web page hit counter
Jumat, 5 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Referensi Lain tentang Tanah Papua

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Bagi Paul Sudiyo, Papua adalah tanah tempat ia membaktikan hampir setengah abad hidupnya. Baginya, orang Papua adalah manusia semartabat seperti dirinya sendiri yang selayaknya dikasihi.

Buku Kisah Kasih di Tanah Papua adalah memoar autentik sekaligus refleksi tentang kasih yang ia hidupi selama 48 tahun berkarya untuk orang-orang dan anak-anak Papua.

Buku ini disusun secara tematik. Setiap judul atau bagian memuat pengalaman yang berbeda. Mulai dari pelayanan pastoral, pendidikan, kesehatan, perjumpaan dengan tokoh Papua, hingga kisah cinta penulisnya. Dengan gaya naratif lugas, kadang humoris, kadang mengharukan, Paul menuntun pembaca memasuki beragam kisah nyata yang hampir seluruhnya terjadi di tanah Papua.

Kisah cinta Paul dengan dr. Irma menjadi benang merah yang indah. Dalam kesetiaan pada tugas pelayanan masing-masing, mereka “dipertemukan” di pedalaman, menikah secara sederhana, dan bersama-sama terus mengabdikan diri. Irma wafat 27 tahun lalu, dan Paul tetap mengenangnya dengan penuh cinta. Tulisnya: “Cerita ini untuk merefleksikan 48 tahun lebih saya mengabdi masyarakat Papua, sekaligus untuk mengenang istri saya -yang pernah menjelajah pedalaman Papua- yang telah dipanggil Tuhan 27 tahun yang lalu.” (hlm xiii). Pasangan suami istri (pasutri) Paul – dr. Irma adalah teladan bahwa kasih yang dihayati dalam pernikahan dapat berpadu dengan karya sosial, menghadirkan pelayanan yang bermakna bagi masyarakat.

Kisah bermula dari pertemuan Paul dengan Mgr. Herman Münninghoff, OFM, Uskup Jayapura, pada tahun 1975. Dari situlah ia akhirnya berangkat dari Jakarta ke Papua. Dua hari Paul di Jakarta untuk persiapan ke Jayapura penuh diliputi rasa asing: dari sarapan roti dengan pisau dan garpu yang terasa janggal, hingga pengalaman pertama naik pesawat  menuju Sentani, Jayapura. Dari pengalaman awal ini, Paul segera belajar arti pelayanan dari biarawan Fransiskan. Ungkapnya dengan takjub: “Walaupun baru bertemu sekali, tetapi saya sangat mengaguminya, karena ia mempunyai jiwa melayani yang luar biasa: menemani makan, membawa tas-tas, dan sangat akrab dengan orang lain …” (hlm 3).

Di Jayapura, Paul ditugaskan sebagai guru di berbagai sekolah sambil membantu pelayanan pastoral paroki. Hidup sederhana dengan selembar tikar sebagai alas tidur dan tempe tipis sebagai lauk harian tidak membuatnya menyerah, justru menguatkan tekadnya untuk melayani. Paul mengalami langsung bagaimana keras dan beratnya medan pelayanan pastoral di Papua. Ia harus berjalan kaki berhari-hari menembus hutan, naik perahu, atau mengandalkan pesawat kecil Cessna untuk mencapai pedalaman. Dari para biarawan Fransiskan, ia belajar kedisiplinan dan ketulusan. Salah satu pengalaman menarik yang mengesankan Paul adalah kebiasaan mereka membaca buku setiap malam setelah doa, lalu menceritakan isinya. Dari tradisi sederhana itu, Paul memahami pentingnya memperkaya batin dan memperluas wawasan untuk melayani sesama.

Baca Juga:  Maria Bunda Penasihat Baik Resmi Jadi Pelindung

Ia juga menceritakan bagaimana menghidupkan dan mengembangkan komunitas muda-mudi Katolik di Jayapura, menyelenggarakan drama “Kisah Sengsara Yesus” pada Jumat Agung, hingga membentuk kelompok-kelompok basis di paroki. Bagi Paul, pelayanan pastoral adalah tentang membangun persekutuan kasih yang nyata di tengah umat.

Salah satu bagian yang amat menyentuh adalah kisah istrinya, dr. Irma. Dokter Irma hadir sebagai “malaikat” bagi masyarakat pedalaman. Di tengah minimnya fasilitas, dr. Irma tetap melayani dengan sepenuh hati. Bahkan saat ia sedang mengandung pun, ia tetap bersemangat berjalan kaki ke pedalaman untuk melayani masyarakat. Ia tidak segan menolak pasien yang berbohong, sebab kejujuran adalah syarat kesembuhan.

Momen dramatis terjadi saat dr. Irma dan Paul bertemu dengan Panglima OPM saat itu, Tadeus Yogi. Suasana penuh ketegangan berubah menjadi perjumpaan penuh hormat: “Malamnya ia datang diantar tiga orang sampai di pintu, kemudian ia sendirian di ruang tamu, memberi salam dengan hormat, dan memperkenalkan diri pada istri saya. Walaupun keduanya belum pernah bertemu, namun masing-masing sudah paham apa yang dikerjakannya. Seperti biasa ia membuka topinya dan menyebut istri saya mama dokter.” (hlm 161). Ketika Tadeus Yogi meminta obat-obatan, Paul menegaskan prinsipnya: “Kalau Aki (dalam Bahasa Indonesia: kamu) suka bapa dan mama tinggal di sini, berarti obat tidak diberikan. Tetapi kalau Aki suka bapa mama tidak tinggal di sini, obat akan diberikan… Kalau kami tetap di sini, siapa pun yang sakit ke sini akan dilayani dengan baik. Kami tidak membedakan satu sama lain.” Akhirnya Yogi meminta mereka berdua, Paul dan istrinya, tetap tinggal, demi masyarakat. Inilah contoh yang membuktikan bagaimana kasih dan ketulusan mengalahkan egoisme dan konflik berdarah.

Baca Juga:  Pesan Paus di Rumah Sakit di Lebanon: Kita Tidak Boleh Melupakan Mereka yang Paling Rapuh

Selain karya pastoral di paroki dan kesehatan, Paul yang sangat dipercaya Bapak Uskup menaruh perhatian besar pada pendidikan. Ia mendirikan Pusat Pembinaan Kader (PPK) di Epouto dan mengembangkan program Tim Terbang yakni kursus masyarakat desa yang melatih pemuda, katekis, guru, dan tokoh lokal. Banyak kader dari program ini berperan penting dalam pembangunan Papua ketika kabupaten-kabupaten baru dibentuk. Bagi Paul, pendidikan adalah jalan kasih yang membebaskan: kasih yang memberi kesempatan masyarakat untuk bangkit dengan kekuatan sendiri.

Buku ini juga mengisahkan perjumpaan lintas bangsa dan iman. Para misionaris Fransiskan Belanda menjadi teladan besar dalam hidup Paul. Mereka rela meninggalkan negeri asal, menanggung kesulitan-kesulitan, dan hidup bersama masyarakat Papua yang masih sederhana dan polos. Paul menulis mereka dengan penuh penghormatan. Ia menyadari bahwa pelayanan mereka tidak hanya memperkenalkan iman. Mereka dengan tekun berusaha memajukan pendidikan, kesehatan, dan pembangunan sosial masyarakat pedalaman Papua. Dari mereka, Paul belajar bahwa kasih sejati selalu bersifat inklusif: merangkul dan menghargai semua orang tanpa membeda-bedakan suku, agama, atau latar belakangnya.

Banyak kisah dalam buku ini menggetarkan hati. Salah satunya adalah saat Paul menghadapi ancaman perang di Epouto. Pasukan OPM mendirikan tenda untuk menarik pajak, situasi mencekam. Namun doa memberi kekuatan: “Keyakinan bahwa ‘Tuhan Pelindungku, siapa kugentari’ yang dulunya hanya sebuah ayat, kini menjadi hidup dan nyata, mulai menyentuh kedalaman hatiku. Ketakutan mulai hilang, dan yang ada kepasrahan kepada Tuhan.” (hlm 184). Syukur pun tiba: “Rupanya Tadeus Yogi dan rombongan mengambil keputusan untuk tidak berperang melawan masyarakat, tetapi pergi meninggalkan Epouto. Orang bersorak kegirangan, saya merasa lega… Kami mengucap syukur bersama di kapel.” (hlm 184). Pengalaman ketakutan yang mencekam diganti dengan kepasrahan yang mendalam pada Tuhan sebagai pelindung dan pembebas.

Baca Juga:  Bekas Mobil Paus Fransiskus Jadi Klinik Kesehatan Keliling di Gaza

Namun, ada juga kisah tragis. Paul menceritakan peristiwa di Danau Tage ketika enam jenazah ditemukan setelah bentrokan: “Tangis pilu terdengar sepanjang malam, yang kadang-kadang diselingi nyanyian menyelimuti malam yang memilukan dan menyayat hati.” (hlm 84). Kisah-kisah ini menegaskan bahwa kasih sejati tidak steril dari ketakutan dan penderitaan. Kasih justru lahir dalam pergumulan hidup, di tengah derai air mata dan risiko kehilangan nyawa.

Tema utama buku ini adalah kasih tanpa pamrih dalam pemberian diri seutuhnya. Kasih yang diwujudkan dalam pelayanan nyata: mengajar, mengobati, berjalan kaki berhari-hari bersama dan demi umat, hingga berani menghadapi konflik yang mengancam nyawa. Kasih yang tidak menuntut balasan, bahkan ketika hasilnya adalah penderitaan atau kemiskinan pribadi.

Paul menulis seluruh kisahnya dengan bahasa sederhana, jujur apa adanya, kadang diselipi anekdot. Bahasanya ini menyentuh emosi pembaca dan membuat kisah terasa dekat dan nyata. Pembaca merasakan perpaduan antara memoar pribadi, catatan pastoral, refleksi, dan renungan rohani. Isi buku ini kental dengan nilai-nilai keutamaan: etos kerja tinggi, kegigihan, sikap dan tindakan altruistik, kesetiaan, dan iman pada Tuhan.

Kisah Kasih di Tanah Papua bukan buku memoar pribadi semata. Bukan sekadar buku kenangan untuk bernostalgia. Kisah Kasih di Tanah Papua adalah buku testimoni autentik manusia non-Papua tentang kasih bagi masyarakat Papua. Isinya menunjukkan bahwa kasih sejati adalah memberi tanpa pamrih, melayani tanpa batas, dan setia dalam segala keadaan. Refleksi penulis dalam Prakata: “Kasih tak akan pernah habis ketika diberikan, justru semakin bertambah. Sebaliknya, kasih akan semakin berkurang ketika tidak pernah diberikan.”

Meski ada sedikit kekurangan di sana-sini, buku menarik ini layak dibaca tak hanya oleh orang-orang Papua dan para pemerhati Papua, orang pemerintah dan non-pemerintah di Papua, namun juga para pekerja dan aktivis sosial, pendidik dan tenaga kesehatan, serta siapa pun yang ingin memahami arti kasih sejati. Di tengah masyarakat sekarang yang cenderung pragmatis dan individualistis, isi buku ini menjadi oase inspirasi dan keteladanan bahwa kasih dan pelayanan tulus selalu mungkin untuk diwujudnyatakan.

Johanes Chrys Wardjoko (Malang)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles