web page hit counter
Jumat, 5 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

HUT Ke-75 Kardinal Ignatius Suharyo: Kerendahan Hati, Keutamaan Dasar

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – RABU, tanggal 9 Juli 2025, Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo, Uskup Agung Jakarta (KAJ) yang memangku jabatan itu sejak 29 Juni 2010 dan kardinal sejak 5 Oktober 2019, genap berusia 75  tahun. Perjalanan hidup dan karyanya menyejarah, khas-unik-inspiratif, di antaranya kebiasaan merangkai tiga kata menjadi satu kalimat kunci, misalnya Beriman, Bersaudara, Berbela rasa. Three in One.

 

Dari kanan ke kiri: Kardinal Ignatius Suharyo, Sr. Christina Sri Murni, FMM; Henricus Subekti (alm); Pastor Benedictus Sunar Djoko Pranoto, SDB; dan Sr. Margaretha Maria Sri Marganingsih, PMY. (Foto: Dokpri)

Mereka yang berusia 75 tahun, demikian psikolog perkembangan Urie Bronfenbrenner (1917-2005),  dalam mencapai kematangan pribadi, seseorang sangat dipengaruhi interaksi yang bersangkutan dengan lingkungan. Interaksi yang produktif itu mengandaikan modal awal sebagai milik-diri yang juga unik-khas individual. Menelusuri perjalanan 75 tahun usia Kardinal Suharyo –putra ke-7 dari antara 10 bersaudara lahir di Sedayu, Bantul, DI Yogyakarta, 9 Juli 1950 — dalam ujaran, pesan, tulisan, tindakan dan karyanya — modal awal itu adalah kerendahan hati sebagai keutamaan dasar.

Kerendahan hati membuahkan keutamaan-keutamaan lain. Terkutip komentar Kardinal Julius Darmaatmaja, SJ (90) tentang Kardinal Suharyo. “Rendah hati karena ia menghayati apa yang dipelajari dibawa ke dalam hati. Ada efeknya, yakni sikap rendah hati dan mendalam. Mendalam karena ia menghayati apa yang dipelajari dalam terang iman. Rendah hati karena pelajaran yang diajarkan dalam Kitab Suci sangat kuat menekankan kerendahan hati”.

2. Empat dari 10 bersaudara sebagai biarawan/rohaniwan di Sedayu, November 2007. Berdiri dari kiri ke kanan: P. Suibertus Arie Sunardi OCS0 (alm), Sr. Christina Sri Murni FMM, Sr. Margaretha Maria Marganingsih PMY, Kardinal Ignatius Suharyo. Duduk: Florentinus Amir Hardjodisastro (alm) dan Theodora Murni Hardjodisastro (almh). Satu kemenakan Pastor Benedictus Sunar Djoko Pranoto, SDB (tidak kelihatan). Foto: Dok. Keluarga

Buah keutamaan-keutamaan lain mengkristal dalam pribadi Kardinal Suharyo. Ia mencapai gelar doktor bidang Teologi Biblis di Universitas Kepausan Urbaniana, Roma tahun 1981 dalam waktu 2,5 tahun dari jatah waktu 4 tahun, lulus dengan nilai summa cum laude. Tesisnya  tentang Implikasi Eklesiologis Kisah Perjamuan Terakhir menurut Lukas  (Luk. 22:7-38). Jauh sebelumnya ia dikenal sebagai pribadi yang rendah hati (humilis) dan menjadi ingatan kolektif banyak orang.

Masuk Seminari Mertoyudan dalam usia satu tahun lebih muda dari rekan-rekan seangkatan, pemain instrumen biola, bersama Sumadyo (76) rekannya, ia masuk jurusan IPA, sementara rekan-rekan seangkatannya Sosial dan Budaya. Di Seminari Tinggi Kentungan ia punya hobi traveling dengan sepeda motor dan bulu tangkis. Sesudah ditahbiskan oleh Kardinal Yustinus Darmojuwana, 26 Januari 1976  bersama Pastor Y. Bardiyanto, Pr (alm), ia berkarya 8 bulan di Paroki Bintaran. Menurut Mgr. Blasius Pujaraharja (89) – Pastor Paroki Bintaran waktu itu — kini tinggal di Domus Pacis, Kentungan, “ia tidak banyak bicara, cerdas, pendoa, bekerja sistematis.”

Lima bersaudara di Bandung, 5 Januari 2017. Dari kiri ke kanan: Sr. Maria Margaretha Maria Marganingsih PMY, Kardinal Ignatius Suharyo, Petrus Canisius Suroso (alm.), Henricus Subekti (alm.), Sr. Christina Sri Murni FMM. Foto: Dok. Keluarga

Sepulang dari Roma, ia mengajar Kitab Suci di Fakultas Teologi Wedhabakti Universitas Sanata Dharma, beberapa perguruan tinggi lain di samping tugas-tugas perutusan lain. Ia hadir-tampil apa adanya. Tidak dibuat-buat dan dipoles-poles. Sederhana. Kehadirannya menjadi berkat bagi lingkungan.

Baca Juga:  Kongregasi FCh Rayakan 34 Tahun Kemandirian dan Hidup Membiara di Palembang

Peranan Keluarga

Peranan keluarga, menurut Kardinal Suharyo, merupakan landasan yang  kokoh bagi seseorang untuk semakin matang dan dewasa sebagai pribadi yang berhikmat; pribadi yang memiliki kekayaan batin yang mengarahkan hidupnya dari dalam batin. Ayahnya, Florentinus Amir Hardjodisastro (alm.) pegawai Dinas Pengairan Provinsi DIY, ibunya Theodora Murni Hardjodisastro (almh.), bersama ke-10 putranya termasuk keluarga menengah di desanya.

Serviens Domino cum Omni Humilitate – “Aku Melayani Tuhan dengan Segala Kerendahan Hati” – motto episkopalnya sebagai Uskup Agung Semarang tahun 1997-2009 maupun Uskup Agung Jakarta tahun 2010—sekarang. Kutipan Kisah Para Rasul 20:19 itu menjadi roh karya perutusannya sebagai gembala, imam, dan nabi. Kerendahan hatinya terejawantah dalam mengemban tugas mengajar, menguduskan, dan menggembalakan (Lumen Gentium. Art. 21). Humilitas (bhs. Latin) –kerendahan hati — menurunkan kata humus dalam bahasa Indonesia, lahan subur yang memungkinkan tanaman  tumbuh subur, berbunga, dan berbuah.

Kerendahan hati Mgr. Ignatius Suharyo, menurut Romo Bernhard Kieser, SJ, teolog moral –dosen dan kemudian teman Kardinal Suharyo di Yogyakarta — bukan konsep moral pastoral. Kerendahan hati juga bukan model eklesiologi (menggereja). Seseorang yang rendah hati adalah orang beriman yang berani dan tidak memalingkan muka dan hati dari penderitaan sesama, dan yang punya imaginasi, niat dan tindakan menolong. Merekalah individu-individu, orang beriman yang membuat Gereja menjadi peristiwa, Gereja sebagai komunitas pengharapan.

Berdiri dari kiri ke kanan: Henricus Subekti (alm); Florentina Sutati (amh.-sulung); Ibu P. Benedictus Sunar Djoko Pranoto, SDB; Sr. Christina Sri Murni, FMM; Pastor Benedictus Sunar Djoko Pranoto, SDB; Sr. Margaretha Maria Marganinsih, PMY; Yohanes Subagyo (alm); Petrus Canisius Suroso (alm); Kardinal Ignagius Suharyo. Duduk: Amir Hardjodisastro (alm); Pastor Suibertus Arie Sunardi, OCSO (alm); Theodora Murni Hardjodisastro (almh) di Sedayu, November 2006. (Dok Keluarga)

Berkat keutamaan dasar itu, permasalahan yang ruwet-buntu terurai secara cerdas-cerah-mempersatukan. Ajakan simpatik “mari kita duduk bersama”, contoh kekhasan Kardinal Suharyo yang  tidak hanya mencerminkan kecerdasan intelektual tetapi juga afirmasi diri. Kerendahan hati sebagai jatidiri, membuatnya dikenal murah hati dalam arti seluas-luasnya, seorang pastor bonus (gembala yang baik), termasuk dalam berbagi ilmu.

Pidato pengukuhannya sebagai guru besar bidang teologi Kitab Suci, 1 Mei 2004 dengan topik Kitab Wahyu Bab 1-22, diakui oleh para seniornya menunjukkan Prof. Dr. Ignatius Suharyo selain ahli Kitab Suci juga guru yang baik. Katekese bertajuk Api Karunia Tuhan (AKT) yang ditayangkan secara daring setiap Senin sejak tahun 2019 sampai tahun 2024 sebagai contoh lain. AKT secara daring diikuti rata-rata 500 peserta setiap tayang, saban Senin pukul 20.00-21.00. AKT secara daring sudah berhenti, tetapi AKT secara luring sesekali masih diselenggarakan dengan peserta dibatasi maksimal 500 orang.

“Three in One”

Ketika ditahbiskan sebagai uskup KAS tahun 1997, Mgr. Suharyo harus memimpin umat KAS dalam peralihan abad XX ke abad XXI dan Gereja yang sedang mempersiapkan diri menyongsong Yubileum Agung tahun 2000. Masa itu ditandai dengan dua tantangan besar: gencarnya arus globalisasi dan bahaya integrasi bangsa. Lewat penelitian 27 Surat Gembala Mgr. Suharyo sebagai Uskup KAS (1997-2009), Pastor Yohanes Gunawan, Pr – kini Rektor Seminari Tahun Orientasi Rohani Sanjaya — menyimpulkan surat-suratnya tidak hanya sebagai pegangan sementara, tetapi menjadi gagasan “Gereja sebagai Peristiwa”, gagasan pokok yang membingkai visi kepemimpinan dan pandangan eklesiologisnya. Gereja adalah komunitas pengharapan, persekutuan paguyuban yang menghadirkan Gereja yang Murah Hati dan membangun Gereja yang Ekaristis.

Baca Juga:  Bekas Mobil Paus Fransiskus Jadi Klinik Kesehatan Keliling di Gaza

Ketika diangkat sebagai Uskup KAJ, 2010 — Mgr. Suharyo datang sebagai “gembala yang berbau domba”, santun dan murah hati, dari memimpin keuskupan yang homogen beralih ke keuskupan yang amat heterogen, pusat pemerintahan dan pusat segala keputusan berskala nasional. Ia bisa dengan cepat beradaptasi dalam evaluasi di kota metropolitan Jakarta. Ia belajar dari Santo Ignatius yang memberikan rumusan fortiter in re suaviter in modo (tegas dalam perkara lembut dalam cara), demikian Kardinal Darmaatmadja, seniornya yang menurut Kardinal Suharyo ibarat selalu “mempersiapkan kursi” baginya: Uskup KAS, Uskup KAJ, Ketua Presidium KWI (2012-2015 dan 2016-2018), dan Uskup Keuskupan Umat Katolik TNI/Polri (Ordinariatus Castrensis Indonesia, OCI) sejak tahun 2006.

Ardas KAJ tahun 2011-2015 yang dirumuskan pada awal masa penggembalaannya, mempertajam Ardas yang secara periodik dimulai sejak Kardinal Darmaatmaja. Dengan corak kepemimpinan yang partisipatif, transformatif dan memberdayakan sejak di KAS, Kardinal Suharyo mengajak seluruh umat berani menemukan bentuk-bentuk pelayanan yang kreatif. Wajah Gereja KAJ yang ingin dibangun adalah Gereja yang Beriman, Bersaudara, dan Berbela Rasa. Begitu juga ia pungut frasa bahasa Jawa sebagai pedoman hidup: neng (meneng, hening dalam doa), ning (bening, lurus dalam berpikir dan bertindak), nung (dunung, bertanggung jawab dalam bertindak).

Beriman, Bersaudara, Berbela Rasa, empat kata menjadi satu kalimat kunci, juga menjadi tema kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia tanggal 3-6 September 2024 di Indonesia. Faith, Fraternity, Compassion. Ketika ditelusuri, menciptakan empat kata menjadi satu kalimat kunci merupakan kebiasaan Kardinal Suharyo, juga dalam kepemimpinnya sebagai Ketua KWI. Misalnya, “Baik, Terima Kasih, Lanjutkan”, judul buku biografi 20 Tahun sebagai Uskup KAJ, terbit tahun 2017 (cet. 1) dikutip dari kata-kata Kardinal David Hume, OSB. “Terima Kasih, Tolong, Maaf” ketika Kardinal Suharyo  menanamkan semangat kekeluargaan. “Hidup adalah Anugerah, Panggilan, dan Perutusan” yang  digemakan tahun 2008-2009. Dalam suatu acara Refleksi Dewan Imam tahun 2007, ia sampaikan ajakan “Happy, Committed, dan Professional”. Tiga kata itu ibarat mantra, menegaskan makna dan peneguhan. Three in one.

Kardinal Suharyo pengagum dan belajar banyak dari buku-buku kontemplatif Henri J.M. Nouwen (1932-1996) sejak studi di Roma. Kekaguman itu berlanjut, menerjemahkan 22 judul dari 40 judul buku karya Romo Henri Neuwen, imam kelahiran Belanda, penulis buku-buku kontemplasi. Nama I. Suharyo, Pr dikenal sebagai perintis yang membawa pemikiran Henri Neuwen berkembang di Indonesia.

Baca Juga:  Pesan Paus di Rumah Sakit di Lebanon: Kita Tidak Boleh Melupakan Mereka yang Paling Rapuh

Sebagai penulis produktif di kemudian hari, Kardinal Suharyo mengawalinya sebagai penerjemah. Baginya kebetulan. Ketika membaca, menerjemahkan dan merefleksikan kontemplasi Neuwen, ia merasa pendekatan psikologi sangat membantu dalam studi Kitab Suci. Kitab Suci tidak sekadar teks, tetapi gerakan yang menghidupkan. Salah satu buku Neuwen, rupanya menginspirasi sesanti three in one. Judulnya Diambil. Diberkati. Dipecah. Dibagikan (terj. edisi revisi), 2023. Kardinal Suharyo sendiri, sebelum buku itu diterjemahkan dan ditulis dalam ediri revisi, tahun 2009 sudah menulis buku Yang Terpilih untuk Dipecah dan Dibagi.

Berkat neng, ning, nung, Kardinal Suharyo menempatkan segala persoalan dan kondisi masyarakat-bangsa sampai pada tingkat carut-marut secara jernih, rasional, terukur dalam koridor penghargaan martabat manusia. Tegas tidak harus dengan kekerasan dibingkai dalam harapan. Ia bisa memetik gagasan eklesiologi masa depan Gereja Diaspora Pastor Y.B. Mangunwijaya (1929-1999) yang terbit 1999 misalnya, atau aktif dalam memperjuangkan hak asasi manusia yang harus dihormati dan diperjuangkan sesuai cita-cita para bapak bangsa Indonesia merdeka.

Tidak ingin menonjol, alih-alih jadi selebritas. Tayangan lengkap Komsos KWI Katedral Jakarta tentang perjalanan Kardinal Suharyo saat mengikuti konklaf keterpilihan Paus Leo XIV, di media mainstream dan media sosial lain, baginya mungkin kekecualian. Ia toh tetap humble, apa adanya, sederhana. Didampingi Pastor Vincentius Adi Prasodjo, — Sekjen KAJ– dan tas tote plastik warna biru di tangan kanan, ia menjawab pertanyaan media internasional yang merubungnya. “Isi tas plastik itu mungkin permen yang siap dibagi-bagi,” seloroh Sr. Christina Sri Murni, FMM, adik kandung Kardinal Suharyo yang saat ini berkarya di Bogor, kakak si bungsu Sr. Maria Magdalena Marganingsih, PMY yang berkarya di Wonosobo — dua adik Kardinal Suharyo yang masuk biara selain Suibertus Arie Sunardi, OCSO almarhum.

Sebagai Uskup Agung Jakarta, anggota Dikasteri Evangelisasi Bangsa-bangsa dalam Kuria Vatikan sejak 2014, ia hadir sebagai pastor bonus yang rendah hati, sederhana, cerdas-ceria, membawa berkat bagi umat dan masyarakat.

Bapak Kardinal Ignatius Suharyo! Selamat Merayakan dan Mensyukuri 75 Tahun Usia!

Sugeng makaryo.

St. Sularto  (anggota Dewan Redaksi Majalah HIDUP/Wartawan Senior)

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 28, Minggu, 13 Juli 2025

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles