HIDUPKATOLIK.COM – Were you there when they crucified my Lord? Oh! Sometimes it causes me to tremble, tremble, tremble – Apakah anda berada di sana ketika mereka menyalibkan Tuhanku? Oh! Kadangkala hal itu menyebabkan saya gemetar …. Itulah lirik dari salah satu lagu Negro Spirituals yang berjudul “Were you there when they crucified my Lord?” yang dipopulerkan oleh Johnny Cash dan the Carter Family.
Lagu tersebut mengungkapkan suasana hati para budak Afrika ketika mereka harus menderita akibat perbudakan dan penindasan di tangan para majikan, pada masa perbudakan yang dimulai pada tahun 1619 dan berlangsung selama lebih dari 3 abad. Dari mana para budak mendapat inspirasi untuk mengungkapkan penderitaan mereka dan memperoleh kekuatan baru?
Dikisahkan bahwa ketika para majikan, yakni orang-orang kristen asal Eropa, beribadah, para budak secara diam-diam ikut mendengarkan (nguping) pewartaan Sabda dan khotbah-khotbah. Salah satu pewartaan yang mereka dengar adalah kisah sengsara, penderitaan dan wafat Yesus. Lama kelamaan para budak itu, yang dipekerjakan di penggilingan dan perkebunan, menyamakan nasib mereka dengan nasib Yesus yang mengalami penderitaan, sengsara dan salib.
Lagu-lagu Negro Spirituals itu mengungkapkan perasaan dan pengalaman mereka. Dengan menyanyikan lagu ini mereka mampu menyatukan tragedi hidup mereka yang tertindas dengan tragedi hidup Yesus yang tersalib. Mereka menemukan kekuatan dan penghiburan baru dalam menanggung penderitaan mereka yang terbelenggu oleh penindasan dan perbudakan. Dalam pengalaman derita ini Yesus menjadi guru rohani dan sosok kekuatan dan kedamaian mereka.
Pertanyaan serupa dapat kita ajukan dewasa ini: Di manakah saya dan anda berada ketika Yesus disalibkan, ketika Dia dipaku pada kayu hina, ketika lambung-Nya ditikam, ketika batu makam digulingkan? Apakah semuanya menyebabkan saya dan anda gemetar ketakutan! Di mana dan dari mana kita memperoleh kekuatan dan penghiburan ketika kita pun harus mengalami penderitaan, kesukaran hidup dan pelbagai bentuk salib kehidupan seperti kekalahan, ketakutan, kegagalan, depresi, keputusasaan, kehilangan, bahkan kematian? Mampukah kita memandang salib Kristus sebagai sumber kekuatan, damai, kesejukan dan keselamatan?
Beberapa hari lalu kita dikejutkan dengan suatu video yang memperlihatkan Paus Fransiskus muncul di dalam basilika St Petrus. Ia tidak mengenakan jubah putih dan salib kepausan; ia hanya mengenakan celana panjang hitam dan poncho (kain penutup badan yang biasa dipakai oleh orang-orang Peru). Ia tidak muncul di balkon Gereja St Petrus atau balkon istana. Ia kelihatan rapuh, dengan slang oksigen dan harus dituntun di kursi roda di dalam basilika yang megah; ia hanya bisa mengangkat tangannya sedikit, tidak banyak berkata-kata. Ia menampilkan A Gospel of Fragility (Injil Kerapuhan) seorang manusia. Ia tidak tampil dengan kewibawaan dan kekuasaan sebagai Pemimpin Gereja Katolik sedunia. Ia hadir untuk mengingatkan kita bahwa jubah, kolar, ritual, status, jabatan dan pelbagai penghormatan bukanlah segalanya. Semua harus menjadi sarana untuk mencintai dan melayani. Ia menunjukkan pengosongan dan penghampaan diri (bdk Fil 2:7-8) dari seorang yang mau melayani dan mengorbankan diri untuk orang-orang lain, seperti Yesus yang datang bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani.
Hari ini mengingatkan kita bahwa Salib Yesus tidak berhenti di Kalvari. Dunia kita dewasa ini memunculkan kalvari-kalvari baru. Pertanyaan sama berlaku untuk kita, yakni di manakah kita berada, ketika dewasa ini Yesus disalibkan? Apakah kita berada di situ sebagai pengikut-Nya yang setia atau sebagai serdadu, algojo pelaku penyaliban atau pun sebagai pengejek serta pelaku pelecehan atau ketidakadilan? Kini, Yesus masih disalibkan ketika kita melihat ketidakadilan, kekerasan, konflik, perang, perselisihan, tawuran terjadi di tengah keluarga dan masyarakat kita. Ia masih disalibkan ketika korupsi, ketidak-jujuran dan dusta merajalela. Ia masih disalibkan ketika martabat manusia dilecehkan, ketika hak beragama dan beribadah dihalang-halangi, ketika perdamaian dikesampingkan serta alam/lingkungan dirusak. Yesus tetap disalibkan ketika kita masih takut untuk mengikuti ajaran-Nya secara konsekuen, ketika kita mengingkari hakikat panggilan kristiani kita dan ketika tindakan serta perbuatan kita tidak mencerminkan amanat cinta-Nya. Salib Yesus menjadi lebih berat ketika demi gengsi, kedudukan, jabatan atau kepentingan pribadi atau golongan kita takut menyebut diri sebagai pengikut-Nya.

Dalam khotbah misa pertama di kapel Sistina, di hadapan para Kardinal, sehari setelah terpilih menjadi Paus, Bapak Suci Fransiskus menggarisbawahi makna salib bagi seorang pengikut Kristus, katanya: “Ketika kita berjalan tanpa salib, ketika kita membangun tanpa salib, ketika kita mengakui Kristus tanpa salib, kita bukanlah murid-murid Tuhan, tetapi kita orang-orang duniawi: kita barangkali adalah uskup, imam, kardinal, paus, tetapi kita bukanlah murid-murid Tuhan. Saya inginkan agar kita semua, setelah hari-hari yang penuh rahmat ini, akan memiliki keberanian, ya keberanian, untuk berjalan di hadirat Tuhan, dengan salib Tuhan; untuk membangun Gereja di atas darah Tuhan yang ditumpahkan di salib dan untuk mengakui satu kemuliaan ialah Kristus yang tersalib. Atas cara ini Gereja akan bergerak maju.”
Marilah kita berterima kasih kepada Tuhan kita Yesus Kristus, yang walaupun tanpa dosa telah rela menanggung salib, mati di kayu salib untuk penebusan dosa-dosa kita. “Kami menyembah Dikau, ya Tuhan, dan bersyukur kepada-Mu, sebab dengan salib suci-Mu Engkah telah menebus dunia.”

Pastor J. Mangkey, MSC, mantan Sekretaris Generalat MSC di Roma






