HIDUPKATOLIK.COM – Di tengah dinamika kehidupan Gereja Katolik saat ini, ada kecenderungan yang secara perlahan tapi nyata mencuat ke permukaan: umat mulai memilih-milih misa berdasarkan siapa imam yang memimpinnya. Ada yang enggan hadir misa jika yang memimpin bukan pastor favoritnya. Ada pula yang merasa “kurang dapat berkat” kalau pastor yang memimpin tidak sesuai ekspektasi entah karena gaya homilinya, cara memimpin misa, nada suara, bahkan penampilan fisiknya. Tanpa disadari, kita mulai melihat Ekaristi bukan lagi sebagai pertemuan dengan Kristus, tetapi sebagai tontonan rohani yang harus memuaskan selera pribadi.
Padahal, jika kita kembali ke akar iman kita, Ekaristi adalah perayaan iman tertinggi yang bukan berpusat pada siapa yang memimpin, tetapi pada Siapa yang dihadirkan. Dalam setiap misa kudus, baik yang dipimpin oleh imam yang dikenal tegas, lembut, humoris, pendiam, populer, ataupun tidak yang dihadirkan adalah pribadi yang sama: Yesus Kristus sendiri, Sang Gembala Utama. Imam hanyalah alter Christus pribadi manusia yang dipilih Tuhan untuk menghadirkan-Nya secara sakramental.
Siapa Itu Imam
Imam dalam Gereja Katolik bukanlah pegawai Gereja biasa. Ia adalah pribadi yang diurapi untuk mengambil bagian dalam imamat Kristus secara khusus. Dalam tahbisan imamat, seorang imam dikuduskan bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk melayani umat Allah. Ia bertindak in persona Christi capitis “dalam pribadi Kristus, Kepala Gereja.” Artinya, ketika seorang imam merayakan Ekaristi, yang berkarya bukan hanya manusia yang tampak secara fisik itu, melainkan Kristus sendiri yang menggunakan dirinya sebagai alat.
Karena itulah, tidak seharusnya kita menilai kualitas perayaan ekaristi dari siapa yang memimpin. Imam hanyalah perpanjangan tangan Allah entah ia tinggi atau pendek, tampan atau biasa saja, memiliki gaya berkhotbah yang menarik atau datar. Kristus yang satu dan sama hadir dalam setiap misa. Fokus umat seharusnya bukan pada pribadi imam, melainkan pada kehadiran Kristus yang dihadirkannya.
Ekaristi
Ekaristi adalah pusat dan puncak kehidupan iman Katolik. Dalam Ekaristi, kita tidak hanya mengenang perjamuan terakhir, tetapi sungguh mengalami kembali pengorbanan Kristus di Kalvari. Ini bukan sekadar simbol atau upacara peringatan, melainkan peristiwa nyata kehadiran Kristus yang memberi diri-Nya secara total bagi keselamatan kita.
Ketika roti dan anggur dikonsekrasi, itu benar-benar menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Mukjizat ini terjadi bukan karena kekuatan pribadi imam, tetapi karena kuasa Allah yang bekerja melalui Gereja-Nya. Bahkan seorang imam berdosa sekalipun, selama ia bertindak dalam Gereja dan melaksanakan ritus dengan benar, Kristus tetap hadir dalam Ekaristi yang dirayakan.
Bahaya Sikap Artifisial dan Preferensial
Ketika umat mulai membangun kebiasaan datang ke misa berdasarkan “siapa pastornya,” iman mulai dipinggirkan oleh preferensi pribadi. Yang dikejar bukan lagi sakramen, tapi kenyamanan. Yang dicari bukan lagi Kristus, tapi penghiburan sesaat. Ini adalah bentuk pemahaman iman yang artifisial tampak religius di luar, namun kehilangan kedalaman di dalam.
Tentu, tidak salah jika seseorang memiliki pastor yang disukai karena cara mengajarnya menyentuh atau homilinya membangun. Tetapi jangan sampai preferensi itu menjadi alasan untuk menolak kehadiran Kristus yang dihadirkan melalui imam lain. Misa bukan acara seleksi idol. Gereja bukan panggung hiburan. Imam bukan artis atau selebriti rohani. Ekaristi bukan tempat untuk memuaskan perasaan, tapi perjamuan keselamatan yang mengubah hidup.
Tidak Pernah Berubah
Imam boleh datang dan pergi. Setiap imam memiliki latar belakang, kepribadian, dan gaya pelayanan yang berbeda. Tetapi Yesus yang dihadirkan dalam Ekaristi adalah satu dan sama: Kristus yang wafat dan bangkit demi keselamatan kita. Dialah Gembala Utama yang menggunakan para gembala-Nya untuk memberi makan kawanan-Nya dengan Tubuh dan Darah-Nya sendiri.
Mengikuti misa dengan penuh iman berarti menempatkan Kristus sebagai pusat perhatian kita, bukan manusia yang memimpin perayaan itu. Imam hanya sarana, bukan tujuan. Ketika kita datang ke misa, mari datang untuk bertemu dengan Tuhan, bukan sekadar untuk merasa nyaman.
Mengubah Cara Pandang
Gereja memanggil kita untuk memperdalam iman dan memurnikan motivasi kita dalam mengikuti misa. Sudah waktunya kita bertanya: Apakah aku datang ke misa untuk mencari Tuhan atau sekadar untuk mencari pengalaman rohani yang menyenangkan? Apakah aku memandang imam sebagai pribadi Kristus yang menghadirkan-Nya, atau hanya sebagai manusia biasa yang harus memenuhi ekspektasiku?
Mari kita belajar untuk menghargai setiap imam, entah ia cocok atau tidak dengan selera kita. Karena melalui mereka, Tuhan sendiri hadir, menguduskan, dan memberi hidup kepada umat-Nya. Jangan biarkan preferensi pribadi menutupi realitas ilahi yang terjadi dalam setiap perayaan Ekaristi.
Kristuslah pusat misa. Dialah yang seharusnya kita cari bukan yang lain.

Fr. Fransiskus Tomi Mapa, Mahsiswa S2 di STT Pastor Bonus Pontianak, Kalbar






