web page hit counter
Sabtu, 6 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Penjara, Ruang Misi yang Subur

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Era 40-an, Jepang menduduki Kota Palembang. Tidak sedikit umat dan para misionaris ditawan dalam kamp-kamp Jepang. Inilah era kelam, musim gugur bagi misi Gereja di Palembang. Siksa dan derita dialami para interniran. Beberapa dari mereka gugur di kamp.

STATUS gerejani Prefektur Apostolik Bengkulu naik menjadi Vikariat Apostolik Palembang pada 13 Juni 1939. Pastor Henricus Martin Mekkelholt, SCJ diangkat menjadi Vikarisnya. Ia ditahbiskan sebagai uskup dari tangan Paus Pius XII di Roma, 29 Oktober 1939. Dalam alur gerak Gereja lokal itulah, Gereja Hati Kudus bertumbuh.

Masa kelam datang, khususnya ketika invasi tentara Jepang memasuki Kota Palembang, 1942-1945. Imbasnya, tak sedikit para misionaris, tenaga kesehatan dan pendidikan, warga pendatang dan pribumi, dipenjarakan di kamp-kamp Jepang. Kehidupan menggereja pun masuk dalam posisi yang dikejar-kejar dan terancam. Gereja terkurung, menderita, dan berjuang untuk bisa bertahan hidup.

Keberpihakan Gereja

Medio Februari 1942, pasukan terjun payung Jepang merangsek lapangan terbang Palembang dan beberapa kilang minyak. Tentara Indonesia berperang memperebutkan Kota Palembang. Sabtu malam itu, Palembang penuh ketegangan, kekacauan, dan pertempuran.

Residen menawari Uskup, para pastor dan suster, untuk mengungsi. Mereka ditawari meninggalkan Palembang dengan menumpang kereta api tujuan Tanjungkarang, lalu mengungsi ke Jawa. Tawaran itu ditolak. Mereka memilih untuk tetap berada di tengah-tengah umat yang dilayani.

Tentara Nasional dipukul mundur dari Palembang oleh Jepang. Sebagian besar rumah orang Eropa dikosongkan. Uskup Mekkelholt juga disuruh meninggalkan tempat tinggalnya dan menempati Rumah Sakit Charitas. Perabot, arsip, dan dokumen-dokumen gereja dipindahkan ke pastoran Hati Kudus.

Pada siang bolong bulan April 1942, para misionaris yang tinggal di kompleks pastoran Hati Kudus dikumpulkan. Para pastor, bruder, frater, dan suster diberi waktu sepuluh menit untuk mengemasi barang. Mereka disuruh ikut ke kantor polisi militer. Sebelum berangkat ke penjara, mereka sempat menerima Komuni Suci di gereja dan kapel masing-masing.

Baca Juga:  Penyuluh Katolik Berkolaborasi dengan Komunitas Doa Santa Faustina Melaksankan Pembinaan Iman di Rutan Wirogunan

Kehidupan di penjara sangat memprihatinkan. Banyak interniran menderita kelaparan. Jatah makanan sangat kurang, mutunya jelek. Semua interniran menjadi lebih kurus dan sakit. Parahnya lagi, obat-obatan juga langka. Akhirnya, ada beberapa orang yang meninggal.

Di tengah situasi itu, walau terbatas, pelayanan misi masih diupayakan terjadi. Para suster dan frater menyelenggarakan sekolah-sekolah bagi anak-anak di kamp itu. Ada juga suster- suster yang membantu ibu-ibu dan anak-anak untuk mencuci dan menjahit pakaian mereka. Mereka mengadakan doa bersama pada hari Minggu dan Suster Rosa de Lima HK memberikan kotbah. Sementara itu, setiap sore, mereka berdoa rosario di luar barak. Sambil duduk-duduk di atas batang pohon, mereka berdoa dan bernyanyi.

Seruan Uskup Terkait Situasi Perang 

Sebagai persiapan dalam menghadapi masa darurat perang, Uskup Mekkelholt, SCJ membuat empat ketentuan sementara bagi Gereja:

  1. Semua pastor, bruder, frater, dan suster diharapkan tinggal di rumah dan menjaga gedung gereja, pastoran atau biara dengan sebaik mungkin. Hanya jika dalam keadaan yang membahayakan hidupnya, mereka boleh mencari tempat aman.
  2. Untuk keadaan darurat, disediakan 400 botol anggur dan sejumlah besar hosti.
  3. Lampung menjadi sebuah wilayah misi tersendiri. Bapak Uskup memberi kuasa kepada Pastor Mikkers SCJ untuk menangani pelayanan rohani dan materi.
  4. Di beberapa tempat misi yang miskin diberi sejumlah uang agar bisa dipakai dalam keadaan darurat, khususnya jika hubungan dengan kevikariatan terputus. Segala sesuatu yang bisa terjadi pada masa depan sebaiknya diserahkan kepada Penyelenggaraan Ilahi. Setiap orang diharapkan untuk siap dan rela berkorban demi kesejahteraan rohani dan materi di tempatnya sendiri.

Berguguran

Memasuki tahun 1943, Jepang mulai terdesak. Keadaan di kamp-kamp semakin mengenaskan. Pelayanan keagamaan dibatasi. Penyakit semakin merajalela. Jumlah orang meninggal kian bertambah. Jepang menutup Rumah Sakit Charitas di Palembang, 13 September 1943. Semua pasien dipindahkan ke kamp-kamp. Suster-suster Charitas pun dimasukkan ke kamp perempuan. Mgr. Mekkelholt SCJ juga dibawa ke kamp laki-laki.

Baca Juga:  Pesan Paus Leo kepada Para Seniman: ‘Dalam diri orang miskin, Tuhan Terus Berbicara kepada Kita’

Seminggu kemudian, kaum laki-laki dibawa ke suatu tempat yang belum diketahui. Tempat itu ternyata bernama Muntok, terletak di bagian barat pulau Bangka. Penjara yang dibangun 100 tahun sebelumnya itu, dulunya digunakan sebagai penjara bagi orang yang dihukum seumur hidup.

Di Muntok mulailah masa paling buruk; kekurangan makanan, penyakit malaria, wabah disentri, dan aneka perlakukan keji. Jumlah orang yang menanti ajal cenderung naik. Puncaknya pada bulan November 1944, ketika 58 orang laki-laki meninggal dunia. Ada 9 imam dan 2 bruder SCJ wafat, salah satunya adalah Pastor van Oort, SCJ, pastor Paroki Hati Kudus yang pertama. Seorang frater BHK pun menyusul. Pada saat menjelang ajal, mereka semua menerima Sakramen Pengampunan, Minyak Suci, dan Komuni Suci.

Sementara itu, kamp perempuan di Muntok terletak 4 km di luar kota, di sebuah kebun karet. Kamp terbuat dari kayu. Atapnya dari bambu dan jerami. Mereka kekurangan makanan. Obat-obatan hampir tidak tersedia. Dari 650 orang, 79 meninggal di sana. Di antara mereka itu adalah 12 suster misionaris.

Di kamp Muntok, para suster mempersembahkan hidupnya dengan melayani pasien. Mereka merawat anak-anak dari ibunya yang sakit atau meninggal. Mengingat tiadanya imam di kamp itu, mereka mendampingi orang Katolik atau bukan Katolik sampai saat kematian mereka. Dengan menanggung penyakit hingga kematian demi orang lain, suster-suster itu mengemban misinya. Namun, pengorbanan terbesar mereka kiranya ialah bahwa mereka mati dengan cara itu, yakni dengan tanpa menerima pelayanan Sakramen-sakramen terakhir.

 Di Antara Semak Duri

Seorang jurnalis Japan Times dan United Press, William H. McDougall, yang turut diinternir, mencatat beberapa kisah inspiratif yang terjadi dalam kamp Muntok. Setelah sekian lama dipenjara bersama, ia merasakan adanya kedekatan emosional dengan para misionaris.

Baca Juga:  Bekas Mobil Paus Fransiskus Jadi Klinik Kesehatan Keliling di Gaza

Digambarkan, bahwa kehidupan sarat penderitaan di penjara membuat banyak tahanan mengalami ketumpulan dalam hal rasa atau empati dengan yang lain. Tak sedikit orang yang jatuh depresi, apatis, dan bertingkah abnormal.

Pada suatu ketika, Mgr. Mekkelholt terkena disentri yang sangat parah. Ia memanggil McDougall untuk meminta obat yang dibutuhkannya. Namun, waktu meminta itu, Uskup mengatakan bahwa ia minta obat itu bukan hanya untuk dirinya sendiri. Uskup ingin juga memberikan obat yang sama untuk seorang yang membencinya, yang saat itu mengalami sakit yang serupa.

Mengetahui itu, McDougall enggan menyerahkan obatnya. “Orang itu tidak pantas diselamatkan!” sahutnya.

“Mac, bisa saja ia membuat beberapa kesalahan dalam hidupnya. Meskipun begitu, ia juga mampu melakukan sesuatu yang baik. Bukan urusan saya atau urusanmu, sehingga menghakimi nilai hidup orang lain,” sergah Bapak Uskup.

Hati McDougall luluh. Akhirnya, dalam catatannya ia menuturkan, bahwa dirinya tidak pernah mendengar Bapak Uskup mengeluhkan tentang sesuatu hal. Bapak Uskup tidak pernah mengucapkan satu kata jahat atau menghina orang lain, bahkan terhadap orang yang membencinya sekali pun.

Sementara itu, McDougall juga punya catatan tentang Pastor Gerardus Elling SCJ. Hari itu, Pastor Elling menderita sakit malaria. Badannya demam, panas tinggi. Sambil berbaring di lantai, di samping tempat tidur Mac, Pastor Elling bercerita tentang karya misi dan masa depannya.

Mendengar cerita itu, dengan enteng Mac pun menimpali, “Sebaiknya Pastor pulang secepat mungkin ke negeri Belanda untuk memulihkan kesehatan. Setelah itu, barulah Pastor berpikir tentang misi!”

“Omong kosong! Justru sekarang ini, umat membutuhkan kami!” jawab Pastor Elling lugas.

Elis Handoko (Kontributor Palembang)

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 26, Tahun Ke-79, MInggu, 29 Juni 2025

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles