Ingin Menjadi Batu Bata

357
Fransiskus Asisi Teguh.
[HIDUP/Yanuari Marwanto]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Ia hanya mengantongi ijazah SD. Ia bangkit setelah sempat sakau. Karyanya banyak terpajang di sejumlah tempat. “Semua karena kebaikan Tuhan,” ungkapnya.

Pepatah bagai anjing dan kucing saling bermusuhan dan tak bisa didamaikan tampaknya tak berlaku di kediaman Fransiskus Asisi Teguh. Di rumah Frans, di Bukit Cengkeh 2 Blok B1 nomor 15 Cimanggis Depok, dua jenis binatang menyusui itu justru hidup dengan damai. Ada empat anjing dan delapan ekor kucing di sana.

Sama sekali tak mendengar salak anjing dan desis kucing bertengkar saat berada di sana hampir setengah hari, pada Kamis, 9/11. Padahal kedua binatang tersebut kerap berpapasan di ruangan yang sama. Tak hanya memelihara binatang, pria bertato ini juga senang menanam dan merawat tanaman.

Hobi Frans memang agak kontras bila sepintas melihat penampilannya yang condong seperti rocker. Dua kegemaran itu menurutnya terinspirasi dari teladan orang kudus yang menjadi nama baptisnya, St Fransiskus Assisi. Takhta Suci menjadikan pendiri tarekat Saudara Hina Dina (Ordo Fratrum Minorum/OFM) ini sebagai patron ekologi dan hewan.

Tak Membayangkan
Frans hanya mengantongi ijazah SD. Memang, ia sempat mencicipi pendidikan hingga SMA. Tapi menurut pengakuannya, ia tak pernah melihat, apalagi menyimpan surat tanda tamat belajar SMP. Sementara ijazah SMA tak bisa ia raih, lantaran keburu gantung seragam saat masih di kelas dua.

Anak kedua dari enam bersaudara ini juga tak pernah serius selama meniti pendidikan. Ia tak pernah mencatat pelajaran. Selama berada di kelas, Frans hanya menggambar. Dua buku tulis yang selalu ia bawa ke sekolah, hanya berisi coretan tangan. Sejak belia, Frans mengabdi kepada seni lukis.

Pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 14 September 1969 meninggalkan kampung halaman dan bertarung di Ibukota Indonesia, tanpa perencanaan matang. Ia ke Jakarta nebeng paman. Tujuannya hanya untuk berlibur satu hari. Kenyataannya, Frans justru menetap dan mengais rezeki di kota metropolitan hingga kini. Sikapnya itu dalam pepatah Jawa disebut isuk tempe sore dele, artinya kurang lebih ‘pagi bicara lain, tapi tiba-tiba berubah pada sore hari’.

Pekerjaan pertama Frans sebagai sales di sebuah perusahaan retail. Sebenarnya, ia tak tertarik dengan pekerjaan tersebut. Tapi karena tuntutan perut, Frans terpaksa menekuninya. Miniatur departemen store mengantar Frans “naik kelas”. Karyanya yang berasal dari potongan-potongan styrofoam bekas membuat pemimpin di sana takjub. Ia ditarik ke kantor pusat dan menjadi staf artistik.

Mengerjakan segala sesuatu sesuai dengan minat bakal membawa hasil nan optimal. Itu yang Frans alami di tempat baru. Segala pekerjaan yang diserahkan kepadanya, selalu ia selesaikan lebih cepat dari deadline. Pujian dari kepala bagian kerap mampir kepadanya. Hal ini ternyata menumbuhkan antipati dari seorang koleganya.

Latar belakang pendidikan Frans mulai dipersoalkan. Kabar ijazah SMA tembak yang ia pakai untuk melamar pekerjaan menjadi menu pergunjingan di ruang kerja. Demi menjaga situasi kantor tetap kondusif, ia mengundurkan diri. Rupanya, karyawan yang mempersalahkan pendidikan Frans masih keluarga dengannya.

Peristiwa itu memberi pukulan telak bagi putra Antonius Fransiscus Hary dan Anne Maria. Lepas dari sana, Frans mulai kehilangan kendali dalam menapaki kehidupan. Narkoba menjadi solusi instan untuk mengurai beban pikiran dan sesak hatinya. Hingga pada suatu ketika ia terkapar bersimbah muntah. Frans sakau berat.

Istriku Pahlawan
Beruntung, nyawa Frans keburu tertolong. Pada situasi genting itu datang sang penyelamat, Fransisca Lisnawati Surya. Ia merawat Frans dan membersihkan muntahannya. Frans sempat melihat Lisna membersihkan seluruh kotoran yang keluar dari mulut dengan tangannya sendiri.

Lisna adalah kepala finance di bekas tempat kerjanya. Posisi Frans dengan Lisna bak bumi dengan langit. Frans mengenang, saban kali menerima gaji, seluruh karyawan termasuk dirinya harus menghadap Lisna. Ia terkenal tegas di antara seluruh karyawan. Tak ada yang berani berurusan dengannya. Meski begitu, Frans berhasil merebut hati dan perhatian Lisna.

