HIDUPKATOLIK.COM – Yayasan Tarakanita Wilayah Bengkulu terus berupaya menghadirkan berbagai program pembelajaran yang relevan dengan visi dan misi pendidikan yang diembannya. Salah satunya melalui kegiatan Hari Studi Guru (HSG) yang kali ini mengusung tema “Mendukung Value Proposition melalui Kearifan dan Budaya Lokal”. HSG ini diikuti oleh seluruh guru SMP dan SMA Sint Carolus Tarakanita Bengkulu.
Sebagaimana diketahui, Value Proposition (VP) Tarakanita Bengkulu adalah Adaptive and Explorative Learners. Artinya, seluruh insan pendidikan di lingkungan Tarakanita Bengkulu dituntut untuk mampu beradaptasi dengan perubahan zaman sekaligus berani mengeksplorasi hal-hal baru yang bermanfaat bagi perkembangan diri maupun lembaga. VP ini diimplementasikan melalui Pembelajaran Karakter, Pembelajaran Berbasis Riset dan Pembelajaran Seni & Budaya Bengkulu. Dalam semangat itulah, kegiatan HSG dilaksanakan dengan mengangkat salah satu kekayaan budaya khas Bengkulu, yaitu batik Besurek.
Kegiatan dimulai dengan pengantar dari R.J. Sulistyanta, Kepala SMA Sint Carolus Tarakanita Bengkulu. Dalam sambutannya, ia mengingatkan bahwa Value Proposition bukan sekadar slogan, melainkan roh yang harus hidup dalam setiap program sekolah. Dengan mengenal budaya lokal, para guru diharapkan dapat lebih mudah menanamkan nilai adaptif dan eksploratif kepada peserta didik, sekaligus menumbuhkan rasa bangga terhadap identitas bangsa.

Sesi inti kemudian dibawakan oleh Atrianah, seorang wirausaha batik Besurek di Bengkulu. Ia memaparkan sejarah serta keunikan batik Besurek, yang sejak lama menjadi ikon budaya daerah. Disebut Besurek karena motifnya banyak menggunakan huruf-huruf kaligrafi Arab, yang mencerminkan akulturasi budaya Islam di Bengkulu. Keunikan lain dari batik ini adalah kemampuannya berpadu dengan simbol-simbol lokal, seperti bunga Rafflesia – bunga kebanggaan Bengkulu, burung Kuau, serta relung paku yang banyak dijumpai di hutan tropis daerah ini.
Penjelasan Atrianah tidak hanya mengangkat sisi artistik, tetapi juga sarat makna filosofis. Setiap goresan motif memiliki nilai yang merefleksikan keharmonisan, spiritualitas, dan hubungan manusia dengan alam. Para guru tampak antusias mendengarkan penjelasan tersebut, karena tidak hanya menambah pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan rasa kagum terhadap kekayaan budaya Nusantara.
Setelah mendapatkan pengantar, para guru diajak untuk praktik langsung membuat batik Besurek. Mereka dibagi dalam kelompok kecil beranggotakan empat orang. Setiap kelompok menyiapkan kain putih yang sudah diberi pola dengan pensil, kemudian memulai proses Nglowong/Mencanting, yaitu menorehkan malam atau lilin cair menggunakan canting sesuai pola yang telah digambar. Proses ini menjadi pengalaman yang penuh kesan. Bagi sebagian besar guru, mencanting adalah hal baru yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan keterampilan tangan. Tidak jarang malam menetes tidak sesuai garis, atau garis yang dibuat terlalu tipis sehingga harus diulang. Namun, justru inilah letak pembelajaran: bahwa setiap karya indah lahir dari proses panjang dan ketelitian.
Setelah selesai mencanting, kegiatan berlanjut ke tahap Ngiseni, yaitu menambahkan ornamen kecil atau isen-isen pada pola utama. Tahap ini semakin menantang karena membutuhkan konsentrasi tinggi. Guru-guru terlihat tekun, sesekali saling memberi masukan dan tertawa bersama ketika hasil goresan tidak sesuai harapan.
Tahap berikutnya adalah pewarnaan. Pada kesempatan ini, para guru tidak menggunakan teknik mencolet, melainkan langsung praktik Melodro, yaitu memberikan warna dasar dengan busa. Setiap kelompok membentangkan kain mereka, lalu bersama-sama menyapukan warna pilihan dengan hati-hati. Kerja sama sangat dibutuhkan, sebab jika kain tidak terbentang sempurna, warna bisa menyerap tidak merata. Suasana terasa hidup dan penuh semangat. Setiap kelompok berdiskusi tentang warna apa yang akan dipilih, bagaimana cara menyapukannya, hingga bagaimana mengatur peran agar pekerjaan cepat selesai. Atrianah pun berkeliling, memberi arahan dan menjawab pertanyaan sambil mengapresiasi kreativitas para guru. Setelah pewarnaan selesai, kain dijemur di bawah terik matahari untuk mengeringkan warna.
Proses selanjutnya adalah Penguncian Warna, agar warna tidak mudah luntur. Bahan yang digunakan adalah larutan Water Glass yang dicampur air dengan perbandingan tertentu. Proses ini dilakukan dengan hati-hati, kemudian kain dijemur kembali, kali ini di tempat teduh. Tahap terakhir dalam proses membatik adalah Melorot, yaitu menghilangkan lapisan lilin dengan cara merebus kain dalam air mendidih yang dicampur sedikit Water Glass. Namun karena keterbatasan waktu, tahap ini tidak dilakukan bersama-sama, melainkan hanya dijelaskan secara rinci oleh Ibu Atrianah. Meski begitu, penjelasan ini menambah wawasan para guru tentang keseluruhan alur pembuatan batik Besurek.
Tepat pukul 12.00 WIB, kegiatan ditutup dengan ucapan terima kasih dari Hiasintus Yudha, Kepala SMP Sint Carolus Tarakanita Bengkulu. Ia menegaskan bahwa pengalaman ini bukan hanya sebatas praktik membatik, tetapi juga bagian dari pembelajaran hidup. Membatik melatih kesabaran, kerja sama, ketelitian, dan rasa cinta terhadap budaya bangsa.
Para guru pulang dengan membawa pengalaman berharga dan kain batik hasil karya mereka sendiri. Lebih dari itu, mereka membawa semangat baru untuk menjadi pribadi yang adaptif, kreatif, dan eksploratif. Semangat itu pula yang kelak akan mereka tularkan kepada para peserta didik, agar tumbuh menjadi generasi yang menghargai kearifan budaya lokal, terbuka pada perbedaan, dan siap mengharumkan nama bangsa.
HSG bulan September ini menjadi bukti nyata bahwa pendidikan tidak hanya soal pengetahuan akademis, tetapi juga proses memanusiakan manusia dengan menghargai warisan budaya. Dengan mengenal dan melestarikan batik Besurek, Yayasan Tarakanita Wilayah Bengkulu meneguhkan komitmennya untuk mendidik generasi penerus bangsa yang tangguh, adaptif, dan eksploratif, sekaligus bangga menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
Laporan Ag. Ari Kristanti (Kepala Bagian Personalia Yayasan Tarakanita Wilayah Bengkulu)






