web page hit counter
Jumat, 5 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Membudayakan Diksi Etis di Ranah Publik

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Dalam sebuah perkuliahan Humaniora semester Ganjil 2025-2026 ini, menarik pertanyaan seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya Jakarta ketika membicarakan topik “Manusia dan Bahasa”. “Menurut Bapak, dewasa ini sering muncul acara yang membahasa ijajah palsu seseorang. Dan dalam pembahasan itu sering muncul kata-kata yang kurang pantas, untuk memojokkan orang tertentu, padahal orang yang diperbincangkan itu telah menyumbang besar bagi pembangunan bangsa ini, sementara orang yang memojokkan itu tergolong orang berpendidikan. Dari peran bahasa, bagaimana fenomena itu harus dilihat? Dan gejala apakah ini?” demikian pertanyaan mahasiswa tersebut.

Saya salut dan memberi apresiasi terhadap mahasiswa itu karena lewat pertanyaaia memperlihatkan sikap kritisnya. Saya bangga juga bahwa generasi muda Z ada yang peduli tentang realitas hidup berbangsa dan bernegara. Yang ditanyakan oleh mahasiswa tersebut barangkali juga menjadi isu yang mendapat perhatian banyak pihak, lebih-lebih karena frekuensi kehadirannya tinggi di ruang publik. Yang paling dikhawatirkan adalah bahaya dari penayangan  diksi yang tidak etis secara kontinu di ruang publik bagi pemahaman dan pengetahuan generasi bangsa.

Jawaban saya kala itu memang tidak begitu luas, mengingat waktu perkuliahan sangat terbatas. Namun inti jawaban saya, adalah apa yang saya hadirkan dalam artikel ini.

Satu fakta jelas di ruang publik lebih-lebih melalui media sosial dan televisi, kita menyaksikan bahwa ada fenomena tampilnya bahasa yang tidak mendidik, bahkan bisa dibilang meracuni pemikiran generasi muda. Ini membuat hati miris dan prihatin. Keprihatinan itu lebih-lebih karena bahasa yang tidak etis itu dipertontonkan oleh mereka yang mengenyam pendidikan hingga berlevel doktor. Fenomena itu memperlihatkan kebenaran apa yang dinyatakan oleh Edward Said tentang trend kaum intelektual yang mendegrasi keintelektualannya seperti dinyatakan dalam Peran Intelektual (1998), bahkan mengalami kematian pada keahliannya seperti ditegaskan Tom Nichols sebagaimana dinyatakan dalam buku The Death of Expertise (2014).

Terkesan juga bahwa orang yang berbahasa secara sarkastis dan mendegradasi memberi indikasi terjadinya  penggunaan bahasa sebagai alat kekuasaan. Menurut pengamatan Aprianus Salam sebagaimana dituliskannya dalam Kesalahan dan Kejahatan dalam Berbahasa (2025), hal itu dilakukan dalam tiga tindakan manipulatif, yakni tindakan manipulatif strategis, yang menngedepankan sikap ngotot untuk memaksakan kehendak atau pemikirannya tanpa berani memberi ruang bagi orang lain untuk mengkaunter pendapatnya, atau melalui tindakan manipulasi etis, yang di dalamnya bahasa memelas digunakan untuk memosisikan diri pada situasi yang teraniaya atau tersudut  sehingga mendapat belaskasihan dari pihak lain, atau tindakan manipulasi teknik dengan upaya  pencitraan dan menggunakan identitas untuk mencari simpati dan meraup dukungan dari pihak-pihak yang terkait dengan identitas yang digunakan untuk memperkokoh perjuangan mereka. Ragam tindakan manipulatif di atas sesungguhnya juga menunjukkan kejahatan dalam berbahasa.

Pandangan Tokoh

Pada hakikatnya bahasa manusia bersifat eksistensial dan relasional. Artinya, bagi manusia bahasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaannya.

Pengakuan demikian sudah dinyatakan oleh sejumlah pemikir seperti Ludwig Wittgenstein, yang menekankan penggunaan bahasa sehari-hari, Gottlob Frege, yang mengembangkan logika formal dan semantik, Noam Chomsky, yang menganalisis struktur mental bahasa. Selain itu ada nama lain seperti J.L. Austin dan Gilbert Ryle. Keduanya berkontribusi pada aliran filsafat bahasa biasa di Inggris. Kendati tekanan berbeda terjadi dalam pendalaman para filsuf tersebut, namun ada satu benang merah yang bisa dirajut, yakni bahasa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi manusia.

Baca Juga:  Bekas Mobil Paus Fransiskus Jadi Klinik Kesehatan Keliling di Gaza

Jauh sebelumnya, Martin Heidegger telah memperlihatkan hubungan erat bahasa dan kepribadian seseorang dalam bukunya Being and Time (1976). Filsuf ini memposisikan indikator kualitas pribadi seseorang dalam bahasa melalui ungkapannya terkenal, “Language is the house of human being”. Makna yang terkuak dalam ungkapan ini sesungguhnya dapat juga menjadi jawaban paling ringkas dari pertanyaan mahasiswa di atas.

Heidegger ingin mengingatkan kita bahwa bahasa mencerminkan kualitas pribadi. Ketika seseorang lebih sering mengumbar kata-kata tak pantas di ruang publik, maka kualitas orang demikian sudah tergambar lewat bahasa yang diperlihatkan.  Konkretnya, melalui bahasa seseorang bisa menunjukkan seperti apa kualitas dirinya: sehat atau sakitkah  jiwanya, bermutu tinggi atau rendah baik dari sisi kepribadian maupun kualitas keilmuan dan profesionalitasnya.

Nilai Mendasar

Dalam bingkai pemikiran Martin Heidegger dan sejumlah para filsuf di atas, terlihat dengan jelas bahwa bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi dalam relasi manusia, tetapi bahasa juga menghadirkan makna etis, karena di sana ada nilai intrinsik.

Yang dimaksudkan dengan nilai intrinsik bahasa  adalah bahwa dalam bahasa yang digunakan oleh seseorang, ada makna yang melebihi sekedar kata. Di sana ada makna penyebaran nilai-nilai, di samping sebuah kesaksian. Sebagai penyebaran nilai, maka bahasa memiliki fungsi lebih mendasar, yakni fungsi etis itu. Maksudnya,  apa yang diucapkan,  dikatakan atau dituliskan oleh seseorang, mengandung pesan moral tertentu baik bagi komunikator, lebih-lebih bagi komunikan. Dengan demikian ucapan, tulisan  tidaklah sekedar susunan huruf vokal dan konsonan, tidak juga hanya sebatas susunan kata-kata yang terstruktur, melainkan di situ ada makna yang ingin dihadirkan. Singkatnya, bahasa kita manusia mengandung sarat makna. Justru di sinilah perbedaan bahasa manusia dengan bahasa binatang.

Dengan gagasan dasar di atas jelaslah bahwa bahasa memiliki berbagai implikasi dalam setiap komunikasi yang terjadi di antara manusia. Implikasi yang lebih-lebih menonjol minimal terkuak dalam dua bentuk, yakni implikasi psikologis di satu sisi, dan implikasi etis di lain sisi.  Aprianus Salam mengafirmasikan bahwa implikasi psikologis itu terungkap dalam penyertaan perasaan dalam berbahasa. Dalam bahasa, bisa dua muncul rasa itu, yakni bisa menimbulkan rasa  jengkel dan kecewa, bahkan antipati yang bisa berakhir pada pertengkaran atau konflik akibat pemaknaan yang keliru atas kata yang digunakan, atau pilihan diksinya kurang tepat, walau mungkin maksudnya tidak demikian. Jadi dampak psikologis ini bernada negatif dalam relasi sosial.

Implikasi Etis

Tetapi di sisi lain bahasa juga dapat menciptakan suasana nyaman dan bersahabat.  Ini merupakan implikasi etis dalam berbahasa. Implikasi etis ini mengisyaratkan bahwa diksi atau bahasa yang digunakan dapat memberikan semangat bagi komunikan untuk menghayati hidup secara lebih baik atau memberikan penegasan afirmatif seperti respek pada pribadi dan dorongan positif bagi orang lain. Jadi fungsi etis bahasa ini tergambar dalam pilihan kata-kata yang bermakna afirmatif: mendorong, membangkitkan semangat, menghidupkan motiviasi, menghargai, membuat orang berjuang terus, serta memberi apresiasi bagi mereka yang telah berjasa (affirmative language).

Fungsi etis demikian sesungguhnya mengisyaratkan bahwa bahasa mengandung batasan normatif, batasan kepantasan, lebih-lebih ketika itu dihadirkan dalam ruang publik. Artinya, ketika seseorang berucap di ruang publik, seyogianya diksi atau pilihan katanya tidaklah sembarangan, melainkan perlu selektif. Selektivitas bahasa perlu dikaitkan dengan sensivitas.

Baca Juga:  Penyuluh Katolik Berkolaborasi dengan Komunitas Doa Santa Faustina Melaksankan Pembinaan Iman di Rutan Wirogunan

Menurut Aprianus Salam, sensivitas itu menyangkut minimal dalam tiga hal, yakni isu agama, kesukuan dan harga diri seseorang. Ketika berbicara di ruang publik menyangkut tiga hal itu perlu diperhatikan pilihan kata yang tepat agar jangan sampai menyinggung perasaan pihak lain yang terkait di dalamnya. Tentang dampak negatif dalam dua isu yang pertama, jelaslah bahwa bangsa ini sesungguhnya sudah punya pengalaman sejarah yang banyak. Dampaknya jelas sangat besar dan luas. Karena itulah ketika berbicara atau membahas isu  tentang dua bidang tersebut perlu menghidupkan sensivitas yang tinggi dan mumpuni, artinya melibatkan rasionalitas yang tinggi  dalam  pilihan diksi atau ungkapan yang disampaikan di ruang publik.

Namun bukan saja dalam dua isu itu perlu rasionalitas dan sensivitas. Hal yang juga perlu diperhatikan adalah bahasan yang bersangkut paut dengan harga diri seseorang. Merujuk apa yang  dikatakan oleh Martin Heidegger, “Language is the house of human beings”, sangat jelas dalam perbincangan di ruang publik harga diri seseorang harus dijaga. Artinya,  sensivitas seorang komunikan haruslah hidup ketika berbicara tentang pribadi orang, lebih-lebih kalau perbicangan itu terjadi di ruang publik.

Tanggung Jawab Moral

Secara tegas dapat dikatakan bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab moral dalam berbahasa, lebih-lebih menyinggung sisi kemanusiaan personal di ruang publik. Meminjam gagasan Immanuel Kant, setiap orang memiliki imperatif kategoris (kewajiban moral)  menghargai jati diri dan martabat seseorang dalam diksi yang dinyatakannya. Penghargaan pada harga dan martabat seseorang gitu tidak bisa ditawar-tawar, melainkan sesuatu yang mutlak.

Secara negatif dapat dikatakan, tidak boleh seseorang atau kelompok  menjatuhkan nama baik dan harga diri orang lain di ruang publik dengan kata-kata yang melecehkan. Ketika seseorang atau kelompok melakukan hal itu, mereka sesungguhnya tidak hanya merendahkan martabat dan pribadi orang lain, tetapi juga merendahkan dirinya di ruang publik. Dengan bahasa demikian, orang-orang seperti itu sama dengan menjatuhkan dirinya. Prinsipnya, seperti dikatakan oleh Walter Tubbs dalam Doa Gestaltnya, bahwa setiap orang adalah bagian dari dirinya, dan dirinya adalah bagian dari orang lain.

Karena itu, ketika ia memperlakukan orang lain secara tidak baik, sama dengan memperlakukan dirinya sendiri dengan cara demikian. “Aku hadir di dunia ini bukan hanya berbuat sesuai harapanmu. Aku ada di dunia ini untuk meneguhkan engkau sebagai manusia yang unik dan untuk diperteguh olehmu. Aku hadir untukmu dan engkau hadir untukku. Kita adalah perjumpaan Aku dan Engkau” demikian kata Walter Tubs seperti penulis kutib dalam Filsafat Manusia: Jendela Menhyingkap Humanisme (2024: 115).

Baca Juga:  Maria Bunda Penasihat Baik Resmi Jadi Pelindung

Mengafirmasi apa yang dikatakan oleh Immanuel Kant dan Martin Buber, dan Walter Tubbs,  Levinas bahkan memberikan penegasan lebih lanjut bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap harkat dan martabat orang lain sebagai ungkapan eksistensi kemanusiaannya.  Ketika ia mengabaikan semua itu, maka  ia telah menafikan nilai pribadi dirinya sendiri, dalam perendahan orang lain itu. Dengan ulah demikian ia sekaligus menempatkan dirinya setara dengan makhluk infrahuman.  Bagi orang demikian seperti ditegaskan oleh Aprianus Salam, bahasa telah menjadi alat kejahatan. Manakala hal itu terus dilakukannya berulang-ulang, bahkan secara ngotot terus, sesungguhnya orang-orang seperti itu  tidak hanya secara etis bermasalah, tetapi juga secara psikologis. Di sana bukan lagi rasionalitas yang berfungsi dalam orang demikian, tetapi rasa benci dan amarah. Dan ini merupakan persoalan psikologis.

Memilih Kata-kata Afirmatif

Dari paparan di atas, sangat jelas bahwa ada korelasi erat antara bahasa dengan kualitas seseorang. Relasi bahasa yang erat dengan eksistensi manusia mengisyaratkan perlunya kesadaran setiap pengguna bahasa untuk memperhatikan sisi etis diksinya. Caranya adalah dengan memilih kata-kata afirmatif dalam berbicara, lebih-lebih di ranah publik.

Ranah publik, seperti dikatakan oleh Franky Budi Hardiman dalam Ruang Publik (2010) merupakan lokus edukatif, tempat orang belajar tentang tidak hanya realitas banyak hal, tetapi juga tentang nilai-nilai moral melalui teladan subjek yang hadir di dalamnya, termasuk dalam berbahasa.  Kedudukan ruang publik sebagai ranah hati nurani publik dalam berbagai bentuknya seperti ditegaskan oleh Mathew dalam Gladstone-1875-1898 (1995) memiliki fungsi etis sebagai wadah bagi pendidikan.

Karena itu setiap warga bangsa di republik ini perlu menjaga bahasa kesantunan, lebih-lebih mereka yang masuk dalam golongan yang disebut oleh Peter F Drucker sebagai “educated person”. Orang-orang berkategori demikian memiliki tanggungg jawab moral untuk menumbuhkan kesadaran etis publik melalui ucapan mereka yang bermakna afirmatif, respektif, dan meaningfull, serta progresif.

Prinsip etika deontologi, yang menekankan perlunya kesadaran akan kewajiban moral demi bangsa ini sangat penting dijalankan oleh semua pihak dalam berbahasa di ruang publik. Hal ini tentu demi masa depan generasi bangsa yang bermutu ke depan. Adalah tanggung jawab prospektif setiap warga masyarakat, lebih-lebih mereka yang sering tampil di publik untuk menjaga itu. Bangsa ini butuh diksi-diksi afirmatif etis demi  menyiapkan generasi Indonesia Emas 2045 yang berkesadaran berbahasa etis yang tinggi. Bagi mereka perlu role model yang membudayakan diksi bermakna etis untuk penyiapan  itu.

Kasdin Sihotang, Dosen Filsafat Moral Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles