“BESOK SUDAH HARI SENIN”, KAITANNYA DENGAN MISTERI PASKAH

307
Peduli korban banjir bandang dan tanah longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT). (Foto: Romo Ino Nahak)
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – “BESOK sudah hari Senin” adalah pernyataan yang muncul dalam salah satu refleksi personal di Misa Paskah pagi yang saya pimpin. Tema yang saya tawarkan adalah apa arti kebangkitan bagi kita. Dan, banyak umat yang hadir terbatas dalam perayaan Ekaristi di Gereja atau pun online menyampaikan sharing imannya yang kemudian dirumuskan ke dalam delapan (8) suku kata. Frase itu kemudian dinyanyikan sebagai ayat demi ayat dalam lagu “Mari Bersukacitalah” (PS 525). Tidak ada motivasi untuk menggubah lagu ini, tetapi hanya ingin menjadikan lagu ini hidup dengan berangkat dari pengalaman rohani personal umat beriman.

Misteri Paskah

Menarik untuk merefleksikan kata “Paskah” dengan frase “Besok sudah hari senin”. Misteri Paskah Kristus tentunya sebuah pengalaman iman terdalam orang Katolik seperti Rasul Paulus berkata, “Jika Kristus tidak bangkit, maka sia-sialah kepercayaanmu” (1 Kor 15:17). Misteri kebangkitan Kristus tidak bisa dilepaskan dari kesatuan pengalaman Kristus sebagai manusia yang sengsara dan wafat. Kesatuan utuh ini menjadi refleksi terdalam hidup manusia yang menghadirkan sebuah paradoks antara penderitaan dan kebangkitan serta antara dukacita dan sukacita.

Kristus sungguh masuk dalam pengalaman hidup manusia secara mendasar. Ia tidak hanya melihat dari jauh, tetapi Ia masuk dan mengalami pengalaman manusiawi itu sendiri. Penderitaan dan sengsara menjadi bagian integral hidup manusia itu sendiri untuk memberikan pengharapan bahwa perjuangan itu tidak berakhir pada air mata tetapi pada sebuah kebangkitan dan sukacita abadi bersamaNya di surga mulia. Inilah yang disebut dengan teologi salib; bahwasanya misteri Kristus yang menderita dan bangkit itu menjadi wajah kekuatan Allah. Salib menjadi daya ilahi yang berbeda dari kekuatan manusia (1 Kor. 1:24) yang menghadirkan wajah kasih Allah.

Pada saat yang bersamaan, wajah kerahiman-Nya itu menjadi jelas dalam pengalaman salib dan kebangkitan Kristus. Kerahiman Allah itu melampaui kelemahan manusia. Kerahiman Allah itu merangkul seluruh dimensi manusiawi dari seorang pribadi dan juga merangkul seluruh ciptaan. Artinya, kebangkitan Kristus itu membawa pengharapan akan sebuah pembaruan hidup dan harmoni.

Merasuki Jiwa

Kebangkitan Kristus itu bukan hanya sebuah perayaan kultis iman, tetapi sebuah pengalaman personal yang berkobar-kobar di dalam hati orang beriman untuk sebuah pembaruan hidup. Kobarannya itu merasuki jiwa umat beriman di hidup sehari-harinya. Jujur saja, tak jarang umat beriman berpendapat bahwa hidup rohani dan hidup jasmani atau hidup spiritual dan hidup harian adalah dua hal yang berbeda. Nyatanya tidak. Tentunya cara pandang itu hendaknya diluruskan karena hidup rohani dan jasmani tidak dapat dipisahkan; pengalaman manusia dengan Tuhan tak bisa dipisahkan dari pengalaman hidup harian manusia. Kristus yang datang ke dunia telah menjadi saksi nyata bahwa hidup jasmani itu disempurnakan dan disucikan berkat darah suci-Nya dalam kebangkitan-Nya.

Kita tentu ingat, ada orang mengatakan “I hate Monday” karena orang itu harus kembali bekerja setelah ia menikmati jeda istirahat yang ada. Tetapi, saya ingat guru kursus bahasa salah satu kata di Italia dahulu, ia memulai pengajarannya di tiap Senin dengan satu kalimat “Sono contento perchè oggi è lunedí”, artinya, saya bahagia karena hari ini adalah Senin. Ia selalu menanamkan semangat sukacita itu tanpa jemu-jemu karena baginya setelah hari Tuhan (baca: Minggu), kita mesti bersukacita.

Dan, semangat Paskah itu tentunya juga membawa sukacita itu sendiri sehingga umat beriman bisa menikmati perjuangan hidup sehari-harinya dalam terang cahaya Kristus. Bisa kita refleksikan, pengalaman Paskah itu hendaknya mengalir dalam hidup keseharian. Euforia kebangkitan Kristus tidak hanya menjadi sebuah selebrasi ritual saja tetapi menjadi sebuah kobaran api pengharapan bagi umat beriman untuk berbuat sesuatu.

Sebuah pengharapan akan sukacita itu terarah para realitas konkret kita sehari-hari bahwa kita bersama-sama sedang berusaha mengatasi pandemi yang ada dengan berbagai cara yang bisa kita lakukan. Tak ayal di tengah segala usaha dan tantangan yang ada, saudari-saudara kita mengalami bencana alam di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan juga di Malang, Jawa Timur. Syukur kepada Allah dengan geliat umat beriman bahkan banyak pihak di negara kita yang bergerak karena semangat solidaritas bagi mereka yang ditimpa malapetaka. Gerakan ini melampaui batas identitas yang ada dan semata terarah pada semangat kemanusiaan.

Rasanya, ini sungguh menjadi sebuah pengalaman sukacita Paskah yang begitu nyata dalam hidup kita saat ini. Banyak dari kita mengambil bagian untuk memberikan bantuan atau pun menjadi relawan walau situasinya tidak mudah karena pandemi. Bahkan, di dalam beberapa grup WhatsApp misalnya, tampak banyak orang berlomba-lomba melakukan aksi solidaritas bagi mereka yang menderita ini. “Inilah pesta Paskah” sesungguhnya yang juga nyanyikan dalam madah exultet di Malam Paskah. Pesta Paskah membawa keselamatan sejati bagi segenap ciptaan yang nyata dalam sebuah kesejahteraan umum.

Mari Bersukacitalah

Akhirnya, alasan sukacita Paskah kita menjadi begitu jelas, yakni bahwa Kristus telah bangkit dan menyelamatkan kita semua. Sukacita inilah yang berbuah pada kehidupan harian dan ‘hari Senin kita’ seiring dengan segala tanggung jawab kehidupan yang Tuhan berikan kepada kita. Tanggung jawab kehidupan itu mengalir dari iman akan Kristus yang bangkit dan berbuah pada sebuah solidaritas manusiawi.

Aksi solidaritas kita kepada mereka yang menderita menjadi salah satu wajah konkret dari sukacita Paskah itu sendiri. Namun, bukan itulah satu-satunya wajah sukacita Paskah dalam kerahiman Allah. Kita masih bisa bertanya kembali, seperti yang kerap kali disampaikan oleh  Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo, “Apa yang bisa kita lakukan agar hidup kita semakin manusiawi?” Pertanyaan ini tentunya bisa dijawab dengan konkret dalam kapasitas kita masing-masing sebagai seorang pengikut Kristus yang bangkit.

Penyelamatan Kristus atas kita menjadi alasan utama bagi kita untuk menanggapi-Nya dengan sikap iman yang konkret, yakni dalam sebuah solidaritas manusiawi yang harus terus kita rumuskan selalu dalam konteks hidup kita sehari-hari. Namun, bukan hanya dirumuskan, tetapi juga diwujudnyatakan demi sebuah kesejahteraan bersama umat manusia dan segala ciptaan.

Syukur kepada Allah dengan geliat umat beriman bahkan banyak pihak di negara kita yang bergerak karena semangat solidaritas bagi mereka yang ditimpa malapetaka di NTT dan Malang.

Romo Anton Baur, Dosen Teologi Moral, STF Driyarkara, Jakarta

HIDUP, No.20, Tahun ke-75, Minggu, 16 Mei 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here