HIDUPKATOLIK.COM – Pangeran Albert II dari Monako mengonfirmasi bahwa ia tidak akan melegalkan aborsi di negaranya. Ia menyebutkan pengaruh Gereja dalam keputusannya.
Aborsi akan tetap ilegal di Monako, kata Pangeran Albert II, yang baru-baru ini menolak menandatangani rancangan undang-undang yang akan melegalkan prosedur tersebut hingga minggu ke-12 kehamilan.
“Saya mengerti betapa sensitifnya topik ini, emosi yang dapat ditimbulkannya,” kata Pangeran Albert II pada 19 November. Ia menolak menandatangani rancangan undang-undang tersebut, sebagian karena “tempat yang ditempati agama Katolik di negara kita.”
Monako adalah negara-kota berdaulat dan monarki konstitusional, dan terletak di Riviera Prancis. Populasinya yang berjumlah sekitar 38.000 jiwa, sekitar 90% beragama Katolik, dan Katolik adalah agama resmi negara.
Pada bulan Mei, dewan nasional negara tersebut memberikan suara mayoritas untuk melegalkan aborsi selama trimester pertama kehamilan, menurunkan batas usia remaja untuk melakukan aborsi tanpa persetujuan orang tua, dan memperluas batasan aborsi dalam kasus kekerasan seksual.
Namun, nasib RUU tersebut berada di tangan Pangeran Albert II.
Aborsi di Monako
Aborsi di Monako legal dalam keadaan yang sangat terbatas, yaitu untuk melindungi nyawa ibu, kasus “cacat janin parah”, dan dalam kasus kehamilan akibat kekerasan seksual. Hingga tahun 2009, aborsi sepenuhnya ilegal.
Pada tahun 2019, pemerintah bergerak untuk mendekriminalisasi tindakan tersebut. Sebelumnya, perempuan di Monako yang melakukan aborsi dapat menghadapi hukuman penjara hingga tiga tahun. Penyedia layanan aborsi menghadapi hukuman penjara hingga lima tahun.
Keterbatasan legalitas aborsi, ditambah dengan undang-undang dekriminalisasi, kata Pangeran Albert II, “menghormati jati diri kita.”
Para klerus Monako secara vokal menentang upaya untuk melegalkan aborsi lebih lanjut.
Legalisasi aborsi “berarti Kerajaan Monako tidak lagi mengakui dirinya dalam nilai-nilai sosial Katolik,” kata Uskup Agung Dominique Marie David dari Monako pada bulan Maret ketika RUU tersebut pertama kali dipertimbangkan.
“Tanpa Katolikisme, Kerajaan Monako tidak lagi memiliki DNA-nya yang utuh,” ujarnya. (aleteia/fhs)





