Suami Selingkuh, Haruskah Saya Bercerai?

2905
3.2/5 - (4 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Romo Erwin, saya sudah berpikir untuk mengajukan surat gugatan cerai kepada suami ke pengadilan. Semua bermula ketika saya mengetahui perselingkuhan suami. Bahkan, perempuan selingkuhan suami saya sudah mengandung. Saya sudah sempat memaafkan, dengan catatan, dia mengakhiri hubungan dengan perempuan tersebut. Ternyata, saya keliru. Dia masih berhubungan dengan perempuan itu, dan perempuan lain. Ini saya ketahui dari chatnya dengan sejumlah perempuan di Whatsapp. Kami sudah pisah rumah. Terakhir, saya mendapat sebuah foto dari teman dekat, suami saya sedang jalan dan makan bareng dengan perempuan lain. Usia pernikahan kami baru empat tahun dan kami belum dikaruniai anak. Saya siap hidup sendiri, daripada batin saya tersiksa bila bersamanya. Apalagi, dia akan segera mendapat anak dari hasil perselingkuhannya. Mohon petunjuk, Romo. Terima kasih.

Christy, Cibubur.

Christy yang baik, saya ikut prihatin dengan peristiwa Anda dan suami. Saya setuju dengan keluhan Anda tentang suami. Apapun yang menjadi alasan, perselingkuhan tetaplah perbuatan yang salah dan berdosa. Perselingkuhan yang dilakukan suami Anda menurut saya adalah sesuatu yang salah dan mengkhianati janji perkawinan yang dibuat sendiri dan membentuk perkawinan Katolik yang sah.

Penyelewengan biasanya terjadi karena banyak faktor. Menyalahkan memang yang paling mudah, karena itu berarti kesalahan sepenuhnya dari pihak suami sebagai pelaku. Akan tetapi, akan lebih menyelesaikan jika kita pun merasa bertanggung jawab atas peristiwa ini. Paling tidak, kita memikirkan bagaimana Anda sendiri dapat berpartisipasi menyelesaikan persoalan dengan merubah cara komunikasi sebagai pasutri.

Faktor utama memang kecenderungan tidak setia, komunikasi yang buruk dari pasutri, atau keringnya hubungan dan intimasi kedua belah pihak. Karena tidak setia, pihak yang berselingkuh harus segera meminta pertolongan seorang ahli atau konselor, agar dapat ditolong dan melepaskan diri dari perselingkuhan.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah soal komunikasi. Biasanya perselingkuhan juga mengiringi buruknya komunikasi pasutri. Komunikasi yang macet membuat pasutri tidak mampu menyampaikan isi hati, perasaan, dan barangkali mencapai intimasi yang memadai bagi pasutri.

Saya tidak menampik, bahwa ada kepribadian yang tidak mampu setia pada satu orang saja. Pribadi seperti ini, jelas bertentangan dengan keyakinan iman kita dan hukum Gereja. Mereka yang menikah di dalam Gereja Katolik, harus dapat memenuhi janji nikahnya dengan setia seumur hidup, hanya dengan satu pasangan dan tak boleh terpisahkan kecuali karena maut. Jika karena dorongan nafsu tidak dapat setia, maka ia akan bermasalah dengan imannya. Jika suami tidak dapat berubah dan terus melakukan perselingkuhan, pihak isteri berhak untuk mengambil keputusan pribadi juga untuk meninggalkan suaminya, jika dirasa hidup bersama menjadi terlalu berat. Meskipun, ia punya anak, tidak berarti kalian dapat bercerai.

Jangan mengambil keputusan yang final atau terminal untuk bercerai tanpa ada pendampingan dari pihak Gereja. Para imam di paroki dapat memberi pendampingan untuk mengambil keputusan yang besar.

Cobalah perhatikan alinea hukum Gereja berikut ini. “Jika pasangan yang tak bersalah dari kemauannya sendiri memutus kehidupan bersama perkawinan, hendaknya ia dalam waktu enam bulan mengajukan alasan perpisahan itu kepada otoritas gerejawi yang berwenang; otoritas gerejawi itu hendaknya menyelidiki segala sesuatunya dan mempertimbangkan apakah pasangan yang tak bersalah itu dapat diajak untuk mengampuni kesalahan serta tidak memperpanjang perpisahan untuk seterusnya” (KHK 1152 § 3).

Alexander Erwin Santoso MSF

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here