Pernikahan di KUA

2226
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Romo yang terkasih, saya punya teman bernama B. Waktu bekerja di luar kota, B menjalin hubungan dengan wanita Muslim dan kemudian menikah secara resmi di KUA. Lalu, ia kembali ke Magelang, bersama istrinya. Tak lama kemudian, istri B melahirkan. Karena B tidak memiliki penghasilan tetap dan tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga, sang istri pulang ke rumah orangtuanya.

Kini, biarpun sudah menikah di KUA, si B tetap merasa dirinya masih Katolik. Ia tetap menerima komuni setiap kali mengikuti Misa. Ketika ditanya mengapa masih menerima komuni, ia menjawab bahwa sudah diperbolehkan karena sudah mengaku dosa.

Yang ingin saya tanyakan, apakah dengan menikah di KUA membuat si B dikatakan sudah keluar dari Gereja Katolik? Kalau benar, mengapa si B masih diperbolehkan menerima komuni? Apakah cukup lewat konsultasi dengan Romo dan mengaku dosa, si B bisa diperbolehkan menerima komuni lagi?

Sigit, Magelang

Saudara Sigit yang baik, terima kasih atas perhatian Anda kepada masalah teman Anda sehingga Anda tergerak untuk membantunya secara iman Katolik. Masalah perkawinan dalam Gereja Katolik memang diatur begitu rapi dan terkesan rumit, tetapi sebenarnya tidak demikian. Gereja ingin memastikan bahwa umat Katolik mempersembahkan perkawinannya sebagai salah satu cara menyembah Allah dan menjamin kesejahteraan serta kebahagiaan keduanya.

Pernikahan di KUA berarti melepaskan diri dari Gereja Katolik, karena ada pengucapan kalimat syahadat di syarat perkawinannya. Seorang Katolik yang secara publik menyatakan diri sebagai penganut agama Islam berarti secara bebas menyatakan keluar dari Gereja Katolik. Masyarakat/publik mengetahui hal ini, sehingga secara otomatis ia bukan lagi umat Katolik. Gereja memperhitungkan kemauan seseorang berdasarkan apa yang dikatakannya, bukan apa yang ada dibatinnya. Jadi pernyataan secara verbal (kata-kata) itulah yang menjadikannya otomatis keluar dari Gereja Katolik.

Mengenai penerimaan komuni, hal ini tidak mudah diselesaikan. Seorang Katolik yang sudah keluar dari Gereja dengan cara menikah tidak sah, memang harus menanggung konsekuensi dari perbuatannya dengan tidak menerima komuni suci atau terkena ekskomunikasi. Jika ia memang berniat untuk menggabungkan diri ke dalam kesatuan Gereja lagi, maka ia harus mengaku dosa sepenuh hati, mengakukan semua kesalahannya, dan menerima absolusi/pelepasan dosa dari Gereja.

Dalam rangka menerima absolusi atau pengampunan, seorang imam harus sudah yakin bahwa dosa yang sekarang ini dilakukan dan dimohonkan pengampunan tidak akan dilakukan lagi, yaitu pihak laki-laki tidak kembali pada istri tidak sahnya. Cara lain yang lebih baik adalah mengajak pasangan tidak sahnya untuk mengadakan pembaruan perkawinan secara Katolik. Inilah bukti pertobatan sepenuh hati. Dalam kasus yang Anda sampaikan, tidak jelas apakah si istri masih akan kembali kepada suaminya, ataukah pulang ke rumah orangtuanya untuk selamanya dan bercerai dengan suaminya? Jika bercerai, cukuplah suami mengaku dosa dan tidak kembali pada istrinya. Jika istri kembali bersatu, pastikan bahwa pihak Katolik mengusahakan pembaruan perkawinan, barulah sakramen tobat dapat diterima.

Konsultasi tidak pernah bisa membolehkan secara otomatis seorang yang terkena ekskomunikasi untuk menerima komuni kembali. Mereka yang terkena ekskomunikasi (terhalang menerima komuni suci) harus mengadakan usaha pemberesan perkawinannya. Ia harus menjalani serangkaian “tindakan tobat” yang nyata seperti di atas. Tobat, tapi kembali pada perkawinan tidak sah justru akan memperlihatkan sikap tidak serius dan bisa mempermainkan komuni suci, karena tidak layak/sah menerimanya.

Semoga jawaban ini jelas untuk Anda. Sadarkanlah teman Anda agar tidak menerima komuni sampai persoalan diselesaikan. Jika Anda menemui kesulitan karena kasus yang lebih sulit, Pastor paroki selalu menjadi tempat pertama untuk bertanya. Semoga Anda puas dan teman Anda terbantu. Tuhan memberkati.

RP Alexander Erwin Santoso MSF

1 COMMENT

  1. Kasus demikian juga ada di sekitar saya. Pihak Katolik ingin memperbaharui perkawinan secara Katolik, tetapi pihak non-Katolik (yang dahulu sempat menyatakan akan mengikuti secara Katolik) malah menghindar apabila diajak pihak Katolik untuk melakukan pembaharuan perkawinan dan kanonik.
    Bagaimana dengan hal demikian, karena pihak Katolik ingin sekali bisa menerima komuni sementara menghadapi pasangannya (non-Katolik) yang tidak mau mengurus secara Gereja?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here