web page hit counter
Sabtu, 6 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

100 Tahun Paroki Hati Kudus Yesus Palembang: Lahir di Sebuah Kultur yang Memartabatkan Kehidupan

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Pastor van Oort, SCJ membidik Palembang. Pos misi didirikannya di Talang Jawa. Pos ini sekaligus menjadi pastoran Paroki Hati Kudus Palembang, yang berdiri pada tahun yang sama, 1925. Van Oort menjadi pastor paroki pertama. Dari sinilah, peziarahan Umat Allah bersama gembala pertamanya dimulai.

KONGREGASI Imam-imam Hati Kudus Yesus (SCJ) masih terhitung belia ketika itu. Pater Yohanes Leo Dehon, pemimpin kongregasi yang didirikannya pada 1878 itu, menghendaki SCJ bermisi di Indonesia. Setelah sekian proses dialami, kejelasan pun tiba.

Dari Brussel, Belgia, Pater Dehon menulis surat kepada Superior Provinsial SCJ Belanda, 16 Desember 1923. “Tentang misi di Sumatra sudah menjadi jelas.… Kita diberi Sumatra bagian selatan. Para Kapusin tetap di Padang. Prefektur kita bernama Bengkulu. Hendaknya menyiapkan daftar tiga nama untuk dikirim kepada Prefek Propaganda Fide.”

Provinsi SCJ Belanda mengirim tiga misionaris ke Indonesia. Mereka ialah Pastor Henricus Norbertus van Oort, SCJ (36), Pastor Carolus van Stekelenburg, SCJ (38), dan Bruder Felix van Langenberg SCJ (28). Mereka tiba di pos misi Tanjung Sakti pada 23 September 1924. (Tanjung Sakti masuk wilayah Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan. Jaraknya sekitar 300 km dari Kota Palembang, sekitar 7 jam berkendara).

Umat Tionghoa

Pastor van Oort, SCJ merasa harus berani keluar dari Tanjung Sakti. Pada akhir tahun 1924 dan awal 1925, ia menjelajah wilayah Sumatra bagian selatan. Ia singgah di Palembang. Ia melihat kota ini sebagai tanah misi yang menantang sekaligus merupakan lahan yang subur.

Jiwa misioner seorang van Oort menerawang jauh ke depan. Ia gelisah. “Keadaan ini menyedihkan! Lihatlah, kota ini berpenduduk 82.000 jiwa tapi tidak ada gereja Katolik di sini! Setidaknya ada 100 orang Katolik. Ketinggalan ini harus segera dikejar. Kita perlu membuka sebuah gereja secepat mungkin dan mengangkat seorang pastor tetap,” tulis van Oort, sebagaimana dikutip Cees van Paassen, SCJ dalam buku Padi Tumbuh Tak Terdengar.

Pastor van Oort menyurati pimpinan kongregasi. Ia menuturkan, lantaran keadaan tertentu yang sangat khas, karya misi untuk orang Melayu kurang berhasil. Ia pun berinisiatif untuk menebarkan jala misi ke arah lain, yang menurutnya lebih menjanjikan. “Kami mulai berkarya untuk warga Tionghoa di Sumatra. Mereka tersebar di berbagai tempat dan tampak lebih bersemangat,” tulisnya.

Baca Juga:  Penyuluh Katolik Berkolaborasi dengan Komunitas Doa Santa Faustina Melaksankan Pembinaan Iman di Rutan Wirogunan
Pastor Spanjer, OFM Cap (duduk, kiri) bersama tiga misionaris SCJ pertama di Tanjung Sakti (Foto: Dok Elis)

Bagi etnis Tionghoa, daerah Talang Jawa (wilayah sekitar Jalan Kolonel Atmo sekarang) merupakan sebuah basis permukiman mereka di Kota Palembang. Di kawasan ini, mereka berinteraksi dengan warga pendatang, yang sebagian besar berasal dari Jawa. Itulah sebabnya daerah ini dulu disebut Talang Jawa.

Prefek Apostolik Bengkulu Mgr. Henricus Smeets, SCJ mengunjungi Palembang. Ia menemui Pastor van Oort, 10 September 1925. Beberapa hari kemudian, Pastor van Oort secara resmi diangkat menjadi pastor pertama Paroki Hati Kudus, Palembang.

Pada Hari Raya Paskah 1926, bangunan gereja Hati Kudus sudah terasa sangat sempit. Mereka mulai membangun gereja baru. Gereja Hati Kudus Talang Jawa ini dibangun oleh Hollandsche Beton Maatschappij, pada 1932.

Mengingat adanya krisis ekonomi dunia, gereja dibangun secara sederhana. Gereja yang dapat menampung 250 orang ini diberkati oleh Pro-prefek Apostolik, Pastor Henricus Nobertus van Oort, SCJ, 4 Desember 1932. Gedung gereja lama difungsikan sebagai tempat pertemuan Persekutuan Sosial Katolik (Katholieke Sociale Bond), yang didirikan oleh Pastor Mekkelholt, SCJ pada tahun 1927.

Selain menjadi tempat tinggal pastor-pastor yang melayani Paroki Hati Kudus, pastoran Hati Kudus juga merupakan pos misi SCJ di Sumatra waktu itu, meskipun Tanjung Sakti tetap menjadi pos utama. Di sinilah singgah setiap misionaris SCJ dari Negeri Kincir Air.

Pastor van Oort, SCJ dengan latar belakang bangunan pastoran Hati Kudus di Talang Jawa, Palembang. (Dok Elis Handoko)

Misionari SCJ menyadari bahwa misi di Talang Jawa mesti membumi. Mereka mulai mencari bentuk yang lebih serius dalam mewarta di tengah kawanan umat Tionghoa. Maka, diundangnyalah misionaris awam, yakni seorang katekis Tionghoa bernama Petrus Cheong Sin Kwang, tahun 1930. Katekis ini berkosentrasi pada pengajaran bagi warga Tionghoa yang tertarik memeluk agama Katolik.

Sementara itu, misi mensinyalir bahwa warga Tionghoa di Palembang mayoritas berasal dari daerah yang berbahasa Hokkian. Pastor Piet van Gisbergen, SCJ belajar bahasa Hokkian ke Tiongkok selama satu tahun (1934).

Kolaborasi Tiga Dimensi

Berdirinya Gereja Hati Kudus masuk dalam bingkai besar Misi Gereja di Sumatra bagian selatan. Setelah lima bulan Prefektur Apostolik Bengkulu berdiri, tepatnya pada 27 Desember 1923, Pastor Henricus Smeets, SCJ diangkat sebagai Prefek Apostolik, 28 Mei 1924.

Baca Juga:  Bekas Mobil Paus Fransiskus Jadi Klinik Kesehatan Keliling di Gaza

Nusantara bukanlah tanah misi pertama yang Smeets jalani. Sebelumnya, selama 13 tahun, ia menekuni misi di Kongo. Pengalaman di Afrika itu membuat dia paham benar pentingnya kerja sama dalam bermisi. Misi tidak pernah akan cukup hanya dikerjakan oleh imam-imam yang bekerja untuk mengurusi kehidupan iman umat. Misi memerlukan bentuk-bentuk pelayanan konkret lain, yang tidak bisa mereka lakukan sendirian, misalnya, karya kesehatan dan pendidikan.

Untuk kebutuhan itu, sejak awal misinya di wilayah Prefektur Apostolik Bengkulu, Mgr. Smeets menekankan gerak kolaboratif dengan beberapa tarekat. Ada pun tarekat religius yang diundang bekerja sama menggarap misi Palembang ialah para Suster Fransiskanes Charitas (FCh) dari Roosendaal (1926), Suster Hati Kudus (HK) dari Moerdijk (1927), dan Frater Bunda Hati Kudus (BHK) dari Utrecht (1936), Belanda.

Suster FCh fokus di pelayanan kesehatan. Mereka mendirikan Rumah Sakit Charitas, yang berkembang hingga kini. Era 30-an Rumah Sakit Charitas menghadapi banyak tantangan. Mereka mengalami kesulitan dalam merawat orang sakit karena kekurangan dana untuk pengadaan obat-obatan. Perawatan Rumah Sakit Charitas saat itu dikatakan tidak memenuhi syarat zaman modern.

Pemimpin Kongregasi di Roosendaal menyetujui pembangunan rumah sakit baru guna meningkatkan mutu pelayanan bagi orang sakit. Rumah sakit ini dibuka secara resmi dan diberkati oleh Mgr. Mekkelholt pada Januari 1938.

“Dengan semangat Fransiskan, mereka membuat orang termiskin mengambil bagian dalam berkat Kristiani yang paling indah, cinta kasih kepada sesama dalam bentuk perawatan orang miskin yang sakit,” tulis van Paassen.

Misi Sumatra membutuhkan pelayanan bidang pendidikan. Pastor van Oort sendiri telah memulai dengan mendirikan sekolah. Ia berharap suatu saat nanti ada suster-suster yang memberikan pelayanan bidang pendidikan ini.

Prefek Apostolik Mgr. Smeets berkorespondensi dengan pimpinan Suster HK. Monsinyur menekankan urgensi pelayanan bidang pendidikan ini dan mengajak dengan sangat agar Kongregasi HK segera mengirimkan orang-orang yang tepat. Jadilah, Suster HK mengurusi bidang pendidikan.

Baca Juga:  Hari Studi Struktural 2025: Penguatan Supervisi Formal dan Informal untuk Meningkatkan Pelayanan Pendidikan

Usaha suster-suster membuka Sekolah Belanda-Tionghoa (Hollandsche-Shineesche School, HCS) menjadi salah satu bentuk jawabannya. Orang-orang Tionghoa yang cenderung menyekolahkan anak-anak mereka ke Singapura pun memiliki alternatif di Palembang. Sekolah ini diberkati oleh Pastor van Oort pada 28 Oktober 1928. Untuk warga Tionghoa, misi mendirikan sebuah klub sepak bola Union, yang didampingi oleh Pastor Jan Wouters SCJ. Sementara untuk anak-anak perempuan didirikanlah klub bola keranjang Sport en Spel.

Di tangan suster-suster inilah pelayanan bidang pendidikan pun bertumbuh. Kehadiran mereka sangat membantu gerak misi di Kota Palembang. Selain sekolah yang dikelola oleh para suster, muncul juga beberapa sekolah yang dikelola pemerintah dan pihak-pihak lain. Mereka piawai dalam membumikan spiritualitas tarekatnya di bidang pendidikan ini. Mereka mampu mengisi celah yang belum atau kurang tersapa oleh pendidikan pada umumnya.

Prefek Apostolik yang baru Mgr. Mekkelholt mengundang Frater BHK untuk membantu karya misi bidang pendidikan. Pelayanan pendidikan pun semakin menampakkan geliatnya. Suster HK dan Frater BHK saling bekerja sama. HIS Santa Theresia dibagi menjadi dua bagian. Sekolah putri dikelola oleh HK dan sekolah putra oleh BHK. Untuk meningkatkan pelayanan, Frater BHK mengundang guru-guru awam dari Jawa. Suasana ini membawa angin segar untuk gerak Suster HK, yang ingin lebih memusatkan pelayanan pendidikan, khususnya bagi anak-anak perempuan dan difabel.

Gereja Hadir

Begitulah kisah-kisah yang menjadi situasi bagi proses tumbuh kembangnya Gereja Hati Kudus pada masa-masa mungilnya. Umat Allah Hati Kudus tertabur di sebuah ladang dengan suatu kultur yang sangat menghargai dan menjunjung harkat mereka yang kecil, terkucil, dan menderita. Sebuah kultur kehidupan yang memartabatkan harkat setiap anak-anak Gereja.

Karya kesehatan dan pendidikan menjadi ujung tombak dalam menghadirkan keberpihakan Allah bagi anak-anak-Nya. Sementara itu, imam-imam misionaris dimungkinkan untuk secara leluasa melayani umat dengan fokus pada karya keselamatan jiwa-jiwa. Kiranya, kultur kehidupan inilah yang menjadi atmosfer dan asupan bagi lahir serta tumbuhnya kawanan kecil Hati Kudus Palembang. Dari sanalah, lalu lahirnya paroki-paroki berikutnya.

Elis Handoko (Kontributor, Palembang)

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No.26, Tahun Ke-79, Minggu, 29 Juni 2025

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles