HIDUPKATOLIK.COM – Saat sudah menjadi Uskup Agung Semarang tahun 1997, Bapak Kardinal Suharyo masih memberikan satu kali perkuliahan di kelas pasca sarjana kepada angkatan saya tentang imamat dan kepemimpinan. Cara penyampaiannya sangat jelas dan mudah dipahami. Meskipun tidak menggunakan power point seperti pada dosen zaman now, ia menguraikan topik itu dengan menarik dan jelas. Dia mampu mengajar dengan sistematis dan runtut. Disertai humor segar yang tidak kasar.

Kepemimpinan Kardinal Suharyo sudah dibentuk dengan ketekunannya dalam mengemban tanggung jawab dan jabatan struktural sebelum menjadi Uskup, antara lain: Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan FIP IKIP Sanata Dharma (1 Feb 1989 – Mei 1993), Dekan Fakultas Teologi USD (1 Juli 1993 – 1 Juli 1997), dan Direktur Pascasarjana Fakultas Teologi USD (1 Juni 1996 – 1 Nov 1997). Selain itu, ia juga mengemban tanggung jawab sebagai Ketua Komisi Kitab Suci KAS, Ketua UNIO KAS (Persaudaraan Imam-Imam Praja), dan Wakil Ketua Lembaga Biblika Indonesia-KWI.
Bukan Jabatan Kekuasaan
Kiprah Kardinal Suharyo dalam hidup menggereja dan berbangsa tidak diragukan lagi. Kemampuan, kecerdasan dan inspirasinya dalam berpastoral ikut memberi warna hidup menggereja di Keuskupan Agung Semarang (KAS, 1997-2009), Keuskupan Agung Jakarta (KAJ, 2010-kini)), dan Keuskupan Bandung (2010-2014). Bahkan ikut membentuk wajah Gereja Katolik di bumi Indonesia saat menjadi Ketua KWI selama 3 periode (2012-2015, 2015-2018, dan 2018-2021).
Visi kepemimpinan dan tata penggembalaannya sebagai uskup terangkum dalam motto atau semboyan Serviens Domino cum omni humilitate (Aku melayani Tuhan dengan segala rendah hati – Kis 20:19). Kalimat ini merupakan salah satu pidato perpisahan yang disampaikan St. Paulus kepada para penatua di Efesus setelah ia memberikan pelayanan yang total sampai mencucurkan air mata.
Terkait dengan semboyan itu, Kardinal Suharyo pernah mengungkapkan, “Semboyan itu saya pilih bukan karena mencerminkan keadaan diri saya, tetapi lebih merupakan cita-cita saya. Waktu ditunjuk menjadi uskup, saya baru mencoba mengenal secara lebih dalam pribadi Rasul Paulus. Sampailah saya pada Kisah Para Rasul 20:17-38”.

Dengan mengambil motto itu, dia ingin memberikan perspekstif baru atas kepemimpinan uskup. Dalam refleksi 10 tahun menjadi uskup pada tahun 2007, diungkapkan “Dengan mengambil motto itu, saya mencoba menghayati bahwa jabatan uskup bukanlah jabatan kekuasaan, melainkan demi pelayanan yang lebih luas. Tentu semua itu harus dijabarkan dalam bahasa yang lebih sederhana. Misalnya, kata ‘jabatan’ biasanya dihubungkan dengan kata ‘menduduki’. Dalam konteks pelayanan, mestinya ‘jabatan’ dikaitkan dengan kata ‘memangku’ atau ‘mengemban’”.
Dengan semboyan itu ia juga ingin mengemban tanggung jawab sejarah. Ketika ditunjuk menjadi uskup, ia terhibur ketika membaca tulisan Kardinal Hume, OSB. Diungkapkannya dalam The Catholic Way. Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita (Kanisius, 2009), “Salah satu bagian tulisannya itu melegakan saya, karena beliau menulis bahwa menjadi Uskup itu tidak sulit. Mengapa? Modalnya hanya tiga kata: baik, terima kasih, dan lanjutkan. Kata-kata itu menghibur, tetapi juga menantang karena di balik rangkaian tiga kata itu diandaikan ada satu pribadi yang matang dan dewasa”.
Berdasarkan inspirasi dari Kardinal Hume itu, selama kepemimpinannya ia menggunakan kata-kata itu sebagai peneguh, penghibur, dan apresiasi terhadap karya pelayanan dan sumbangan para imam, biarawan/wati, dan umat. Bahkan secara terus-terang dengan segala kerendahanhatinya, dia mengungkapkan rasa terimakasih dan penghargaannya kepada para ketua lingkungan.
Dalam refleksi 10 tahun menjadi uskup, diungkapkannya, ”Sebagai uskup, saya tinggal mensyukuri semua yang baik itu. Saya sering mengatakan kepada teman-teman di paroki waktu saya kunjungan, Keuskupan Agung Semarang ini kalau tidak ada uskupnya pun akan berjalan dengan baik, karena landasannya sudah ada. Keterlibatannya begitu besar. Seringkali saya juga mengatakan, menjadi ketua lingkungan jauh lebih sulit dibandingkan menjadi uskup. Ungkapan seperti itu saya sampaikan sebagai ucapan terima kasih kepada ketua-ketua lingkungan, sebagai tokoh Gereja”.
Model Kepemimpinan
Bagaimana model kepemimpinan Kardinal Suharyo? Panggilan hidupnya sebagai uskup adalah rahmat Tuhan. Dia mengembangkan semangat partisipatif. “Dengan partisipatif, saya menyadari diri bukan orang cerdas, dengan demikian dalam kepemimpinan selain saya memimpin juga dipimpin”. Dari semangat partisipatif itulah terbangun berbagai transformasi. Sehingga konsep kepemimpinan bagi Kardinal Suharyo adalah kepemimpinan partisipatif-transformatif. Di KAS, semasa kepemimpinannya, populer istilah “duduk bersama” menjadi kata kunci mengatasi berbagai persoalan.
Mengenai sifat kepemimpinan Kardinal Suharyo, Mgr. Valentinus Kartosiswoyo memberikan kesaksian bahwa Kardinal Suharyo adalah gembala yang fortiter sed suaviter (keras tetapi lembut). Dia halus dalam berkata-kata, menyampaikan sesuatu, bahkan dalam memberikan tugas, namun dia tegas dalam mengambil keputusan (decision making) yang menyangkut kesatuan dalam kehidupan bersama.
Karya pastoral Gereja bukan sekedar pekerjaan uskup atau pastor bagi umatnya, tetapi menjadi pekerjaan seluruh umat dalam ambil bagian melaksanakan tri tugas Kristus sebagai imam, nabi, dan raja. Atas kesadaran itu, digulirkan tata kepemimpinan yang tidak melestarikan sikap ketergantungan umat pada gembala. Model kepemimpinan Kardinal Suharyo adalah kepemimpinan yang mengikutsertakan (partisipatif), mengembangkan (transformatif), dan memberdayakan (empowering) umat. Di balik model kepemimpinan itu, ada dua paham dasar yang dikembangkan Kardinal Suharyo, yaitu: pola-pola relasi yang dialogal (Dei Verbum, art. 2) dan model kepemimpinan Barnabas (Kis 13:1-5).
Terinspirasi dari Barnabas
Kepemimpinan Kardinal Suharyo terinspirasi dari kepemimpinan Barnabas. Dalam webinar Kepemimpinan Barnabas yang diselenggarakan Yayasan Bhumiksara pada 25 Februari 2023, Kardinal Suharyo mengungkapkan, “Mengapa dan bagaimana Barnabas selalu menjadi inspirasi bagi saya pribadi di dalam hal kepemimpinan? Ada dua alasan. Yang pertama, Barnabas ini adalah pribadi yang ‘tidak dikenal’, tidak banyak dikenal di dalam lingkungan Gereja”.

Lebih lanjut, “Padahal, dan ini alasan yang kedua, seandainya tidak ada Barnabas, kita tidak akan pernah punya Paulus. Paulus itu diselamatkan dalam arti yang seluas-luasnya oleh Barnabas. Bahkan, kalau tidak ada Barnabas, mungkin kita tidak akan pernah mendengar pewartaan Injil sampai ke Keuskupan Agung Jakarta. Karena apa? Karena yang menentukan itu semua adalah orang yang namanya Barnabas ini. Sejarah menunjukkan ini,” tegasnya.
Pada awal sejarah Gereja abad pertama, menurut Kardinal Suharyo, ada tiga pusat Gereja. Yang pertama, Gereja Yerusalem yang dipimpin oleh Yakobus saudara Tuhan dan surut mati karena tertutup; Yang kedua, Gereja Efesus yang dipimpin Yohanes Rasul yang lama-kelamaan mati karena terlalu banyak pertikaian; dan ketiga, Gereja Antiokhia yang dipimpin Barnabas terbuka dan menjadi pusat misi, pusat pewartaan Injil ke seluruh dunia.
Potret kepemimpinan Barnabas dapat didalami dari Kisah Para Rasul (Kis 4:36-37 dan Kis 11:23-24). Berdasarkan teks itu, Kardinal menjelaskan predikat-predikat Barnabas. Pertama, sebagai seorang dari keluarga Lewi, dia mempunyai tugas di dalam ibadah yang peranannya sangat sederhana. Kedua, Barnabas berasal dari Siprus. Artinya, dia orang Yahudi yang tinggal tidak di dalam lingkungan Yahudi.
“Saya membayangkan pandangannya itu luas karena pergaulannya luas. Saya yakin, bahwa lingkungan hidupnya di Siprus ikut membentuk pribadinya. Pribadi yang terbuka,” kata Kardinal.
Barnabas berperan dalam kepemimpinan Gereja awal (Kis 13:1-5). Barnabas adalah seorang pemimpin Gereja Antiokhia yang pantas diteladani. Berkat kepemimpinannya, Gereja Antiokhia menjadi awal dari gerakan misioner dan menjadi model Gereja yang berkembang. Keputusan untuk memulai karya misi itu disadari sebagai buah dari penegasan bersama (discernment) yang dijalankan oleh tokoh-tokoh di bawah pimpinan Barnabas. Kepemimpinan Barnabas sebenarnya sudah tampak saat ia diutus oleh jemaat dari Yerusalem ke Antiokhia. Barnabas adalah orang yang paling mampu memimpin dan mengembangkan jemaat Antiokhia yang sebagian besar orang-orang bukan Yahudi.
Kesuksesan kepemimpinan Barnabas dinyatakan dalam Kis 11:26 yang menegaskan, ”Di Antiokhialah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen”. Berkat kepemimpinan Barnabas, Gereja di Antiokhia mempunyai cakrawala universal, bukan lagi hanya sebatas akar Yahudi. Bahkan, dalam perkembangan umat Kristen selanjutnya, Gereja Antiokhia mempunyai peranan dan arti yang penting. Dari Gereja Antiokhia berangkatlah misi resmi yang pertama ke dunia yang belum tersentuh Injil. Maka sosok Barnabas dinilai sebagai pemimpin yang visioner, sedangkan Paulus lebih dinilai sebagai seorang perintis.
Gereja sebagai Peristiwa
Gereja sebagai Peristiwa ini secara resmi dimunculkan dalam Surat Gembala 21 Juni 1998 yang berjudul Bersama-sama Mengemukakan Kehendak Tuhan dan Menegaskan Keterlibatan. Gereja sebagai peristiwa adalah Gereja yang menanggapi Allah yang bersabda dalam berbagai peristiwa, dijiwai oleh semangat kesetiakawanan dan keterbukaan kepada semua orang. Paguyuban umat yang beriman dewasa, mendalam, misioner, dan memasyarakat itulah yang merupakan cita-cita untuk menjadi Gereja yang kontekstual dengan tetap mengutamakan pertumbuhan spiritual umat. Gereja yang kontekstual dibahasakan oleh Mgr. Suharyo dengan istilah ”peristiwa” (kenyataan hidup di dalam iman akan Allah dan di tengah perjalanan hidup manusia di masyarakatnya).
Gagasan ”Gereja sebagai Peristiwa” ini menjadi bingkai dari program kepemimpinannya. Gagasan ini merupakan gagasan pokok yang membingkai pandangan-pandangan ekklesiologisnya dalam menentukan wajah Gereja di tengah situasi dan tantangan hidup menggereja dan memasyarakat. Gagasan ini tidak lepas dari sejarah pergulatan dan keterlibatan Gereja Indonesia. Pergulatan dan keterlibatan itu secara nyata dirumuskan dalam hasil Sidang KWI dan Umat tahun 1995, Surat Gembala Prapaskah KWI 1997, dan Ardas KAS 1996-2000. Berdasarkan dari dokumen itu, Mgr. Suharyo mengajak Gereja KAS tampil sebagai peristiwa (=happening) yang tanggap terhadap sabda Allah yang aktual. Secara lebih populer, gagasan ini diungkapkan dalam rumusan ”Kitab Suci di tangan kanan, koran di tangan kiri.”
Gereja bukanlah pertama-tama organisasi yang sempurna, tetapi sebuah peristiwa. Gagasan ini mengacu dan mengambil inspirasi dari gagasan Gereja sebagai peristiwa yang terjadi dalam Gereja Perdana saat peristiwa Pentakosta (Kis 2:1-47). Di dalam Kisah Pentakosta itu termuat kisah iman.
Menghadirkan Gereja yang Murah Hati
Gagasan ”Gereja yang Murah Hati” mulai digulirkan Mgr. Suharyo pada tahun 2000 karena waktu itu ada keprihatinan dan keluhan umat KAS yang kesulitan mendapat pelayanan rohani dari para imam. Para imam dipandang ’pelit’ memberikan pelayanan kepada umat. Pelayanan yang murah hati menjadi perhatian besar dari Mgr. Suharyo. Dalam berbagai kesempatan, ia tidak henti-hentinya menghimbau para imamnya agar mengembangkan pelayanan yang murah hati, yang lebih memperhatikan keuntungan spiritual dan keselamatan jiwa umat.
Pelayanan yang murah hati itu bukan sekedar pelayanan yang murahan, kaku, atau sesuka hati, tetapi sungguh pelayanan demi pengembangan iman umat dan kebaikan bersama (ut bonum commune). Pelayanan itu menuntut keberanian dan kemauan para imam untuk memberi waktu, tenaga, pikiran, dan perhatian yang lebih banyak pada kebutuhan spiritual umat tanpa menghitung untung-rugi materi.
Gereja yang murah hati terinspirasi dan didasari dari sikap Allah Bapa yang murah hati, yang telah memberikan yang terbaik, yaitu Yesus Putera-Nya kepada manusia yang berdosa. Sebagai murid-murid Yesus, kita pun dipanggil untuk sama seperti Allah Bapa yang murah hati, ”Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati” (Luk 6:36).
Dengan pelayanan murah hati, para imam menghadirkan wajah Gereja yang melayani dengan murah hati. Semakin imam bisa ngrengkuh, ngesuhi dan gemati (menerima, mempersatukan dan mencintai), semakin ia dihargai dan dicintai umatnya. Baginya, sikap gemati menjadi amat penting dan mendesak dalam iklim birokrasi masyarakat Indonesia yang amat mengerikan. Ada keprihatinan atas sikap para pejabat yang mengeluarkan ungkapan, ”kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah”.
Kardinal Suharyo mengajak para imam KAJ melayani umat dengan semangat “Gembala Baik dan Murah Hati” dalam Ardas Pastoral KAJ 2011-2015. Spiritualitas Gembala Baik diangkat dengan tujuan agar para imam bertindak seturut teladan Yesus, Sang Gembala Baik. “Gembala yang baik mengenal dan dikenal domba-domba-Nya” (Yoh 10:14), serta peduli pada dombanya yang kesusahan dan tersesat (bdk. Yeh 34:16).
Sedangkan semangat murah hati bisa dipadankan dengan pelayanan yang rendah hati yang dilakukan dalam kesadaran akan Allah Mahatinggi dan terarah pada kemuliaan Tuhan. Pelayanannya dilakukan dengan ramah dan gembira, mengutamakan keselamatan umat, serta menyapa umat sebagai sesama dengan dorongan Roh Kudus, sehingga dapat membuat para domba semakin kerasan tinggal dalam keluarga besar Gereja.
Memviralkan Nilai-nilai Pancasila
Kardinal Suharyo mengajak Gereja untuk terus bergerak tidak hanya dalam batas-batas organisasi gerejawi, tetapi melintasi batas. Salah satu persoalan yang merisaukan hatinya adalah makin rendahnya penghayatan orang terhadap Pancasila dan nilai-nilai di dalamnya. Bahkan ada oknum sekelompok orang yang ingin mengaburkan, menguburkan, dan menggantikan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dengan dasar negara yang lain. Atas kerisauannya itu, dia bersama para imam KAJ giat mengampanyekan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam Arah Dasar KAJ 2016-2020.
Sebagai persekutuan dari gerakan umat Allah, Gereja KAJ bercita-cita menjadi pembawa sukacita Injili dalam mewujudkan Kerajaan Allah yang Maha Rahim dengan mengamalkan Pancasila demi keselamatan manusia dan keutuhan ciptaan. Atas dorongan Roh Kudus, berlandaskan spiritualitas inkarnasi Yesus Kristus, serta semangat Gembala Baik dan Murah Hati, umat KAJ berupaya menyelenggarakan tata-pelayanan pastoral-evangelisasi agar semakin tangguh dalam iman, terlibat dalam persaudaraan inklusif, dan berbelarasa terhadap sesama dan lingkungan hidup.
Pancasila menjadi dasar pada setiap kebijakan dan pewartaan yang disampaikan kepada umat Katolik di KAJ. Kardinal Suharyo berusaha “memviralkan” nilai-nilai Pancasila dalam berbagai kesempatan homili dan perjumpaan dengan umat. Selain itu, juga “memviralkan” kembali warisan dari para pendahulu, seperti warisan cinta tanah air dengan slogan “100% Katolik dan 100% Indonesia”.

Salah satu gerakan yang dikembangkan adalah penghayatan iman secara mendalam melalui gerakan devosi doa Rosario Merah Putih. Hal ini dilakukan untuk kemajuan, kesejahteraan bersama (bonum commune), dan kedamaian bangsa Indonesia dalam merawat ingatan bersama dan mengemban tanggung jawab sejarah. Selain itu juga ada beberapa semboyan yang sangat familiar di telinga umat, seperti kerahiman Allah memerdekakan; makin adil, makin beradab; kita bhinneka, kita Indonesia; amalkan Pancasila: kita berkhidmat, dan bangsa bermartabat.
Selama perjalanan Ardas KAJ 2022-2026, Kardinal Suharyo mengajak umat untuk menjalankan lima poin ajaran sosial Gereja, yaitu: penghormatan martabat manusia (2022), kesejahteraan bersama (2023), solidaritas – subsidiaritas (2024), kepedulian lebih pada yang lemah dan miskin (2025), dan keutuhan alam ciptaan (2026).
Mengilhami Orang Lain
Kardinal Suharyo, menurut penulis, menghayati diri sosok pemimpin sebagai servant (pelayan) yang rendah hati, steward (pengurus/pengelola) yang mengemban tanggung jawab sejarah, dan shepherd (gembala) yang fortiter sed suaviter (tegas tetapi halus). Salah satu sifat kepemimpinan menurut Anthony D’Souza adalah kepemimpinan yang ennoble, yaitu tindakan yang memaknai sesuatu sekaligus mengilhami orang lain agar bisa mencapai keluhuran. Kardinal Suharyo tak jarang menyampaikan kata-kata kunci dalam menyampaikan pemikirannya kepada para imam maupun umat. Kata-kata kunci dari Kardinal Suharyo sering menginspirasi, mengilhami, mudah diingat, mengena, dan menjadi refren di kalangan para imam dan umat.
Kata kunci atau ungkapan sesanti yang disampaikannya tak jarang menggunakan unsur tiga, baik tiga kata maupun tiga ungkapan peneguh. Ada beberapa kata kunci atau ungkapan sesanti peneguh, antara lain: Merawat ingatan bersama; Mengemban tanggungjawab Sejarah; Imam yang happy, committed, dan profesional; Gereja yang kredibel, akuntabel dan transparan; Terima kasih, baik, dan lanjutkan!; Hidup adalah anugerah, panggilan, dan perutusan; serta Kepemimpinan yang mengikutsertakan (partisipatif), mengembangkan (transformatif), dan memberdayakan (empowering).#
Pastor Yohanes Gunawan
Rektor Seminari TOR Sanjaya-Semarang





