Inklusif di Kota Seribu Sungai

452
Sukacita: Mgr Petrus Boddeng Timang (kelima dari kiri) bersama pengurus Rumah Sakit Suaka Insan saat perayaan ulang tahun ke-45.
[HIDUP/Dionisius Agus Puguh Santosa]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Rumah sakit Katolik, tanpa salib di ruang perawatan. Enam puluh persen karyawan beragama Islam. Mushola dibangun. Merayakan pesta 45 tahun, karyawan Katolik mengikuti Ekaristi, karyawan Muslim Sholat bersama.

Selasa, 24/2, hari bersejarah. RS Suaka Insan Banjarmasin merayakan ulang tahun ke-45. Para karyawan merayakannya dalam suasana religius. Acara dimulai sore hari, diawali dengan ibadah. Sekitar 400 karyawan yang beragama Katolik mengikuti perayaan Ekaristi, dipimpin Romo F. A. Susilo Nugroho CP, di Myriam Hall, RS Suaka Insan. Sementara, karyawan yang beragama Islam mengadakan Shalat bersama di Mushola Al-Ichan, yang berada di kompleks RS Suaka Insan.

Setelah itu, mereka berkumpul dalam kegembiraan ramah tamah di Myriam Hall. Hadir dalam acara ini, Uskup Banjarmasin Mgr Petrus Boddeng Timang, sejumlah imam, suster, dan tamu undangan. Dua hari sebelumnya, keluarga besar RS Suaka Insan mengadakan gerak jalan santai. Selain itu, juga berbagai lomba, antara lain lomba kebersihan lingkungan, paduan suara, merangkai bunga, dan menghias kue ulang tahun.

Karya Ilahi
Dalam sejarahnya, rencana pembangunan RS Suaka Insan bergulir sejak 1930, atas gagasan Romo Johannes Groen MSF. Namun, gagasan itu senyap tak ada kabar. Pada masa penggembalaan Prefek Apostolik Banjarmasin Mgr J. J. M. Kusters MSF, gagasan itu mencuat lagi, tetapi tak kunjung terealisasi. Ketika Keuskupan Banjarmasin digembalakan oleh Mgr W. J. Demarteau MSF, pada 1960 ide yang sama muncul. Berkat bantuan dr Go Tjoen Bin, rencana itu mendapatkan persetujuan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Banjarmasin dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Empat partai politik yaitu Masyumi, PNI, NU dan Partai Katolik di Banjarmasin juga tidak keberatan. Sayang, waktu itu belum ada lembaga hidup bhakti yang siap mengelola. Pewujudkan gagasan tertunda.

Pada September 1962, Mgr Demarteau hadir dalam Konsili Vatikan II di Roma. Di sana, ia menyempatkan diri bertemu dan mengungkapkan niatnya membangun rumah sakit kepada Wakil Superior Jenderal MSF, Pater Marcel Mereck MSF. Perjumpaan dengan Romo Mereck ini membuka jalan baginya untuk bertemu dengan Superior Jenderal Kongregasi Suster-suster Santo Paulus dari Chartres (SPC) dan Uskup Chartres Mgr Roger Jean Fernand Michon. Kepada mereka, Mgr Demarteau mengungkapkan keinginannya mendirikan rumah sakit Katolik di Banjarmasin.

Setelah kurang lebih lima bulan, pada Januari 1963, Mgr Demarteau mendapatkan jawaban. Sepucuk surat dari Romo Mereck datang. Isinya tentang pemberitahuan bahwa Suster-suster SPC Provinsi Filipina bersedia mengelola rumah sakit yang akan didirikan itu. Mgr Demarteau semakin giat berupaya, hingga pada 1964 ia membeli sebidang tanah. Pada tahun yang sama, Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan mengeluarkan izin pembangunan rumah sakit itu. Dan, pada 1965, izin dari Kementerian Kesehatan RI pun turun. Dengan izin itu, dibangunlah klinik bersalin pada 1966.

Atas permohonan Mgr Demarteau, pada 7 Juni 1967, Kongregasi Propaganda Fide (Sekarang: Kongregasi Evangelisasi Bangsa-Bangsa) memberikan izin kepada SPC untuk membuka komunitas di wilayah Keuskupan Banjarmasin. Selanjutnya, enam suster dari Filipina berangkat dan mendarat di Jakarta pada 24 September 1967. Sekitar satu minggu kemudian, mereka mendarat di Bandara Ulin Banjarmasin, untuk memulai karya.

Kehadiran Gereja
Merancang pembangunan RS Suaka Insan, Mgr Demarteau tak bekerja sendiri. Ia dibantu beberapa tokoh umat. Jerih payah itu terwujud. Pembangunan gedung selesai dan diberkati Mgr Demarteau pada 23 Februari 1969. Sehari berselang, rumah sakit beroperasi.

Setelah tiga tahun, tepatnya pada 30 Desember 1972, Keuskupan Banjarmasin menyerahkan pengelolaannya kepada SPC. Rumah sakit ini semakin berkembang, dan sesuai dengan tuntutan zaman, untuk memayungi karya pelayanan ini dibentuklah Yayasan Suaka Insan SPC. Pada 17 Februari 1984, RS Suaka Insan resmi menjadi lembaga pelayanan yang dikelola yayasan tersebut.

Dalam sambutan pada perayaan ultah ke-45, Mgr Timang mengatakan bahwa keberadaan RS Suaka Insan merupakan bukti karya Gereja Katolik dalam pelayanan kepada masyarakat di Provinsi Kalimantan Selatan. Sementara itu, pimpinan SPC Distrik Indonesia Sr Yovita Daru SPC menjelaskan bahwa hingga saat ini, banyak kemajuan yang telah dicapai RS Suaka Insan. Kemajuan itu tak hanya menyangkut segi fisik bangunan, tetapi juga kualitas pelayanannya. Sr Yovita terus berharap agar RS Suaka Insan semakin maju dan berkembang. “Semoga semua karyawan bersatu dan para dokter melayani dengan baik sesuai dengan moto ”in omnibus caritas” Red),” harapnya.

Kasih dalam Karya
Semboyan In Omnibus Caritas (dalam segalanya adalah kasih) adalah semangat yang diharapkan menjadi landasan pelayanan, yakni pelayanan yang terbuka bagi semua orang dan tidak menonjolkan atribut Katolik. Tak ada Kristenisasi di kota Seribu Sungai. merupakan langkah konkret untuk mematahkan isu Kristenisasi ini.

Kebijakan Mgr Demarteau untuk tidak memasang salib di setiap kamar pasien dan pendirian Mushola di kompleks rumah sakit merupakan langkah yang tepat. Sejak rumah sakit memulai pelayanan, masyarakat Banjar sadar bahwa kehadiran RS Suaka Insan sama sekali tidak menggiring mereka menjadi Katolik. Kini, RS Suaka Insan sudah dikenal masyarakat Banjarmasin, bahkan sampai ke pelosok desa.

Pada 2013, RS Suaka Insan mendapat penghargaan The Best of Banjarmasin Service Excellence Champion dari Mark Plus Inc. Pada 2012 dan 2014, rumah sakit ini juga mendapat penghargaan Banjarmasin Service Excellence Champion.

Apapun, sampai kini RS Suaka Insan tetap mempertahankan identitas sebagai rumah sakit Katolik yang mengutamakan kasih dalam pelayanan, dan bersikap ter – buka. Bahkan, 60 persen karyawan rumah sakit ini beragama Islam. Sejauh ini, tercatat 90 persen pasien yang dilayani adalah warga Muslim Selama 2011 hingga 2013, RS Suaka Insan telah menyalurkan bantuan karitatif kepada para pasien senilai hampir satu milyar rupiah. Saat bencana terjadi, antara lain tsunami di Aceh (2004), gempa di Nias (2005), gempa di Yogyakarta (2006), dan letusan Gunung Merapi (2010), RS Suaka Insan juga selalu terlibat dengan mengirimkan tenaga medis. Mewujudkan pelayanannya, rumah sakit ini juga menggelar Sunatan Massal, kunjungan ke panti kusta dan panti asuhan, serta menyelenggarakan operasi bibir sumbing setiap tahun. Institusi Katolik yang inklusif ini juga menyalurkan bantuan untuk korban musibah lokal, misalnya kebakaran.

Dionisius Agus Puguh S.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here