakan dan keserakahan para petinggi negara kita. Kesederhanaan yang Paus Fransiskus tampilkan itu sesuatu yang sebetulnya akrab dengan mayoritas manusia Indonesia tetapi entah kenapa itu seperti barang asing.
Ia tiba di tanah air dengan menumpang pesawat komersial, menaiki mobil Toyota Zenix, tinggal di Kedutaan Vatikan bukan di hotel berbintang, yang kesemuanya itu memberi kesan beliau sangat tidak berjarak dengan kita, Paus Fransiskus adalah bagian dari kita.
Paus Fransiskus memperlihatkan suatu ciri spesifik orang beriman: semakin beriman, maka ia semakin manusiawi. Muhammad Muhibbuddin (Kompas 4/9) menyebut keteladanan hidup Paus Fransiskus sebagai “keselarasan nilai antara semangat keilahian dan kemanusiaan…semangat keilahian yang diajarkan dalam agama haruslah diterjemahkan ke dalam bentuk nihai-nilai kemanusiaan.”
Ibu Bumi Sedang Sekarat…
Keselarasan iman dan kemanusiaan Paus Fransiskus yang bisa kita rujuk selain pada laku hidupnya adalah pada karya utamanya “Laudato Si” (2015) yang memperlihatkan pandandan-pandangannya tentang ekologi dan krisis ekologi, ekonomi politik, sosial politik, manusia dan hubungan antarmanusia.
Paus Fransiskus memperlihatkan kepada kita bahwa kondisi ibu bumi sedang tidak baik-baik saja karena aneka persoalan yang dihadapinya mulai dari perubahan iklim dan polusi, krisis air, hilangnya keanekaragaman hayati yang berdampak pada penurunan kualitas hidup manusia dan kemerosotan sosial yang kesemuanya itu berakar pada konsep antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat segala sesuatu.
“Saudari ini sekarang ini menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena penggunaan dan penyalagunaan kita yang tidak bertanggung jawab atas kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. Kita berpikir bahwa kita adalah tuan dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya…Oleh karena itu, bumi terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling kita abaikan dan lecehkan” (LS 2).
Antroposentrisme menempatkan manusia sebagai subyek berhadapan dengan alam sebagai obyek. Relasi subyek-obyek ini memiliki konsekuensi penindasan satu pihak; subyek menindas obyek atas nama kemajuan dan pembangunan. Di hadapan kemajuan teknologi yang masif itu, Paus Fransiskus monegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak sepenuhnya merdeka!
“Manusia tidak sepenuhnya otonom. Kebebasan manusia memudar ketika menyerahkan diri kepada kekuatan buta dorongan bawah sadar, kebutuhan langsung, keegoisan, dan kekerasan…tidak terlindung terhadap kekuasaannya sendiri yang terus meningkat, tanpa ada sarana untuk mengontrolnya” (LS 105).
Kebebasan yang kebablasan terhadap penggunaan teknologi tanpa kontrol etika, budaya, dan spiritualitas akan membuat manusia menjadi serigala bagi yang lain (homo homini lupus) yang saling memangsa tidak saja terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam.
Ketika semua berpotensi menjadi serigala, maka kita sedang berada dalam situasi perang semua melawan semua (belum omnes contra omnia) maka yang kalah adalah kita yang bertarung, kaum miskin dan tertindas, serta alam yang dipandang sejauh obyek.
Selain itu, ada suatu kecenderungan untuk menerima secara serta merta suatu paradigma yang seragam dan satu sudut pandang yaitu paradigma teknokratis yang belakangan merasuki aspek kebudayaan hingga ekonomi dan politik.
“Ekonomi menerima setiap kemajuan teknologi yang membawa keuntungan, tanpa memperhatikan kemungkinan dampak negatifnya bagi manusia…kita gagal untuk melihat akar-akar terdalam dari ketimpangan-ketimpangan kita sekarang yang terkait dengan arah, tujuan, makna, dan konteks sosial perkembangan teknologi dan ekonomi” (LS 109).
Antroposentrisme modern menempatkan pola pikir teknis sebagai satu-satunya alat untuk menghadapi realitas di mana alam bukan lagi sebagai “tempat perlindungan hidup”, melainkan sebagai “ruang dan bahan untuk dikerjakan.” Kecenderungan instrumentalistik seperti ini yang mengerangkeng alam dan menyebabkan ibu bumi semakin kritis.
Laudato Si dengan demikian menjadi suatu kritik ekologi yang berciri-corak antroposentrisme. Seruan utamanya adalah pembangunan bersama bumi ini sebagai rumah bagi semua, tanpa kecuali; kritik ekologi (rumah bersama) tidak hanya berarti berpikir kritis tentang lingkungan hidup, melainkan juga berpikir dari sudut pandangan keseluruhan semesta (Wattimena: 2024).
Kritik ekologi dengan demikian juga menyangkut kritik ekologi budaya yang memperlihatkan tegangan hubungan antara manusia dan alam di mana yang pertama menindas yang terakhir dan pada gilirannya menimbulkan pemberontakan dari pihak alam.
Kearifan Lokal Masyarakat Adat Petalangan: Cerminan Kesadaran Ekologi
Dalam pidatonya di Mesjid Istiqlal (5/9), Paus Fransiskus secara tegas menyatakan keharmonisan dan keberagaman suku bangsa Indonesia sebagai kekayaan dan bukannya tambang emas.
“Kalian adalah tuan rumah tambang emas terbesar di dunia, ketahuilah bahwa harta yang paling berharga adalah kemauan agar perbedaan tidak menjadi alasan nutuk bertikai, tetapi diselaraskan dalam kerukunan dan saling menghormati.”
Secara faktual kita bisa menemukan ratusan bahkan ribuan local wisdom atau kearifan lokal yang terkandung di bumi Nusantara sebagai pedoman hidup untuk menyelaraskan manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam tempatnya hidup dan ada.
Salah satu yang perlu disebutkan di sini adalah cerita yang berisikan tradisi suatu suku atau tombo masyarakat adat Petalangan, suku asli Riau, dalam bentuk prosa liris berjudul “Nyanyian Panjang Bujang Tan Domang” yang direkam oleh Tenas Effendy dan diterbitkan oleh kerjasama antara Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO), The Toyota Foundation, dan Yayasan Bentang Budaya tahin 1997 setebal 715 halaman (lih. Ignas Kleden: 2000).
Menurut Ignas Kleden, prosa liris Nyanyian Panjang Bujang Tan Domang ini memiliki tiga fungsi utama:
Pertama, berfungsi sebagai sumber sejarah suatu suku terutama tentang manusia pertama yang datang dan mendiami daerah tersebut dan menjadi nenek moyang daerah tersebut serta siapa pula keturunannya. Kedua, berfungsi sebagai dokumen hukum yang mengatur tentang batas tanah, jenis tanah dan hutan, hak dan kewajiban yang harus dijalankan oleh anggota suku, dan sanksi terhadap berbagai pelanggaran.
Hutan yang ada itu dibagi ke dalam empat kelompok: (i) tanah kampung sebagai pemukiman, (ii) tanah dusun yang menjadi tempat berkebun, khususnya tanaman keras dan tanah cadangan untuk bermukim. (iii) tanah peladang untuk berladang berpindah-pindah, dan (iv) rimba larangan yang tidak boleh digarap. Rimba larangan dibagi menjadi dua: pertama, rimba kepungan sialang tempat tumbuh pohon sialang di mana lebah bersarang dan kedua, rimba simpanan tempat hidup sumber keanakeragaman hayati (biodiversity) yang menghasilkan segala jenis boat-obatan.
Pedoman tentang hutan ditetapkan dengan sangat teliti, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, dijabarkan secara rinci:
Tebang tidak merusakkan
Tebang tidak membinasakan
Tebang tidak menghabiskan
Tebang tidak menutup aib malu
Tabang membuat rumah tangga
Membuat balai dengan istana
Membuat madrasah dengan alatnya.
Tentang pantangan menebang pohon dikatakan:
Pantang menebang kayu tunggal
Pantang menebang kayu berbungaPantang menebang kayu berbuah
Pantang menebang kayu seminai
Pantang menebang induk gaharu
Pantang menebang induk kemenyan
Pantang menebang induk damar.
Ketiga, tombo juga berfungsi sebagai kumpulan ajaran-ajaran moral (code of conduct) atau dalam bahasa setempat disebut “tunjuk ajar” yang wajiib diikuti oleh anggota suku. Bagi orang Petalangan hutan dapat menjadi “guru” yang memberikan “tunjuk ajar” kepada manusia dalam relasinya dengan yang lain.
Tengoklah kayu di rimba
Ada yang besar ada yang kecil
Ada yang lurus ada yang bengkok
Ada yang berpilin memanjat kawan
Ada yang dihimpit oleh kayu lain
Ada yang licin ada yang berbongkol
Ada yang tegak ada yang yang condong
Ada yang hidup ada yang mati
Ada yang berduri ada yang tidak
Ada yang bergetah ada yang tidak
Ada yang berbuah ada yang tidak
Beragam-ragam kayu di rimba
Beragam pula hidup manusia
Watak manusia dilukiskan secara plastis dengan mengamati dunia binatang:
Beribu banyak manusia
Beribu pula banyak ragamnya
Begitu pula dengan binatang rimba
Baik juga untuk dicontoh
Ada yang garang ada yang penakut
Ada yang memakan emak dan bapak
Ada yang memakan bangkai kawan
Ada yang menggigit ada yang mencatuk
Ada yang mengerkah ada yang membela
Ada yang berkawan ada yang tunggal…
Begitu pula sifat manusia
Kritik yang termuat di dalam tombo juga tembak langsung kepada manusia yang tidak bermoral tanpa tedeng aling-aling:
Orang pendengki mati berdiri
Orang khianat mati terlaknat
Orang pembohong mati tercampak
Orang sombong mati gembung
Orang tamak mati bengkak
Melalui tombo masyarakat adat suku Petalangan memahami sejarah asal usul moyang mereka, mereka hidup dalam suatu kerangka hukum-moral yang menempatkan manusia hidup berdampingan dengan alam secara akur. Sebaliknya, hidup yang berpaling dari tombo justru menyebabkan hutan dibabat habis dan dengan demikian memutus mata rantai historis, hukum, dan moral orang Petalangan dengan sumber kehidupan mereka.
Alasan utama orang Petalangan memelihara hutan dengan penuh hormat adalah karena hutan sudah selalu berkelindan erat dengan sumber-sumber budaya.Membabat hutan secara sewenang-wenang dengan cara yang “tidak berhingga-hingga” membuat sumber-sumber budaya yang selalu merujuk ke hutan itu merana dan kemudian hilang lenyap.
Paus Fransiskus dengan tegas memperingatkan kita bahwa hidup kita, generasi kita saat ini, sepenuhnya berhutang kepada generasi mendatang. Semua diskursus tentang situasi sekarang dengan segala perkembangan berkelanjutan harus pula menempatkan “solidaritas antargenerasi” sebagai tolok ukurnya. Paus Fransiskus mengatakan:
“Jika bumi dianugerahkan kepada kita, kita tidak lagi dapat berpikir hanya menurut ukuran manfaat, efisiensi, dań produktivitas demi keuntungan pribadi. Kita tidak berbicara tentang sikap opsional, tetapi tentang soal keadilan mendasar, karena bumi yang kita terima adalah juga milik mereka yang akan datang” (LS 159).
Tanda-tanda keegoisan generasi sekarang ini adalah upaya menyeragamkan semua perbedaan yang ada. Padahal “beragam kayu di rumba, beragam pula hidup manusia,” maka usaha menyeragamkan yang berbeda adalah melawan hakikat hidup manusia itu sendiri.
“Ketegangan-ketegangan dengan unsur kekerasan timbul di dalam negara-negara karena mereka yang berkuasa ingin menyeragamkan segala sesuatu dengan memaksakan visi mereka. Akibatnya, sebagian besar umat manusia terpinggirkan, tanpa sarana untuk menjalani hidup yang bermartabat dan tanpa perlindungan dari ketimpangan sosial yang serius dan bertumbuh, yang memicu konflik-konflik yang parah.” ujar Paus Fransiskus di hadapan Presiden Joko Widodo dan para pejabat tinggi negara di Istana Merdeka, Jakarta (4/9).
Menanggapi resep menjadi populer a la Kardinal Bergoglio, Paus Benediktus berkata: “Oh, setiap aku mencoba jadi diri sendiri, orang-orang sepertinya tak menyukaiku.”
Tidak ada resep-resep yang seragam karena setiap wilayah memiliki masalah dan keterbatasannya yang khas (LS 180) karena itu setiap pengambil kebijakan mesti memahami kondisi sosio-kultural setiap wilayah sebelum membuat sebuah keputusan. Sama seperti “resep” menjadi diri sendiri yang membuat Paus Fransiskus begitu populer, tidak berlaku bagi mendiang Paus Benediktus.
Oleh: Rinto Namang (Pengurus Pusat PMKRI 2018-2020)