Kata orang, cinta sejati tumbuh tanpa alasan. Frans tak mengetahui penyebab Lisna menyukai dirinya. Latar belakang pendidikan dan jabatan mereka amat kontras. Frans berkelakar, Lisna memilih dirinya lantaran penampilan dirinya amat berbeda dengan seluruh karyawan. “Hanya saya karyawan yang berambut gondrong,” ujar Frans, seraya tertawa.

Hubungan mereka terus berlanjut meski tak lagi sekantor. Lisna, menurut Frans, selalu menanyakan kondisi dirinya. Dialah, tambah Frans, yang selalu menumbuhkan asa untuk bangkit dan menanta kehidupan. Keseriusan Lisna mencintai Frans terlihat ketika dengan inisiatif pribadi, ia belajar agama Katolik dan dibaptis. Nama baptis yang ia pilih hampir serupa dengan kekasihnya. Setahun kemudian, mereka menikah di Katedral St Perawan Maria Diangkat ke Surga Jakarta.

Selama 22 tahun mengarungi biduk rumah tangga, Frans mengakui, sang istri adalah pahlawan dalam rumah tangganya. Ia membeberkan, saban hari Lisna bangun pukul 04.30, memasak, dan menyediakan makan-minum untuk keluarga. Begitu Frans dan anak-anak bangkit dari tempat tidur, santapan telah tersaji di atas meja.

Membalas kebaikan sang istri, Frans setiap hari mengantar-menjemput Lisna ke tempat kerja. Rutinitas itu ternyata menumbuhkan kebiasaan baru dalam hidup Frans. Usai mengantar Lisna, Frans selalu mengikuti Misa pagi di Gereja St Thomas Kelapa Dua, Depok, Keuskupan Bogor.

Frans juga mengambil pekerjaan rumah tangga selama istri dan kedua anaknya kerja, sekolah, dan kuliah. Alasannya sederhana, ia ingin begitu mereka pulang rumah bersih, rapi, dan nyaman. Frans dan Lisna sengaja tak menggunakan jasa asisten rumah tangga sampai sekarang. “Semua kami kerjakan sendiri,” tandas pembuat salib Indonesian Youth Day ini.

Selepas keluar dari tempat kerja pertama, Frans menekuni hobi melukis dan desain. Banyak tawaran datang kepadanya. Karya-karya Frans banyak terpampang di sejumlah tempat, antara lain ukiran di pintu masuk, tempat duduk imam, dan salib Gereja St Andreas Kim Tae Gon Kelapa Gading, Keuskupan Agung Jakarta. Lukisannya juga bertengger Katedral Kristus Raja Sintang dan Gereja St Thomas. Di Katedral Bogor ada lukisan jalan salib karyanya.

Frans juga mengerjakan kaligrafi untuk sebuah masjid di Mojokerto dan Surabaya. Ia juga menggarap desain vihara di Pluit dan Kelapa Gading, serta Yayasan Muhammadiyah di Jakarta. Frans juga didapuk sebagai perancang rumah pintar di seluruh Indonesia pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Frans menganggap semua proyek yang ia kerjakan bukan semata karena keahliannya. Ia melihat seluruh kepercayaan itu berkat kemurahan hati Tuhan dan jejaring pertemanan yang ia pupuk dan rawat sejak lama. “Saya tak terlalu percaya profesionalisme. Semua itu karena kebaikan Tuhan,” katanya, menegaskan.

Berdasar keyakinan itu, Frans menganggap, tak ada hari sial baginya. Seluruh waktu dan peristiwa yang ia alami selalu memuat sisi positif. Tuhan selalu memberikan rencana terindah baginya seturut waktu Dia. “Saya tak pernah membayangkan, semua bisa saya terima (mendapat istri dan kedua anak, proyek, dan rumah-Red),” ungkapnya, melanjutkan.

Frans tak ingin muluk-muluk menjalani kehidupan. Ia menganalogikan dirinya ingin seperti batu bata, yang semula rapuh karena terbuat dari tanah liat tapi menjadi kuat usai dibakar. Ia berharap, seluruh proses kehidupan yang dijalani menempa dirinya menjadi pribadi yang kokoh dengan selalu mengandalkan Tuhan dalam hidup.

Di tengah kesibukan mengerjakan berbagai pesanan lukisan serta desain, ia menjadi sukarelawan sebagai pengajar di sebuah lembaga pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus di Depok. Dua kali dalam sepekan, Frans mengajar gambar dan psikologi. “Saya tak punya background pendidikan psikologi, tapi justru diberi kepercayaan itu,” ujarnya. “Semoga bisa menjadi berkat untuk sesama,” pungkas Frans.

Yanuari Marwanto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here