HIDUPKATOLIK.COM – DALAM setiap langkah hidupnya, Mgr. Seno Ngutra selalu menempatkan Ekaristi sebagai pusat dari imamatnya. Sebagai seorang uskup, ia tidak hanya mengajarkan pentingnya Ekaristi kepada umat dan para imam, tetapi juga menjalankannya dengan keteladanan yang nyata. Setiap kali berkunjung ke berbagai daerah di Keuskupan Amboina, Mgr. Seno selalu mengingatkan umat untuk tidak lupa merayakan Ekaristi.
Dalam kunjungannya, ia selalu berpesan agar menghindari acara-cara seremonial. Cukup penerimaan di hari pertama kedatangan, selebihnya diikuti dengan adorasi, penyembuhan batin, dan perayaan Ekaristi. “Umat akan terpanggil untuk mengikuti kegiatan-kegiatan ini. Mereka membayangkan langsung ditumpangi tangan seorang imam dan uskup. Sesuatu yang selama ini baru dalam pelayanan,” ujar Mgr. Seno.
Alter Christus
Sebagai gembala, ia telah mempraktikan Ekaristi, maka kepada para pastor, ia dengan tegas juga meminta agar merayakan Ekaristi dengan sempurna. “Seorang pastor boleh jatuh dalam dosa, tetapi tidak ada alasan untuk tidak merayakan Ekaristi.”
Sebutnya lagi, perayaan Ekaristi bukan sekadar kewajiban, melainkan suatu keharusan yang menghidupkan kembali panggilan seorang imam. Pastor boleh saja membangun gereja yang megah dan memiliki program pastoral yang luar biasa, tetapi tanpa perayaan Ekaristi yang penuh penghayatan, seorang imam hanyalah seperti tukang kayu. Ketika seorang imam merayakan Ekaristi, ia menjadi Alter Christus, menghadirkan Kristus yang nyata bagi dunia.
Setiap pagi dimanapun ia berada, Mgr. Seno selalu mengawali harinya dengan ibadah Laudes, merayakan Misa, atau menyelesaikan harinya dengan Completorium. Ia menuntut para imam untuk hidup dekat dengan Tuhan melalui Ekaristi. Dalam hal ini, ia senantiasa mengingatkan bahwa perayaan Ekaristi harus dilakukan dengan sempurna. Tidak boleh ada raut muka masam, kemarahan, atau bahkan penggunaan altar sebagai tempat untuk melampiaskan amarah kepada umat atau misdinar. “Ekaristi adalah misteri cinta, bukan tempat untuk menghakimi,” tegasnya. Jika seorang misdinar berbuat salah, teguran harus disampaikan dengan kasih, bukan di atas altar yang adalah tempat sakral. Ada tempat di sakristi yang bisa digunakan untuk mengevaluasi mereka dalam kasih.
Sering kali, kita melihat ada beberapa imam yang tidak memberikan teladan yang baik kepada umatnya. Kita mungkin berkata bahwa mereka adalah manusia biasa, rentan terhadap dosa dan kelemahan. Namun, sebagaimana para rasul yang dipilih langsung oleh Yesus, mereka pun bukan manusia sempurna. Yudas mengkhianati Yesus, dan Petrus menyangkal-Nya tiga kali. Tetapi di antara mereka juga ada banyak yang setia hingga akhir, menjadi tanda kehadiran Kristus yang nyata di dunia. Demikian pula dengan para imam: ada yang jatuh, tetapi banyak juga yang tetap teguh dalam panggilan mereka.
Memberi Diri
Tuhan sendiri telah berfirman, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu” (Yoh 15:16). Dalam memilih imam-imam-Nya, Tuhan tidak melihat kesempurnaan manusia, tetapi melihat hati yang mau melayani. Seperti ketika Tuhan memilih Daud yang masih muda dan sederhana, bukan karena penampilan luarnya, tetapi karena hatinya yang berkenan di hadapan Allah (1 Sam 16:6-13).
Paus Fransiskus pernah mengatakan, “Ekaristi adalah hadiah dari Yesus.” Dalam perayaan Ekaristi terdapat kekuatan, mukjizat, dan pertobatan. Oleh karena itu, Mgr. Seno selalu berharap agar para imam tidak sekadar merayakan Ekaristi sebagai rutinitas, tetapi dengan penghayatan yang mendalam. Dalam Ekaristi, seorang imam mengalami perubahan batin, membiarkan dirinya ditransformasikan oleh kasih Kristus.
Seperti Yesus yang memecah-mecahkan roti dan memberikan tubuh serta darah-Nya demi keselamatan umat manusia, demikian pula para imam dipanggil untuk mencintai umat dengan total. Mereka harus menyadari bahwa dalam setiap perayaan Ekaristi, mereka bukan hanya memimpin ibadat, tetapi menghadirkan mukjizat rohani bagi umatnya. Ekaristi bukan sekadar ritual, melainkan perjumpaan sejati dengan Kristus yang hidup.
“Dalam kekaguman yang hening, kita merenungkan betapa besar kasih Tuhan yang terus-menerus mencintai umat-Nya melalui sakramen ini,” sebutnya. Mgr. Seno selalu menegaskan bahwa seorang imam yang sungguh mencintai Tuhan harus mencintai Ekaristi lebih dari segalanya. Di sinilah panggilan seorang imam menemukan maknanya yang sejati: sebagai pelayan Tuhan yang membawa Kristus kepada dunia, melalui perayaan Ekaristi yang penuh kasih dan penghayatan.
Yustinus Hendro Wuarmanuk
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 14, Tahun Ke-79, Minggu, 6 April 2025