web page hit counter
Jumat, 5 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Membentuk Generasi Bangsa Bermutu: Refleksi Menyongsong 80 Tahun RI

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Di mana letak akar kekuatan sebuah negara dan bangsa? Pertanyaan ini merupakan isu penting dalam merefleksikan umur 80 tahun Indonesia merdeka (1945-2025). Jawaban pertanyaan ini dapat pula menjadi titik berangkat merancang kebijakan dan berbagai aksi antisipatif menyongsong Indonesia emas 2045. Kita bisa menggali jawaban pertanyaan ini dengan mengaitkannya dengan salah satu komponen historisitas manusia yang berkaitan dengan horizon waktu.

Dalam buku Filsafat Manusia: Jendela Menyingkap Humanisme (2024), penulis menunjukkan  bahwa kesadaran akan waktu merupakan salah satu dari tiga komponen historisitas, selain ada bersama, dan  sebagai makhluk berbadan dan berjiwa. Horison waktu manusia ada tiga, yakni masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.

Relasi Tiga Horison Waktu

 Masa lalu merupakan sebuah faktisitas, yakni peristiwa yang telah terjadi. Cirinya tidak bisa diulangi, selain ia diterima dan dihadapi. Darinya manusia belajar tentang makna kehidupan, ya kejujuran, keberanian, tanggung jawab, nilai perjuangan dan nilai etis lainnya. Karena itu masa lalu menjadi guru kehidupan bagi manusia. Cicero menyebutnya dalam ungkapan bahasa Latin historia magister vitae, artinya sejarah adalah guru kehidupan. Masa lalu membuat manusia tidak berada pada titik nol, melainkan menerima  warisan dan meneruskannya.

Horison waktu yang kedua adalah masa kini. Masa kini, yang dalam bahasa Latin disebut dengan istilah nunc artinya “sekarang” dan hic, artinya “di sini” adalah realitas konlret yang dialami oleh manusia. Dalam horison ini manusia mengalami kehadiran sebagai keterlemparan di dunia seperti dikatakan oleh Martin Heidegger, filsuf eksistensialis Jerman. Manusia berjumpa dengan sesamanya dan mengembangkan diri dalam kekinian. Relasi sosial itu bersifat aktual. Dalam hal ini kekinian adalah realitas nyata yang dihayati oleh manusia. Di sana manusia menghadirkan dirinya dan menyadari kehadiran yang lain bagi dirinya. Dalam memaknai kekinian itu, manusia belajar dari masa lalunya.

Namun manusia tidak saja meninggalkan warisan, dan menjalani kekinian, ia juga berjalan menuju arah ke depan. Karena itu, masa depan menghiasi perjalanan hidupnya. Waktu masa yang akan datang adalah proyeksi dan harapan. Apa yang dilakukan manusia dalam situasi nyata (baca: waktu  sekarang) selalu terarah pada masa depan. Ini berarti, masa depan mengisyaratkan bahwa hidup manusia belum sempurna, namun menuju kesempurnaan. Karena itu ia terus menerus mengalami perkembangan. Bagi manusia, masa depan adalah sebuah janji sekaligus tugas. Horison waktu ini  mengundang manusia untuk memberi jawaban sekaligus memiliki harapan baru.

Ketiga horizon waktu di atas merupakan rentetan perjalanan hidup manusia mulai dari lahir hingga menghentikan nafasnya. Dalam bingkai pertanyaan di atas, masa lalu dan masa kini merupakan penentu masa depan. Secara lain dapat dikatakan, warisan yang diterima dari masa lalu dan kjualitas kehidupan yang dijalani menentukan masa depan seperti apa. Dalam kaitan dengan itulah, mutu masa depan tergantung pada kualitas di masa lalu dan masa kini. Konkretnya, masa depan yang bermutu sangat tergantung pada kualitas kehidupan yang dibangun di masa lalu dan di masa kini pula.

Baca Juga:  Dalam Misa di Beirut, Paus Leo: Bebaskan Hati Kita untuk Membawa Perdamaian dan Keadilan ke Lebanon

Dalam korelasi erat itu, tersirat pesan berharga bahwa agar masa depan baik, maka itu harus dipersiapkan sejak masa kini sambil belajar dari masa lalu. Jadi, meletakkan fundasi menjadi sangat penting. Fundasi seperti apa yang dapat menjadi persiapan bagi masa depan baik itu? Jawabnya tentu dasar yang kuat dan kokoh. Ini berarti apa? Setiap pribadi perlu dibekali dan membekali diri dengan akar yang kokoh dan kuat sejak dini. Secara lain dapat dikatakan, kekinian harus diisi dengan sesuatu yang bermakna, sebagai fundasi dan pegangan untuk menggapai masa depan. Seiring sifat waktu yang terus berjalan, kelalaian meletakkan dasar yang kuat dalam kehidupan nyata pada masa sekarang  berarti membuka jalan bagi masa depan yang suram dan gelap. Sebaliknya mengisi masa kini yang bermutu dengan dasar yang kuat menyiapkan masa depan  yang penuh harapan.

Keutamaan Moral dan Ilmu Pengetahuan

Kualitas kehidupan yang paling penting adalah nilai-nilai, yakni berkeutamaan dan ilmu pengetahuan yang memadai. Aristoteles sangat getol menggemakan dua hal tersebut sebagai kriteria penentu kualitas hidup bermutu itu, yang disebutnya dengan istilah arete. Karena itu menurutnya dua hal tersebut menjadi modal utama menyiapkan masa depan yang bermutu. Dengan keutamaan rasional, seseorang dimampukan untuk memilah-milah mana yang baik dan mana yang tidak baik, digerakkan untuk tidak mudah putus asa. Keutamaan justru membuat manusia mampu hidup tenang.

Secara lebih rinci, dalam Nicomacean Ethics (2024), Aristoteles menyebut dua keutamaan penting yang membuat hidup bermutu, yakni keutamaan rasional dan keutamaan moral. Keutamaan rasional membangkitkan dan memfungsikan kemampuan hakiki manusia sebagai makhluk berpikir.. Ini berarti keutamaan rasional yang mumpuni mendorong seseorang untuk mempertimbangkan dengan baik segala tindak tanduknya, termasuk ucapan, hasrat dan keinginannya. Orang demikian tidak mudah terbawa arus dan tidak mudah tergoda dengan rayuan-rayuan palsu, melainkan teguh berprinsip.

Sedangkan keutamaan moral membuat manusia memiliki sikap berani menghadapi berbagai kenyataan hidup, mendorongnya untuk bersikap jujur, dan mengelola hidup batinnya untuk meninggalkan sikap rakus dan tamak serta maruk berhadapan dengan hal-hal yang menyenangkan, sebaliknya menggaungkan sikap ugahari, tenang, berani. Keutamaan moral juga membuat manusia mencari jalan tengah, yang disebut Epikuros dengan phronesis alias yang menyenangkan semua pihak dalam menyelesaikan persoalan. Dengan keutamaan ini orang hidup dengan tenang dan bahagia, yang disebut kaum Stoisisme dengan istilah ataraxia, dalam keharmonisan baik terhadap orang lain maupun terhadap lingkungan alam semesta. Nilai-nilai ini merupakan fundasi hidup dan modal sangat penting bagi masa depan seseorang.

Karena itulah sejak dini keutamaan itu harus ditanamkan kepada anak-anak.  Ketika nilai-nilai itu tidak pernah ditanamkan pada anak-anak, maka anak-anak di masa depan juga tidak akan tahu dan mengenal nilai-nilai itu, lebih-lebih tidak pernah menerima hal-hal seperti itu sebagai yang penting bagi mereka. Mungkin bagi mereka itu akan menjadi sesuatu yang asing dan aneh. Dan paling buruknya, tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting dan bernilai.

Baca Juga:  Maria Bunda Penasihat Baik Resmi Jadi Pelindung

De facto, situasi ini telah  terjadi dengan generasi muda sekarang sebagaimana diperlihatkan oleh Jonathan Haidt dalam The Anxious Generation: How the Great Rewiring of Childhood is Causing an Epidemic of Mental Illness (2024). Dalam buku ini Haidt secara eksplisit menggambarkan itu sebagai akar dari kecemasan bagi generasi muda. Konkretnya, ketika orang tua tidak pernah menanamkan nilai-nilai moral bagi anak dalam keluarga, maka anak-anak tidak akan pernah tahu mana yang benar, mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk.

Orang Batak mengatakan ini dengan ungkapan, sala mandasor, sega uluan, artinya kalau sudah salah dasarnya, berikutnya akan rusak. Pesan etis ungkapan ini sederhana, yakni pentingnya meletakkan dasar yang kuat, tepatnya pembentukan mentalitas yang baik dan benar sejak awal, sebagai modal berharga di kemudian hari.

Sebaliknya, ketika nilai-nilai itu ditanamkan dan sikap-sikap anak dibentuk dengan nilai-nilai keutamaan, maka anak memiliki modal yang kuat dan baik untuk menjumpai masa depan. Mereka  tidak akan begitu gampang goyah  ketika berhadapan dengan berbagai rayuan yang melemahkan kodrat kemanusiaannya sebagai makhluk yang berpikir dan bermoral, karena ia telah dibekali dengan fundasi yang kuat untuk itu. Karena itulah pendidikan moral merupakan conditio sine quanon (syarat mutlak) dalam penyiapan generasi bangsa yang bermutu ke depan.

Mendukung hal di atas, anak-anak juga perlu dibekali dengan pengetahuan yang memadai. Seperti dikatakan oleh Socrates, pengetahuan merupakan dasar untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu. Pengetahuan menjadi “sinar: yang dapat menerangi manusia untuk melihat secara lebih jernih dan luas berbagai hal yang dialaminya. Pengetahuan adalah dasar bagi manusia untuk menilai sesuatu.

Misalnya pengetahuan tentang apa yang benar dan adil menjadi dasar bagi seseorang untuk menilai suatu perbuatan benar dan adil. Tanpa itu tidak mungkin seseorang bisa memberi penilaian tentang sesuatu itu benar atau salah, adil atau tidak adil. Sekali lagi karena itu, anak anak perlu pula dibekali dengan pengetahuan yang memadai. Dalam hal ini tentu pengetahuan tentang nilai-nilai dan ragam pendekatannya alias teori-teori etika. Pengetahuan tentang teori-teori etika meletakkan “moral reason” bagi seseorang untuk memutuskan dan menilai sebuah kebijakan atau perbuatan. Sekali lagi, meminjam Aristoteles dengan pengetahuan orang menghidupkan keutamaan rasional.

Wadah Peletakan Dasar

Etika dan pengetahan yang memadai harus ditanamkan kepada anak-anak sejak dini. Wadahnya mulai dari keluarga, dunia pendidikan, hingga masyarakat. Awal dari pendidikan yang baik ada dalam keluarga. John Dewey  dalam Democracy and Education (1916) menyatakan bahwa keluarga merupakan tempat pertama di mana seseorang mengenal nilai-nilai; mengetahui  apa yang benar dan apa yang salah, apa yang baik dan yang buruk.

Baca Juga:  Pesan Paus di Rumah Sakit di Lebanon: Kita Tidak Boleh Melupakan Mereka yang Paling Rapuh

Di sana pula seorang anak belajar pertama kali bagaimana menghargai orang lain dalam lingkup kecil, sebelum masuk sekolah dan terjun dalam masyarakat. Hal yang sama ditegaskan oleh Franz Magnis Suseno SJ dalam Etika Dasar (1989). Bahkan menurut Magnis keluarga adalah wadah sosial inti dalam hidup bernegara untuk menghasilkan pribadi yang berkesadaran etis, sebelum sekolah formal.

Thomas Lickona dalam bukunya Educating for Character (1991) melengkapi apa yang dikatakan John Dewey dan Romo Magnis dengan memberi penegasan pada pentingnya peranan lembaga pendidikan formal dalam pembentukan karakter itu. Bagi Lickona dunia pendidikan memperkuat dan semakin meneguhkan apa yang sudah ada dalam keluarga lewat proses belajar mengajar yang baik. Bagi Lickona, dunia pendidikan hadir untuk membentuk karakter peserta didik.

Paulo Freire, tokoh pendidikan dari Brazil dalam The Pedagogy of The Opprese (1996), melihat lebih luas lagi. Ia menyatakan bahwa penting membangun kesadaran anak didik tentang situasi nyata dirinya dan masyarakat sekitarnya. Ia menyebutnya  dengan istilah “konsientisasi”. Artinya, bagi Paulo Freire, melalui pendidikan peserta didik menyadari kehadiran nilai itu dalam lingkungan sekitarnya. Jadi, sumber ilmu bukan hanya guru, tetapi kehidupan nyata peserta didik, yakni pengalaman diri dan realitas masyarakatnya.

Kesadaran inilah yang menggerakkan peserta didik untuk bangkit dari kebodohan,  dan ikut membela rakyat yang tertindas. Pada jaman teknologi digital Bernard Merr  dalam Future Skills (2022) mengidentifikasi sejumlah modal dasar itu, antara lain kecerdasan emosional, kesadaran etis, kerjasama, pengelolaan waktu, adaptif, kecerdasan budaya, kreatif dan belajar terus serta berpikir kritis, sebagai modal utama dalam menyiapkan masa depan yang baik.

Pandangan sejumlah pemikir di atas sesungguhnya mengisyaratkan pesan yang sama, yakni pentingnya  sejak awal membekali anak-anak dengan dasar yang kuat berupa nilai-nilai moral dan karakter yang baik, sertai ilmu pengetahuan yang memadai. Semua ini merupakan modal fundamental bagi generasi muda menyongsong masa depan yang baik. Diperlukan kesadaran kita semua, sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing untuk berkomitmen menyiapkan generasi bermutu mulai sekarang demi kejayaan bangsa di masa depan.

Kualitas manusia masa depan tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan itu harus dibentuk mulai sekarang. Peran orang tua, lembaga pendidikan dan perangkat dan subjek yang terlibat di dalamnya, serta masyarakat dan negara sangat strategis dan penting untuk itu. Mari kita buat yang terbaik demi masa depan bangsa ini mulai dari sekarang dengan memberikan pendasaran yang baik dan kokoh demi terciptanya  generasi bangsa yang bermutu dalam keluarga, di sekolah dan di masyarakat!

Kasdin Sihotang, Dosen Filsafat Moral di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles