HIDUPKATOLIK.COM – Renungan Hari Minggu Paskah VI, 25 Mei 2025, Kis.15:1-2,22-29; Mzm.67:2-3,5,6,8; Why.21:10-14,22-23; Yoh.14:23-29
“DAMAI Tuhan bersamamu!”. Seruan Paskah Yesus yang bangkit inilah yang menjadi proklamasi programatis Paus Leo XIV saat menyampaikan pesan bernas perdana pada tanggal 8 Mei 2025, setelah dipilih menjadi pengganti Paus Fransiskus. “Semoga salam damai ini masuk ke dalam hatimu, meresapi keluarga-keluarga, dan merangkul semua orang, di mana saja berada, segala bangsa, seluruh bumi. Damai bersamamu! Inilah damai Kristus yang bangkit, sebuah damai tanpa senjata, damai yang ingin melucuti senjata, damai yang lembut sekaligus gigih!” demikian ujar Bapa Suci dari balkon St. Petrus Roma, yang ingin mewujudkan dalam masa pontifikatnya wasiat Sang Gembala Agung, Yesus Kristus, yakni damai sejahtera.
Teks Injil Yohanes (14:23-29) pada hari Minggu Paskah ke-VI persis berbicara tentang damai sejahtera (syaloom) ini. Ketika para murid mengalami kesedihan dan kekosongan mendalam, saat akan ditinggalkan Yesus yang akan kembali kepada Bapa-Nya di Surga, Dia menghibur dan menguatkan mereka. Yesus menjamin bahwa para murid tidak akan pernah dibiarkan sendirian. Bapa akan mengutus dalam nama-Nya, Sang Penghibur, yaitu Roh Kudus kepada mereka. Roh Kudus inilah yang akan menginspirasi para murid dan melanjutkan karya Yesus di tengah-tengah mereka. Lebih dari itu, Roh Kudus pulalah yang akan mewujudkan damai sejahtera dalam kehidupan para murid. Karena itu mereka tak perlu “gelisah dan gentar hati”.
Bukankah dalam “zaman now”, diri kita yang sering “resah dan gelisah” sungguh membutuhkan sekali damai sejahtera demikian? Bukankah damai ini yang dirindukan hati kita yang sering merasa kosong dan hampa karena muntahan kenikmatan gaya hidup pencitraan digital yang semu? Bukankah damai ini yang keluarga-keluarga kita butuhkan, tatkala terjadi perselisihan, konflik, dan egoisme yang mengikis cinta? Bukankah damai ini yang sungguh diperlukan oleh dunia kita yang tengah dirasuki oleh perselisihan, dominasi, kekerasan, peperangan termasuk “perang dagang”?
Namun Yesus mengingatkan para murid bahwa damai dari-Nya tidak seperti yang diberikan oleh dunia. Di manakah perbedaannya? Perbedaannya terletak dalam sumber damai, yakni Allah sendiri. Hanya ketika orang bersandar pada Allah dan setia berpaut pada-Nya, dia akan mengalami damai sejahtera tersebut. Dia menemukan kedamaian pada Allah, bukan pada hal-hal duniawi. Dia tak perlu lagi mencari kuasa karena hanya Allah lah penguasa hidupnya. Dia tak lagi mencari kekayaan, karena dia sudah kaya dalam Allah. Dia tak perlu lagi terobsesi dengan pencitraan, karena telah menemukan nilai dirinya pada Allah. Dia tak perlu lagi terbakar oleh pemuasan nafsu-nafsu insani, karena telah dipuaskan oleh nikmat Ilahi. Karakter damai seperti ini tidaklah temporer tapi langgeng, tidak artifisial tapi asli, tidak pencitraan tapi sejati, karena berasal dari Allah sendiri.
Memang damai sejahtera ini telah dianugerahkan Yesus kepada murid-murid-Nya dalam suka duka ziarah hidup di tengah-tengah dunia ini. Tetapi kepenuhan dan kesempurnaan damai sejahtera baru tercapai dalam gemerlap “kota yang kudus, Yerusalem…, yang penuh kemuliaan Allah”. Dimensi eskatologis inilah yang kiranya memberikan kekuatan dalam kelemahan dan kerapuhan perjuangan hidup kita di bumi yang fana ini. Horison kepenuhan masa depan ini hendaknya menyingkapkan fajar pengharapan dalam perjuangan insani kita yang seringkali terasa pahit.
Yang lebih menakjubkan, kepenuhan damai sejahtera ini adalah hadiah Allah. Bukan lagi kita yang harus dengan susah payah mencari dan menggapai Yerusalem surgawi. Tetapi dia sendiri akan turun ke tengah-tengah kita. Kitab Wahyu melukiskan dengan indah dan memukau bahwa dalam kota itu tak diperlukan lagi bait suci, karena Allah sendirilah Bait Sucinya. Tak diperlukan lagi matahari dan bulan untuk meneranginya, sebab kemuliaan Allahlah yang meneranginya, dan Anak Domba adalah lampunya (Why 21). Syalom! Damai Sejahtera bagimu!
“Kepenuhan damai sejahtera ini adalah hadiah Allah.”