Pemilu Belum Usai

54
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Pemilu yang sebenarnya telah selesai dilakukan saat Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri mengumumkan, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi sebagai calon presiden dari PDI-P. Setelah itu, tampak dukungan mengkristal, bahkan dari partai politik pesaing yang lebih memilih “memperebutkan” kursi orang nomor dua mendampingi Jokowi.

Para penyelenggara Pemilu juga terlihat “lega”, karena keputusan Megawati itu. Manuver itu relatif membuat Pemilu 2014 berjalan lebih lancar, hasilnya pun telah teramalkan, dan terutama pemilihan presiden, bisa dipastikan akan berlangsung sekali putaran saja.

Walau demikian, dari perspektif Katolik, masih tersisa beberapa pertanyaan yang membuat kita harus mengatakan Pemilu 2014 belum selesai. Pertama, bagaimana nasib para calon anggota legislatif (caleg) yang beragama Katolik? Kedua, haruskah kita memberi “cek kosong” kepada partai politik dan orang yang tengah diunggulkan akan keluar sebagai pemenang Pemilu? Ketiga, jika kita tidak mau memberi cek kosong, konsepsi apa yang hendak kita tawarkan?

Pertanyaan pertama berangkat dari pemahaman bahwa komunitas Katolik Indonesia perlu memiliki wakil di lembaga legislatif. Sedemikian penting aspirasi dan kepentingan itu untuk disuarakan, sehingga opsi yang berkembang adalah sang wakil pun, idealnya, harus seorang Katolik juga.

Tapi, apa yang harus dilakukan jika sang caleg mewakili partai politik yang tidak diunggulkan atau yang bersangkutan berada di nomor urut “sepatu” alias nomor besar? Kalaupun kita ngotot mencoblos nomor yang bersangkutan, besar kemungkinan jumlah suara yang diperoleh tidak cukup membawa sang caleg Katolik tersebut lolos. Lagi pula, semua orang sudah tergiring untuk mencoblos partai politik yang diperkirakan bakal menang.

Pertanyaan kedua memiliki dua opsi jawaban. Opsi pertama, karena diperkirakan akan bakal jadi pemenang, kita sulit untuk melakukan banyak hal selain mengikuti kehendak terbesar dari masyarakat tersebut. Jadi, apapun platform, visi-misi partai politik, serta calon presiden yang diusung, kita tinggal ikut saja, sembari berharap tak ada yang merugikan kita di kemudian hari.

Opsi kedua yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menaikkan nilai tawar, adalah dengan melakukan satu atau lebih hal-hal berikut: mengkritisi platform, visi-misi partai politik, dan calon presiden yang diusung. Selain itu, kita juga harus memberikan (baca: mendesakkan) hal-hal yang kita anggap penting untuk mendapat perhatian atau prioritas untuk ditangani, jika kelak mereka diputuskan menjadi pemenang Pemilu 2014.

Tentang pertanyaan ketiga, maka jika setuju dengan opsi kedua, yakni memasukkan proposal kepada partai politik dan presiden pemenang Pemilu: apa sesungguhnya isi proposal tersebut? Sudah siapkah kita untuk memformulasikan dan kemudian mengartikulasikan apa yang dianggap sebagai kemauan dan kepentingan kita itu?

Berbicara tentang hal-hal yang mau kita desakkan, sebenarnya banyak sekali. Mulai dari keamanan dan kenyamanan beribadah, mengurangi peraturan dan ketentuan berbau keagamaan, kebijakan pengisian jabatan publik yang tidak berbau suku, ras, dan agama tertentu, sampai pembuatan kebijakan publik menyangkut hal-hal yang secara tradisional kerapkali dipersoalkan oleh Gereja Katolik, seperti pengaturan jumlah kelahiran, penghormatan terhadap hak hidup, dan lain-lain.

Tapi, sudahkah hal itu disiapkan secara tertulis serta bagaimana hal itu disampaikan sehingga tepat sasaran? Diyakini, dengan begitu banyak kaum intelektual yang selama ini membantu para uskup, penyiapan dan penyampaian konsepsi tersebut bukan hal yang terlalu rumit..

Adrianus Meliala

HIDUP NO.15 2014, 13 April 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here