web page hit counter
Jumat, 5 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Destruksi Ekologi, Merusak Kehidupan

4.2/5 - (5 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Bangsa ini, khususnya masyarakat Sumatera Utara diselimuti oleh rasa pilu dan duka yang sangat mendalam. Alam di Tapanuli Bagian Selatan,  Tapanuli Tengah, Kota Sibolga dan sekitarnya, porakporanda karena banjir bandang dan tanah longsor yang melanda wilayah ini di tanggal 25 November 2025. Kota dan kampung yang awalnya asri indah mempesona,  dalam sekejab mata berubah menjadi lautan berair warna kuning pekat bercampur lumpur dengan arus air yang begitu deras bersumber dari hulu dan menghantam setiap rumah yang dilaluinya tanpa ampun. Bukit-bukitpun berlongsongoran memperpanjang ratap tangis dan penderitaan masyarakat di sana. Rumah-rumah di sekitar sejumlah lereng bukitpun hancur berantakan dan luluh lantak tertimbun tanah longsor, bak tanda-tanda kiamat bumi tiba.

Melihat tayangan-tayangan di media sosial sungguh memilukan dan menyedihkan tragedi itu. Korban jiwa tidak sedikit. Memilukan bahwa  ada tiga anak kecil kakak beradik dalam satu keluarga bersama ibunya tertimbun longsor dan meninggal. Memang data valid jumlah korban jiwa belum ada, namun melihat dahsyatnya bencana yang menimpa, pasti korban jiwa sangat banyak. Bencana 25 November 2025 itu merupakan sebuah tragedi ekologis yang begitu menyayat hati, yang tidak pernah ada dalam benak para warga yang berdiam di sana.

Dari tayangan media sosial, terlihat jelas bahwa gelondongan potongan kayu-kayu rapi begitu banyak terbawa oleh air dan terhampar begitu semraut memenuhi halaman-halaman rumah penduduk yang dilalui air bah. Timbul pertanyaan refleksif: Apa makna gelondongan kayu berpotongan rapi yang begitu banyak demikian?

Terhadap pertanyaan tersebut, satu hal yang jelas, kondisi rapi potongan gelondongan kayu-kayu tersebut sesungguhnya menggambarkan sebuah kenyataan bahwa terjadinya banjir bandang dan tanah longsor yang mengguncang dahsyat itu bukan tanpa terkait dengan pembabatan pohon. Dalam kalimat kategoris dapat dikatakan bahwa banjir bandang dan longsor merupakan akibat langsung dari penebangan pohon yang begitu marak.

Bahaya rusaknya Jaring kehidupan

Malapetaka ekologi demikian adalah buah nyata dari rusaknya jaring-jaring kehidupan oleh ulah manusia serakah dan tak bertanggung jawab, serta abainya pengakuan adanya korelasi dan koeksistensi antar organisme kehidupan di dalam alam. Tentang keterkaitan dengan kehidupan alam dan segala bentuk isinya sudah diingatkan oleh Fritjop Capra dalam berbagai bukunya, terlebih dalam “The Web of Life” (1998) dan The Hidden Connections (1997) dan oleh Henryk Skolimowski dalam Filsafat Lingkungan (2018).

Baca Juga:  Kongregasi FCh Rayakan 34 Tahun Kemandirian dan Hidup Membiara di Palembang

Bagi Capra sebagaimana diperlihatkannya secara jelas dalam kedua buku yang disebutkan, kehidupan dalam alam merupakan jaring-jaring, saling terkait antara satu elemen biota dengan biota yang lain. Setiap organisme di dalamnya memiliki peranan masing-masing, namun sekaligus memiliki relasi erat satu sama lain. Korelasi erat justru menjadikan organisme bersifat koeksistensial.

Capra mengamati bahwa dalam alam terjadi penciptaan diri masing-masing organisme hidup. Kreasi diri setiap organisme berlangsung secara otomatis sesuai kondisi  alamiahnya (state of nature). Di dalamnya ada simbiose mutualis antara satu organisme dengan organisme yang lain.

 Ketika hubungan itu diputus dengan merusak salah satu biotanya, maka ekosistem terganggu, dan ancaman kehidupanpun akan hadir nyata. Salah satu hal yang mengancam dan mengganggu ekosistem adalah penebangan pohon secara membabi buta, akibat keserakahan manusia. Naluri destruktif berbasis kapitalistik itu justru mengancam kehidupan, bahkan menghancurkannya. Subjek yang paling merasakan itu jelas manusia juga. Karena itulah Capra terus mengingatkan bahwa demi mempertahankan kehidupan yang lebih luas, baik manusia dan segala isi alam, perlu dihidupkan kesadaran untuk merawat bumi.

Sependapat dengan pandangan Humberto Maturana dan Franciscco Valera, dan Fransiskus Asisi, Capra menegaskan bahwa tidak ada cara lain bagi manusia untuk mempertahankan kehidupan, selain menyadari sungguh-sungguh hubungan yang erat antara makhluk bumi dalam alam itu. “Tidak bisa kehidupan berlangsung baik tanpa menjaga jaringan itu agar tetap terkoneksi dengan baik. Setiap insan manusia perlu menyadari hubungan demikian demi keberlangsungan kehidupan itu sendiri. Jika tidak, ya bencana yang akan melanda” demikian tukas Fritjop Capra dalam The Hidden Connections.

 Ekologi humanistik dan integralistik

Hal yang sama juga diingatkan oleh Henryk Skolimowski. Henryk menyoroti hubungan eksistensial dan ontologis manusia dengan lingkungan yang justru membawa implikasi bagi tanggung jawab moral manusia terhadap alam. Menurutnya, lingkungan hidup adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Hubungan lingkungan hidup dengan manusia bersifat ontologis, karena relasi yang baik dengan keduanya justru menjamin keberlangsungan kehidupan keduanya.

Baca Juga:  Penyuluh Katolik Berkolaborasi dengan Komunitas Doa Santa Faustina Melaksankan Pembinaan Iman di Rutan Wirogunan

Dalam buku Filsafat Lingkungan ( 2004) Henryk mengafirmasi secara tegas bahwa lingkungan hidup  memiliki nilai humanis secara mendasar, bukan nilai ekonomis. Namun dalam kenyataan, karena naluri bisnis dan semangat kapitalis, manusia serakah menggantikan hubungan ontologis itu dengan cara pandang ekonomis, buah dari ideologi antroposentrisme. Cara pandang ini  membuyarkan humanisme ekologi dengan menempatkan isi lingkungan hidup sebagai komoditas semata.

Cara pandang demikian menurut Henryk memberi ruang yang luas bagi keserakahan manusia. Hasilnya adalah kerusakan alam, yang dampaknya justru buruk, dengan terjadinya berbagai bencana alam.

Di tengah sikap pengobjekan alam dan ekonomisasi ekologi, Henryk mengusulkan satu pola pikir baru, yakni cara berpikir ekologi humanistik dan integralistik. Maksudnya? Sederhana sebenarnya, yakni setiap harus menghidupi kesadaran dalam dirinya bahwa dirinya adalah bagian dari alam, karena itu ia harus menjadikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar relasinya.

Apa implikasii pola pikir ini? Dalam pola pikir ini, ada pesan penting, persis seperti dikatakan oleh Immanuel Kant, yakni etika deontologi, khususnya imperatif kategoris. Imperatif kategoris adalah kewajiban moral yang harus dijalankan, yakni kewajiban untuk melestarikan alam dengan segala isinya demi kelangsungan kehidupan. ” Setiap orang memiliki kewajiban moral melestarikan alam, bukan hanya demi kehidupan dirinya, tetapi juga demi kehidupan generasi masa depan” demikian tulis Henryk.

Untuk itulah Henryk menawarkan imperatif kategoris moral baru, yakni perilaku wajib melestarikan lingkungan demi evolusi, peningkatan kehidupan, ekosistem alam dan kehidupan pengisinya di kemudian hari. Dasar kewajiban moral itu adalah sifat transendensi dan humanis alam itu. Ketika manusia tidak peduli akan imperatif moral ini, maka manusia akan mengalami kehancuran ruang, berarti kehancuran kehidupan manusia itu sendiri.

 Tanggung Jawab Pemerintah

Dua pemikir di atas memiliki satu titik temu, yakni pentingnya kesadaran ekologi lebih-lebih tanggung jawab moral terhadap alam semesta, tepatnya lingkungan hidup. Secara lain dapat dikatakan dari kedua pemikir tersebut terbesit satu pesan mendasar yang justru telah mati dan kehilangan nafas dari sanubaru pelaku bisnis, yakni pentingnya melek ekologis.  Alam bukan semata objek ekonomi baginya, tetapi subjek. Demikian halnya manusia berhadapan dengan alam menyadarkan siapa dirinya, bahwa ia adalah ciptaan yang mewujudkan imannya melalui kesediannya merawat bumi.

Baca Juga:  Paus Leo Berziarah ke Makam Santo Asal Libanon: Charbel Makhlouf

Melek ekologis berarti memahami prinsip-printip komunitas ekologi. Manusia perlu merevitalisasi komunitasnya dan menumbuhkan kesadaran melek ekologi itu. Prinsip ekologi itu ketergantungan, kemitraan, kerjasama dan siklis. Satu rusak yang lain ikut rusak.

Tragedi ekologis 25 November 2025, seyogianya menyadarkan kita semua untuk peduli kepada alam. Ini berarti apa? Semua tindakan yang merusak alam demi kepentingan bisnis sudah harus dihentikan secara absolut tanpa tedeng aling-aling atau alasan ini itu. Dalam hal ini menurut hemat penulis tindakan tegas dan keberanian dari pengambil keputusan, dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah sangat diharapkan. Pemerintah perlu mengevaluasi secara ketat bahkan langsung menghentikan perusakan alam dengan mencabut hak mereka sebagai pemilik konsesi hutan dengan pertimbangan objektif, yakni menghentikan dampak bencana yang lebih luas ke depan.

Pemerintah sudah harus berani menunjukkan tanggung jawab moralnya untuk berpihak pada biofilia, meminjam istilah Erich Fromm dan menghentikan upaya “nekrofilia” melalui penebangan pohon-pohon secara membabi buta. Seperti dikatakan oleh Maeve Mckown dalam bukunya With Power Comes Responsibility (2024), pemerintah memiliki kekuatan untuk menghentikan perusak lingkungan, dan keberanian untuk menggunakan kekuatan itulah merupakan bentuk tanggung jawabnya.

Sangat tidak adil bahwa para perusak hutan menikmati dengan enak hasil alam, sementara masyarakat sekitar alam menanggung akibat kerusakan, bahkan harus meregang nyawa atas keserakahan perusak hutan dan pelaku bisnis serakah.

Karena itu, tidak ada cara lain menghentikan bencana alam, selain menghentikan tindakan perusakan alam dengan mencabut semua hak konsensi, sebab destruksi ekologis sudah jelas terbukti merusak, bahkan membunuh kehidupan manusia.

Oleh Kasdin Sihotang
Dosen Filsafat Moral di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta

6 KOMENTAR

  1. Izin menanggapi, Pak. Sebelumnya saya turut menyampaikan rasa duka yang mendalam atas bencana yang terjadi di Sumatra Utara. Peristiwa ini kembali mengingatkan kita bahwa menjaga kelestarian alam sangatlah penting. Hal-hal sederhana seperti menghindari penebangan pohon secara sembarangan merupakan langkah besar, karena pada akhirnya manusia sendiri yang akan merasakan dampaknya. Penebangan liar tidak hanya merusak keseimbangan alam, tetapi juga membuat hewan-hewan di hutan kehilangan habitat dan sumber makanan mereka. Oleh karena itu, upaya menjaga lingkungan dengan mencegah penebangan liar dan melakukan penghijauan atau reboisasi menjadi sangat diperlukan agar kejadian serupa tidak terulang.

  2. Ijin menanggapi pak, sebelum turut berdukacita atas musibah yang terjadi khususnya di Sumatra Utara. Mengingat kejadian ini mengajarkan saya bahwa perlunya menjaga alam dengan sebaik mungkin, contoh sederhananya seperti tidak menebang pohon secara tidak bijaksana dan tidak bertanggungjawab, karena hasil akhir manusia sendiri yang akan merasa rugi. Selain itu, dengan adanya penebangan pohon secara liar, membuat para satwa satwa di hutan kehilangan tempat tinggal dan juga kehilangan sumber pangan bagi mereka. Oleh karena itu, perlunya menjaga alam dengan tidak menebang pohon secara liar dan melakukan penghijauan kembali atau reboisasi.

  3. Ijin menanggapi pak, sebelumnya turut berdukacita atas musibah yang terjadi khususnya di Sumatra Utara. Mengingat kejadian ini mengajarkan saya bahwa perlunya menjaga alam dengan sebaik mungkin, contoh sederhananya seperti tidak menebang pohon secara tidak bijaksana dan tidak bertanggungjawab, karena hasil akhir manusia sendiri yang akan merasa rugi. Selain itu, dengan adanya penebangan pohon secara liar, membuat para satwa satwa di hutan kehilangan tempat tinggal dan juga kehilangan sumber pangan bagi mereka. Oleh karena itu, perlunya menjaga alam dengan tidak menebang pohon secara liar dan melakukan penghijauan kembali atau reboisasi.

    • Ijin untuk menanggapi pak, pertama pertama saya turut berduka dan ikut prihatin terkait dengan kejadian yang sedang menimpa Sumatera. Menurut saya ini bukanlah hal pertama yang terjadi di Indonesia banyak kejadian yang serupa terjadi di negara kita. Hal ini terjadi bukan karena ketidaksengajaan, tetapi karena keserakahan dan ketidakpedulian terhadap alam semesta yang sebenarnya telah dirusak. Dengan merusak alam yang sebenarnya tugas mereka melindungi kita, menjadi sumber pencarian kita, sumber makanan kita semuanya itu dari alam di sekeliling kita, dengan merusak alam tanpa sadar kita juga sedang merusak diri kita sendiri, maka dari itu kita harus menjaga dan melestarikan alam kita yang sudah menjadi kebudayaan kita dari turun temurun. Jadi kita semua harus mencintai dan merawat segala alam semesta yang sudah diciptakan Tuhan untuk hidup berdampingan dengan manusia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles