HIDUPKATOLIK.COM – Di tengah derasnya arus globalisasi dan kompetisi pendidikan yang makin sengit, sekolah-sekolah Katolik di Indonesia menghadapi tantangan untuk tidak hanya mempertahankan, tetapi juga meningkatkan kualitasnya. Selama ini, institusi pendidikan Katolik dikenal memiliki reputasi unggul berkat disiplin, nilai moral yang kuat, dan capaian akademis yang membanggakan. Namun, berpuas diri bukanlah pilihan.
Reformasi berkelanjutan merupakan keniscayaan agar sekolah Katolik tetap relevan dan menjadi pendidikan prima yang sesungguhnya, bukan sekadar etalase keberhasilan semu. Gereja Katolik sendiri telah menyuarakan perlunya pembaruan ini.
Komisi Pendidikan Kepausan, yang kini dikenal sebagai Dikasteri untuk Kebudayaan dan Pendidikan, menekankan bahwa sekolah Katolik diharapkan menjadi lebih dari sekadar tempat transfer ilmu. Institusi ini diamanatkan menjadi pusat evangelisasi dan humanisasi.
Paus Fransiskus, dalam pidatonya pada tahun 2017, menyerukan agar sekolah Katolik menjadi inklusif, terbuka bagi semua kalangan tanpa memandang latar belakang sosial dan ekonomi (Dikasteri untuk Kebudayaan dan Pendidikan, 2017).
Pesan Paus ini mengingatkan kembali bahwa pendidikan Katolik dapat menjangkau mereka yang paling membutuhkan, bukan hanya segelintir orang.
Lebih lanjut, Paus menekankan pentingnya “pendidikan integral” yang mengedepankan tidak hanya kecerdasan akademik, tetapi juga perkembangan spiritual, emosional, dan sosial siswa. Hal demikian merupakan panggilan untuk melihat siswa sebagai pribadi utuh yang perlu dikembangkan seluruh aspek kehidupannya.Pembaruan ini tentu saja bukanlah hal baru.
Tokoh-tokoh pendidikan Katolik global telah lama menyuarakan urgensi ini. Bruder Robert Schieler, F.S.C., mantan Superior Jenderal Lasallian, kerap mengingatkan pentingnya kembali pada semangat awal pendirian sekolah-sekolah, yaitu melayani yang paling membutuhkan (Lasallian Publications, 2017).
Misi sosial ini dapat menjadi fondasi inovasi, seiring dengan integrasi teknologi modern. Teknologi bukanlah sekadar alat bantu, melainkan sarana untuk mencapai tujuan pendidikan yang lebih tinggi.
Menurut Nita M. Wylie, seorang pendidik dan penulis tentang pendidikan Katolik, teknologi seharusnya menjadi alat untuk memfasilitasi pembelajaran yang lebih personal dan mendalam, bukan sekadar menggantikan metode tradisional (Wylie, 2021).
Dengan kata lain, pembaruan ini harus mencakup kurikulum yang relevan dengan isu-isu kontemporer seperti lingkungan hidup dan keadilan sosial. Kurikulum harus peka terhadap realitas dunia yang terus berubah.
Pembaruan juga menuntut pengembangan guru yang berkelanjutan agar mampu mengajar secara inovatif. Guru adalah jantung dari pendidikan, dan mereka perlu terus belajar dan beradaptasi.
Inklusi juga menjadi bagian penting dari reformasi ini, untuk memastikan bahwa sekolah Katolik dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Pendidikan yang eksklusif bertentangan dengan semangat Kristiani.
Di Indonesia, tantangan ini semakin nyata. Persaingan ketat dengan sekolah-sekolah umum dan swasta lainnya menuntut sekolah Katolik untuk menawarkan nilai tambah yang otentik. Bukan hanya unggul secara akademis, tetapi juga secara moral dan spiritual.
Dengan kembali pada esensi pelayanan dan inklusivitas, sekolah-sekolah Katolik memiliki peluang besar untuk tidak hanya meluluskan siswa yang cerdas, tetapi juga “manusia utuh” yang beriman, beretika, dan berempati.
Inilah saatnya bagi sekolah Katolik di Indonesia untuk berani berinovasi, beradaptasi, dan kembali menjadi mercusuar atau pemandu arah yang melayani umat manusia secara holistik, mencerminkan nilai-nilai Kristiani sejati.
Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan






