web page hit counter
Jumat, 5 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Mauponggo Menangis: Jeritan Alam, Jeritan Manusia, dan Laudato Si’

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Awal September 2025 menjadi hari kelam bagi masyarakat kecamatan Mauponggo, kabupaten Nagekeo, NTT. Hujan deras yang mengguyur sejak sore menjelma menjadi banjir malam hari.  Air bah bercampur lumpur meluncur dari lereng-lereng rapuh yang menghantam pemukiman warga sawu. Desa sawuh menjadi  titik terdampak terparah : rumah hancur, jaringan irigasi, jalan putus, dan sawah-sawah tertimbun lumpur. Enam orang meninggal dunia, tiga orang hilang atau belum ditemukan, dua orang mengalami luka berat hingga harus dirawat di RSUD Aeramo. Ratusan keluarga terpaksa mengungsi ketempat aman dengan membawa barang seadanya.  Bukan hanya air yang mengalir, melainkan juga air mata dan duka yang mendalam.

Bencana ini menyikap rapuhnya sistem perlindungan masyarakat terhadap ancaman alam. Kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Nagekeo memperkirakan kerugian mencapai hampir seratus miliar rupiah, mencakup kerusakan rumah, infrastruktur jalan dan jembatan, serta jaringan irigasi. Dalam hitungan jam, kerja keras bertahun-tahun masyarakat hilang digulung arus. Bantuan memang mulai berdatangan dari pemerintah, polri maupun lembaga kemanusiaan, tetapi keterlambatan distribusi air bersih dan kebutuhan pokok memperlihatkan bahwa kesiapsiagaan kita masih jauh dari memadai.

Baca Juga:  Maria Bunda Penasihat Baik Resmi Jadi Pelindung

Jeritan Alam Yang Diabakain

Banjir bandang Mauponggo bukan peristiwa tunggal yang dating begitu saja. Ia adalah buah dari interaksi panjang antara perubahan iklim global, kerusakan lingkungan lokal dan minimnya mitigasi. Lereng-lereng yang gundul karena penebangan pohon tak terkendali sehingga kehilangan daya serap air. Hujan deras yang dulu bias ditahan  akar pepohonan, kini meluncur liar membawa batu dan tanah. Drainase yang tidak memadai , ditambah pembangunan rumah di area rawan, memperburuk keadaan. Singkatnya alam sebenarnya sudah lama memberi tanda bahaya, tetapi kita seringkali menutup telinga.

Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si 2015 menegaskan bahwa bumi “ rumah bersama kita” beliau mengatakan  bahwa  “ jeritan bumi dan jeritan orang miskin adalah jeritan yang sama” (LS,49), Mauponggo adalah cerminan dari semua ini . Jeritan alam ini bukan sekedar fenomena fisik, melainkan panggilan moral agar manusia bertobat dari sikap eksploitatif dan membangun relasi baru yang penuh kasih dengan ciptaan Tuhan. Banjir bandang Mauponggo adalah contoh nyata bagaimana ketika alam menangis, manusia ikut menanggung derita.  Dalam dokumen ini menempatkan manusia dan alam dalam relasi yang saling bergantung, alam sebagai ciptaan Allah yang diberikan untuk dirawat, bukan dieksploitasi, manusia sebagai pelindung bukan perusak. Laudato Si 2015  juga mengajak kita untuk mendengar dua jeritan : jeritan alam yang rusak dan jeritan manusia yang menderita karena rusaknya lingkungan.

Baca Juga:  Bekas Mobil Paus Fransiskus Jadi Klinik Kesehatan Keliling di Gaza

Jeritan Manusia Yang Terlupakan

Selain alam manusia pun berteriak. Jeritan warga mauponggo terdengar dari posko-posko pengungsian. Mereka kehilangan rumah, lading, ternak dan bahkan anggota keluarga. Anak-anak menangis karena kelaparan dan trauma. Warga di desa terisolasi  terpaksa menunggu berhari-hari untuk mendapat bantuan. Keluarga korban hilangnya hidup dalam ketidakpastian, menunggu kabar yang tak kunjung dating. Inilah jeritan manusia yang kerap tak terdengar oleh hiruk pikuk laporan kerusakan fisik.

Dalam Ajaran Sosial Gereja, martabat manusia adalah pusat dari seluruh tatanan sosial. Setiap kebijakan publik, pembangunan infrastruktur, maupun pengelolaan sumber daya alam harus berorientasi pada perlindungan hidup manusia. Namun kasus mauponggo memperlihatkan betapa lemahnya terhadap perhatian hak dasar  masyarakat kecil,

Menuju Pertobatan Eklesiologis

Pertanyaan besar yang lahir dari tragedi ini adalah: apakah kita siap belajar? Atau kita hanya akan menunggu bencana berikutnya? Laudato Si’  menyerukan “ pertobatan ekologis”, yaitu perubahan cara pandang dan gaya hidup manusia terhadap alam. Bukan lagi eksploitas tanpa batas, melainkan pengelolaan bijak yang menjaga keberlanjutan bagi generasi mendatang.

Baca Juga:  Dalam Misa di Beirut, Paus Leo: Bebaskan Hati Kita untuk Membawa Perdamaian dan Keadilan ke Lebanon

Pertobatan eklesiologis ini harus dimulai dari langkah yang paling sederhana: tidak membuang sampah sembarangan, menanam pohon, menjaga sungai dan mengurangi gaya hidup yang konsumtif. Namun ia juga menuntut perubahan struktural: regulasi ketat terhadap perusahaan lingkungan, pembangunan yang berwawasan ekologi, serta pemberdayaan masyarakat lokal untuk ikut menjaga alamnya.

Tragedi banjir bandang di Mauponggo mengungkap kerentanan masyarakat terhadap bencana alam yang sesungguhnya bukan sekadar musibah alamiah, melainkan akibat dari kerusakan lingkungan, perubahan iklim, dan kelalaian manusia dalam menjaga keseimbangan alam. Jeritan alam dan jeritan manusia menjadi satu suara yang menggugah kesadaran moral dan spiritual. Dalam terang ensiklik Laudato Si’, bencana ini menjadi panggilan pertobatan ekologis baik secara personal maupun struktural untuk membangun kembali relasi yang adil dan penuh kasih antara manusia dan ciptaan. Diperlukan perubahan cara hidup, kebijakan, dan pembangunan yang berorientasi pada keberlanjutan serta martabat manusia, khususnya mereka yang paling terdampak. Jika tidak, tragedi serupa hanya tinggal menunggu waktu.

Agnes Hestika Ule

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles