web page hit counter
Sabtu, 6 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Peran Etis Kaum Intelektual: Memaknai 80 Tahun Kemerdekaan RI

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Dalam sejarah perkembangan masyarakat global, kaum intelektual memiliki peranan besar. Sejak jaman Yunani hingga masa modern peran itu sudah sangat terlihat secara eksplisit melalui gagasan-gagasan mereka di tengah masyarakat. Di jaman Yunani, sangat populer tiga nama besar, yakni Aristoteles, Sokrates dan Plato. Ketiganya adalah filsuf besar yang memberikan pencerahan intelektual bahkan meletakkan dasar bagi pemikiran tentang hidup manusia yang mendasar. Gagasan mereka juga menjadi rujukan bagi para pemikir selanjutnya.

Aristoteles

Aristoteles menggulirkan gagasan tentang hakikat manusia sebagai makhluk yang berpolitik dengan sebutan zoon politikon. Namun jangan salah, kata “politikon” dalam pemahaman Aristoteles bukan terkait dengan strategi dalam memenangkan sebuah pertarungan atau persaingan demi mendapatkan kedudukan atau jabatan tertentu dalam pemerintahan. Apa yang dimengerti orang dewasa ini, khususnya di Indonesia tentang kata politik, adalah sesuatu yang sangat jauh, bahkan antitesis dari esensi yang sebenarnya digagaskan oleh Aristoteles. Bagi Aristoteles, kata “politik” beririsan dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Manusia adalah makhluk yang ada dan hidupnya dalam kebersamaan. Dalam kebersamaan itu ada keperluan dan kepentingan bersama. Singkatnya dalam kata “politikon” makna yang sesungguhnya adalah sosialitas, yakni hidup bersama dengan orang lain.

Mengurus Kepentingan Bersama

Karena kepentingan masing-masing individu berbeda, bahkan potensial bertentangan, dan agar hal yang terakhir tidak terjadi, maka harus ada orang yang secara khusus untuk mengurusnya. Dalam hal inilah muncul kata politisi. Dengan dasar pemikiran demikian, politik sesungguhnya merupakan aktivitas yang berkaitan dengan urusan bersama, bukan urusan atau kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Implikasinya, politisi adalah orang yang bertugas untuk mengurusi kepentingan bersama itu secara baik dan benar sehingga tidak terjadi konflik di dalam realitas kehidupan sosial itu sendiri. Sumbangan pemikiran ini sesungguhnya adalah hal yang sangat mendasar dan menjadi indikator nyata terhadap peran etis dari seorang intelektual bernama Aristoteles itu.

Selain penggagas makna esensial politik sebagai ungkapan sosialitas, peran etis lain Aristoteles adalah penggagas etika. Dalam “The Nicomachean Ethics” ia menyuguhkan pemikirannya  tentang bagaimana menjadi pribadi yang bermutu. Bagi Aristoteles, kualitas manusia tidak terletak pada kepintaran atau kemampuan intelektualitas semata, tetapi juga pada keutamaan. Wujudnya adalah berfungsinya secara baik akal budi (rasio) dan bangkitnya kesadaran akan nilai-nilai kehidupan seperti kejujuran, keugaharian, keberanian, dan kebajikan. Teori ini dikenal dengan etika keutamaan. Teori ini menjadi dasar pemikiran bagaimana setiap pribadi menghidupi dunia yang bermutu, yang dikenal dengan sebutan Yunani dengan kata arete.

Plato

Sementara Plato melengkapi gagasan Aristoteles tentang bagaimana kehidupan bersama (baca: negara) ditata dengan menganalogikan struktur hirarkis politik dengan fungsi jiwa, yakni pikiran, semangat/keberanian dan keinginan. Ketiga hal ini mewarnai tiga kelas dalam negara, yakni para penasehat, para pembantu dan para penghasil. Plato menyatakan bahwa para penasihat atau pemimpin dalam mengemban tugasnya harus mendasarkan diri pada fungsi jiwa yang pertama, yakni akal budinya. Karena itu seorang pemimpin harus memiliki kemampuan berpikir yang jernih, cerdas dan cemerlang.Dalam bekerja ia harus bekerja seperti seorang filsuf. Apa modal kerja seorang filsuf? Jawabnya adalah pola berpikir dan keutamaan moralnya. Artinya, seorang pemimpin adalah dia yang bermutu secara personal, bermutu secara intelektual. Pemimpin adalah dia yang tidak dikuasai oleh naluri ekonomis untuk menjadi kaya. Melainkan ia dikuasai oleh sikap-sikap bijak dan rasional dalam menjalankan kekuasaannya. Singkatnya bagi Plato semangat dan karakteristik para filsuf: moralitas, pengendalian diri, kebijaksanaan dan keperkasaan serta keadilan, tercermin dalam diri seorang pemimpin.

Kelas kedua adalah para pembantu/militer. Plato menggagaskan bahwa yang menangani keamanan negara adalah mereka yang memiliki kemampuan fisik kuat dan memiliki jiwa pemberani dan keperkasaan. Hal-hal ini menjadi persyaratan utama dalam menciptakan kehidupan bersama yang aman dan nyaman. Seorang tentara yang penakut dan lemah secara fisik dalam pandangan Plato tidak dapat menjalankan fungsi sebenarnya.

Baca Juga:  Pertemuan Katolischer Akademischer Ausländer-Dienst (KAAD): Jembatan Ilmu, Iman, dan Solidaritas Pangan

Kelas ketiga adalah penghasil yang berdasarkan pada keinginan. Kendati memang bidang ini tidak terlalu menjadi perhatian besar dalam pemikiran Plato, seperti juga Aristoteles, namuna Plato melihat kedudukan dan peranan mereka yang di lini ini juga penting sebab demi tersedianya kebutuhan kejasmanian. Karena itu dalam ajaran Plato, para penghasil harus bekerja sesuai dengan tugas dan fungsi mereka secara maksimal demi tersedianya kebutuhan sandang, pangan dan papan bagi manusia. Namun dalam hal ini pengendalian keinginan tetap penting.

Menarik bahwa dalam pandangan Plato, masing-masing unsur dalam urusan bersama harus berjalan sesuai dengan posisi dan kedudukan masing-masing. Ketika terjadi ketidaksesuaian fungsi dan kedudukan, tepatnya pengambilalihan kedudukan yang lain, misalnya pemimpin berbisnis, tentara berbisnis, atau tentara menjadi pemimpin politik, maka menurut Plato semua itu merupakan ketidakadilan. Keadilan adalah masing-masing kelas berfungsi menurut kedudukannya. Seorang pemimpin yang berbisnis tidak akan konsentrasi dan fokus untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang pemimpin: berpikir dan mengambil keputusan yang bijak dan adil.

Demikian halnya jika seorang aparat keamanan berbisnis, maka ia bisa lupa fungsi dirinya sebagai alat negara untuk memberikan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat. Sama halnya kalau seorang pebisnis menjadi pemimpin, ia akan lebih dikuasai oleh keinginannya daripada akal budi dan sikap bijaksananhnya. Gagasan seperti ini tentu merupakan sumbangan etis yang paling besar bagi masyarakat sebagai seorang intelektual yang handal.

Sokrates memang tidak menulis buku seperti Aristoteles dan Plato. Kendati demikian, gagasannya banyak yang dirujuk seperti ide tentang etika, kebajikan, dan pentingnya pengetahuan diri. Tentang pengetahuan, ide utama Sokrates adalah pengetahuan diri. Gagasan ini menjadi cikal bakal lahirnya ilmu biologi dan kedokteran. Sokrates menyatakan bahwa untuk hidup yang baik adalah memahami diri sendiri secara mendalam. Pemahaman diri yang mendalam justru mendorong seseorang untuk hidup secara bermutu, karena dengan pemahaman mendalam demikian ia tahu apa yang harus dilakukan dalam kehidupannya. Karena itulah bagi Sokrates pengetahuan merupakan kebajikan tentang hidup. Bahkan menurut Sokrates, hidup yang bermutu adalah hidup yang disadari dengan baik. Hal ini menjadi tekanan penting dalam etika. Karena itu menurut Sokrates, jika seseorang memahami apa yang benar dan baik, maka ia akan bertindak dengan baik dan benar  secara alami.

Sokrates

Sumbangan keintelektualan  yang lain dari Sokrates adalah bidang pendidikan, yakni  metode dialektika. Metode ini sering dikenal dengan istilah  maieutics tekne atau teknik kebidanan.  Dalam metode ini Sokrates menggunakan metode tanya jawab untuk menggali pemahaman dan menguji keyakinan orang lain, serta mendorong pemikiran kritis. Menarik bahwa dalam metode ini kepada anak-anak diberi semangat untuk berkreasi secara terus menerus.

Yang mau diangkat Sokrates dengan metode kebidanan adalah pengakuan akan subjektivitas setiap peserta didik dan upaya mendorong peserta didik untuk memberanikan diri berbicara dan menyampaikan ide dan gagasan. Jadi yang punya ide bukanlah pendidik atau guru, tetapi peserta didik itu sendiri. Di balik metode ini sebenarnya tersirat juga pesan penting bahwa anak-anak didik harus diberi motivasi dan dorongan untuk berani tampil. Inilah pendidikan yang membangkitkan semangat dan memotivasi anak didik.

Intelektual sebagai Pencerah

Tiga nama di atas dapat dikatakan menjadi tokoh pelopor yang menunjukkan bahwa kaum intelektual itu memiliki arti penting bagi pengembangan dan pembangunan kualitas kehidupan bersama. Mereka tidak hanya berkutat dengan diri sendiri, melainkan mereka hadir untuk memberikan pencerahan dan pemikiran segar bagi masyarakat. Di kemudian hari Edward W Said memperlihatkan hal yang sama. Warga Amerika Serikat keturunan Palestina bahkan menulis sebuah buku yang mengingatkan para intelektual untuk lebih menyadari kedirannya melalui buku berjudul “Representations of Intellectuals (1993). Dalam buku ini Said menantang kaum intelektual, bahkan memberikan cermin bagi kaum intelektual supaya melihat diri mereka yang sebenarnya.

Baca Juga:  Hari Studi Struktural 2025: Penguatan Supervisi Formal dan Informal untuk Meningkatkan Pelayanan Pendidikan
Edward Said

Edward Said menyatakan bahwa intelektual seyogianya mendorong dan memotivasi masyarakat untuk memajukan bangsa ini. Mereka manggunakan ide yang briliannya untuk pengembangan kehidupan masyarakat. Mereka  harus menciptakan bahasa yang mengatakan kebenaran pada penguasa dan pemberi gagasan cemerlang bagi kemajuan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk memajukan bangsa. Kaum intelektual adalah orang yang tidak mengedepankan akomodasi, melainkan oposisi.

Karena itulah Said membedakan intelektual dari profesional, bahkan amatiran. Jika profesional menuntut penyesuaian batas-batas objektif dalam bidangnya, dan mengikuti hukum-hukum kekuasaan yang berlaku, maka intelektual justru mengatasi semua hal itu. Intelektual tidak terdomestikasi. Ketika hal ini terjadi bagi seorang intelektual, ia kehilangan esensi  intelektualitasnya.  Intelektual juga tidak menjual diri untuk golongan atau kelompok tertentu. Ia justru menantang arus intrik-intrik politik. Orientasi intelektual adalah kebenaran dan keadilan. Karena itu bagi Said intelektual mau membela keadilan manusiawi dasar, dan sebelum melakukan itu ia melakukannya bagi siapa saja, bukan hanya secara selektif bagi mereka yang didukung oleh orang-orang di pihaknya, sesuai budaya dan bangsanya, tetapi untuk semua orang.

Said memang tidak mengingkari fungsi kritis para kaum intelektual dengan memberi kritik terhadap penguasa demi terwujudnya keadilan dan kemajuan bangsanya, tetapi ia harus juga mau bercermin. Artinya apa? Gagasan yang disuarakan di ruang publik tercermin dalam dirinya sebagai yang pertama dan menjadi nilai-nilai anutan sendiri. Bukanlah sesuatu yang sembarang diomongkan. Intelektual memang menempatkan kebebasan di urutan pertama, tetapi juga memperlihatkan tanggung jawab atas kemajuan bangsanya. Kritik intelektual bagi pemerintah, bukan atas dasar kepentingan pribadi atau kelompok tetapi benar-benar sebagai upaya menyatakan yang sebenarnya.

 Apa yang mau ditegaskan Edward ialah bahwa kaum intelektual tidak berada di menara gading, melainkan terlibat langsung dalam soal-soal kemasyarakatan yang sesungguhnya. Dalam hal ini mereka berperan sebagai benteng akal sehat bagi masyarakat, bukan pencipta kegaduhan, atau pengadu domba, namun ia peka terhadap mereka yang tertindas dan menempatkan diri sejajar dengan kaum lemah. Dalam bingkai berpikir demikian, jelaslah bahwa  bukan popularitas, apalagi perwujudan perasaan dan kepentingan menjadi tujuan bagi seorang intelektual, tetapi terwujudnya kemaslahatan dan kemajuan yang didasari kebenaran dan keadilan. Singkatnya, justru dalam hal inilah terejawantah fungsi etis dari kaum intelektual.

 Apa yang ditunjukkan oleh Edward Said yang telah sebelumnya diperlihatkan oleh tiga pemikir besar dari Yunani, seperti Aristoteles, Sokrates dan Plato sungguh merupakan hal yang penting bagi kemajuan bangsa ini. Secara lain dapat dikatakan para intelektual nampaknya perlu semakin menyadari perannya bagi pembangunan bangsa ini.

Memaknai Usia 80 Tahun

Dalam memaknai perayaan 80 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, menurut hemat penulis kehadiran kaum intelektual terejawantah dalam dua tataran berikut.  Pertama,  pemberi pencerahan bagi masyarakat. Dalam hal ini kaum intelektual Indonesia perlu belajar dari sejarah hidup para orang-orang hebat antara lain tiga tokoh yang sudah disebutkan di atas. Namun tentu tidak terbatas pada tiga tokoh itu, bisa juga merujuk tokoh-tokoh yang lain seperti Immanuel Kant, Jurgen Habermas, Gabriel Marcel, David Hume untuk menyebut sejumlah nama filsuf, atau juga belajar dari Pitirim Sorokin, Auguste Comte, Peter L Berger, Maximianus Weber, Karl Marx yang sangat banyak mewarnai pandangan tentang kemasyarakatan. Intinya adalah kaum intelektual hadir sebagai pencerah bagi masyarakat, bukan justru sebaliknya.

Jurgen Habermas

Ketika intelektual berperan bikin rusuh, bikin gaduh, dan hadir hanya demi memenuhi syahwat politiknya, sesungguhnya orang-orang seperti ini menginjak-injak hakikat intelektualitasnya. Klaim diri sebagai intelektual dan akademisi, namun perilaku tidak sesuai dengan esensi dari intelektualitas dan akademisi, apalagi motivasinya buruk seperti ingin menjatuhkan orang lain dan politik balas dendam, maka hal ini merupakan sesuatu  yang kontradiktif dan pengingkaran pada roh intelektualitas. Meminjam istilah Julien Benda dalam bukunya Penghianatan Kaum Cendikiawan (1997), mereka yang berwatak seperti ini adalah penghianat keintelektualan. Orang-orang seperti ini ditandai dengan sikap kagum terhadap hal-hal yang khusus, namun mengingkari hal-hal yang universal, mengunggulkan kesukaan pada yang praktis, mencela kecintaan pada yang spiritual. Seharusnya sanjungan mereka adalah keberanian dan kehormatan, bukan ketakutan, kepopuleran, jabatan, dan kesuksesan personal.

Baca Juga:  Penyuluh Katolik Berkolaborasi dengan Komunitas Doa Santa Faustina Melaksankan Pembinaan Iman di Rutan Wirogunan

Kedua, menjadi intelektual kritis yang elegan dan bermartabat. Dalam bukunya Sane Society (1995)  Erich Fromm memberikan sejumlah indikasi bagi sebuah masyarakat yang sehat. Salah satu di antaranya adalah keberanian untuk mengoreksi situasi yang menyimpang dalam pengelolaan kehidupan bersama. Namun Fromm mengingatkan dalam upaya itu tetap memperhatikan nilai-nilai kehidupan yang disebutnya dengan istilah biofilia. Yang termasuk dalam biofilia itu adalah ruang menghargai kehidupan dari mereka yang dikritik. Secara lain dapat dikatakan, yang perlu dilakukan adalah metode berpikir dengan argumentum ad rem (res/rei (Latin), artinya hal atau urusan), dalam arti menyasar persoalan, bukan argumentum ad hominem (homo (L), artinya manusia), maksudnya menyerang pribadi dan harga diri seseorang. Ketika seorang intelektual tidak bisa membedakan keduanya secara jelas, maka justru di sinilah sifat elegan dan martabat kritik hilang.

Hal yang sama juga disampaikan oleh sejumlah ahli dalam ragam bidang seperti Peter F Drucker, ahli manajemen hebat, David C Thomas dan Kerr Inkson, dan Daniel Goleman & Cary Cherniss. Peter F Drucker dalam The Effective Executive (1997) menyatakan secara jelas bahwa seorang pimpinan tidak cukup hanya mengkritik, tetapi juga ia harus memperhatikan cara menyampaikan kritik itu secara elegan. Dalam hal ini pendekatan memiliki andil penting dalam menyampaikan kritik. Ketika disampaikan secara tidak elegan dan bermartabat, kritik bukanlah diterima sebagai masukan, malah sebaliknya sebagai ancaman, yang upaya defensifnya melalui kekerasan. Kalau demikian, kritik justru tidak efektif, sebaliknya kontraproduktif.

David C Thomas dan Kerr Inkson  memperkuat apa yang dikatakan oleh Drucker dengan saran agar  memperhatikan kultur masyarakat dalam mengkritik. Dalam Cultural Intelligence (2004) kedua penulis mengingatkan bahwa faktor budaya sangat perlu diperhatikan dalam pemberian masukan-masukan kepada pemerintah demi  efektivitas. Dalam konteks ketimuran tentu apa yang dinyatakan oleh Thomas dan Inkson sangatlah benar. Cara penting diperhatikan demi tercapainya tujuan.

Dengan pendekatan terbaru dalam bahasa teknologi digital, Daniel Golmen dan Cary Cherniss dalam Optimal: How to Sustain Excellence Every Day (2024) menyarakankan agar dalam mengkritik kritikus perlu melibatkan empati, pengelolaan relasi, kecerdasan emosional. Tiga hal ini menurut Goleman dan Cherniss menjadikan seseorang sebagai kritikus yang elegan dan bermartabat.

Dari paparan di atas terlihat dengan jelas bahwa peranan intelektual sangat penting dalam pengembangan kehidupan masyarakat. Peran itu tidak saja menyodorkan gagasan bagi pengembangan bagi kehidupan masyarakat, melainkan lebih-lebih memberi inspirasi bagaimana hidup secara bermutu. Dengan kata lain peran etis kaum intelektual terletak pada pokok-pokok pikirannya yang memberikan motivasi dan mendorong masyarakat untuk maju bersama, bukan justru memecah belah dengan narasi-narasi dengan diksi-diksi yang sarkastis dan kasar. Bahwa memberi kritik adalah bagian dari fungsi etis kaum intelektual, namun itupun harus sesuai dengan tata krama ketimuran, tepatnya kesantunan. Tujuan yang bernilai etis perlu sejalan dengan cara yang etis.

Kasdin Sihotang
Dosen Filsafat Moral di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles