HIDUPKATOLIK.COM— Di Krakatau Ballroom, Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara, suasana penuh syukur dan harapan mengiringi Misa Pembukaan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2025 pada 3 November. Dalam homilinya yang jernih dan menyentuh hati, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC, mengajak seluruh peserta untuk kembali ke inti dari Gereja sinodal, yakni mendengarkan.

“Bagaimana kita bisa berbicara dengan baik kalau kita belum mendengarkan?” tanya Mgr. Anton di hadapan 374 peserta, dengan jumlah peserta laki-laki 254 orang (uskup 41 orang, imam 107 orang, bruder 2 orang, frater 3 orang, awam 101 orang) dan 120 peserta perempuan (31 biarawati dan 89 awam). Kalimat itu menjadi pintu masuk ke tema besar SAGKI tahun ini, “Berjalan Bersama sebagai Peziarah Pengharapan: Menjadi Gereja Sinodal yang Misioner untuk Perdamaian.”
Roh Kudus, Pemeran Utama Sidang Agung
Menurut Mgr. Anton, dalam setiap proses sinodal, pemeran utamanya bukan manusia, melainkan Roh Kudus. “Demikian juga SAGKI ini,” ujarnya, “Roh Kudus berbicara melalui kita semua, tanpa kecuali.”
Karena itu, semua peserta mulai dari kardinal, uskup, imam, bruder, frater, suster, awam hingga kaum muda termuda berusia 21 tahun memiliki kedudukan yang sama. “Semua peserta SAGKI itu sepadan,” tegasnya. “Setiap orang di sini punya hak dan kewajiban yang sama untuk mendengarkan dan berbicara dengan kasih.”
Damai Sejahtera: Kata Pertama dari Seorang Paus
Mengutip kata-kata pertama Paus Leo XIV saat terpilih pada 8 Mei 2025, “Damai sejahtera bagi kamu semua,” Mgr. Anton mengingatkan bahwa kedamaian adalah tanda kebangkitan, tanda bahwa harapan selalu mungkin, bahkan di tengah dunia yang porak-poranda.
“Paus Leo XIV mengajak kita menjadi duta damai sejahtera di tengah dunia yang dirundung konflik,” ujarnya. “Kita diajak membangun jembatan melalui dialog dan pertemuan dengan siapa pun, terutama mereka yang menderita, yang tak punya, dan yang tak diperhitungkan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya.”
Kerendahan Hati, Jalan Menuju Kemurahan Hati

Dalam bagian homili yang reflektif, Mgr. Anton menyoroti pesan Yesus kepada orang Farisi yang undang mereka yang tak mampu membalas. “Bagaimana mungkin orang bisa memperhatikan yang tak punya kalau ia tidak rendah hati? Hanya orang yang rendah hati bisa bermurah hati,” katanya.
Ia lalu mencontohkan Paus Fransiskus yang pada ulang tahunnya ke-80 mengundang delapan gelandangan untuk makan pagi bersama, dan pada Hari Orang Miskin Sedunia 2023 menjamu 1.200 orang miskin, pengungsi, dan tunawisma di Vatikan. “Secara material mereka tidak bisa membalas apa pun,” kata Mgr. Bunjamin, “tetapi secara spiritual mereka menjadi berkat bagi Paus dan bagi Gereja.”
Suara dari Sudut yang Tak Tersentuh
Di bagian paling menggugah, Mgr. Bunjamin mengangkat suara mereka yang “di sudut-sudut tertentu,” yang mungkin menanti apakah SAGKI akan sungguh berbicara tentang hidup mereka.
“Apakah SAGKI akan membela kami? Peduli pada nasib kami? Atau akan berjalan seperti biasa, seolah-olah tidak ada SAGKI?” katanya dengan nada penuh empati. Ia berharap, SAGKI kali ini sungguh menjadi harapan dan perdamaian bagi mereka yang tak punya, tak mungkin membalas, dan tak diperhitungkan dalam segi sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Gereja yang Terbuka dan Relevan
Mgr. Anton pun kembali menyoroti suara wartawan yang menyoroti mengenai tentang isu Papua dan geothermal di NTT pada konferensi pers sebelumnya, ia menegaskan bahwa SAGKI terbuka untuk semua suara. “Kita tidak ada batasan. Silakan berbicara apa pun. Semua hasil refleksi dari paroki dan keuskupan akan diperdalam dalam diskusi bersama,” jelasnya.
Ia mengingatkan, Gereja Katolik Indonesia hanya akan berbuah bila tetap terbuka pada Roh Kudus, rendah hati, dan murah hati. “Kalau kita tidak rendah hati dan murah hati, SAGKI tak akan berbuah sesuai dorongan Roh Kudus,” ungkapnya.
Gereja yang Berkenan di Hati Allah
Homili itu pun ditutup dengan ajakan yang lembut namun kuat agar para peserta meninggalkan kenyamanan, membuka hati, dan memberi diri sepenuhnya bagi Gereja yang sinodal, relevan, dan penuh belas kasih.
“Mungkin apa yang kita lakukan tidak dilihat sesama,” tuturnya pelan, “tetapi bisa jadi berkenan di hati Allah. Mari kita bermurah hati seperti Bapa di Surga murah hati”.
Dan di situlah, Gereja Katolik Indonesia memulai perjalanannya sebagai peziarah pengharapan untuk belajar kembali mendengarkan, agar dapat berbicara dengan kasih, dan berjalan bersama menuju damai sejahtera dalam SAGKI 2025 yang akan berakhir pada 7 November 2025.
Felicia Permata Hanggu






