Setelah Ekaristi Imlek 2569

227
Ilustrasi: misa Imlek di paroki Toasebio, Jakarta Barat pada Jumat, 16/2 lalu (foto: HIDUP/ A.Bilandoro)
2.7/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Menarik mengamati dan menikmati kemeriahan perayaan imlek, khususnya perayaan imlek tahun ini, imlek 2569. Imlek dari masa ke masa selalu membawa makna dan harapan yang kontekstual dengan kehidupan berbangsa. Meskipun makna akan harapan imlek selalu menyesuaikan dengan dinamika situasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tetapi selalu ada lambang, atribut serta kegiatan yang selalu sama dari masa ke masa. Lambang, atribut dan kegiatan sehubungan imlek tersebut bersifat universal, artinya memiliki makna yang ditafsirkan sama di seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia saja.

Simbol yang selalu lekat dengan imlek adalah penggunaan shio pada tahun baru imlek, misalnya tahun ini adalah tahun anjing beserta prediksi peruntungan dan kehidupan mengenai shio yang lain. Ini menandakan bahwa hidup selalu berubah dan kita harus melakukan sesuatu untuk menyikapi perubahan.

Makna universal lainnya adalah terkait lilin. Lilin menggambarkan harapan di tahun selanjutnya dan ucapan syukur untuk memulai tahun yang baru. Fenomena lain yang menarik adalah di banyak sentra perekonomian selalu ada fortune teller corner, para ahli kwamia selalu memberikan hipotesis tetapi yang memastikan adalah Tuhan dan tidak ada bala yang tidak bisa ditolak kecuali Tuhan menghendaki, maknanya adalah berusaha keras dan berserah pada Tuhan yang menentukan segalanya dan masih banyak fragmentasi imlek lainnya.

Makna dan harapan dari kegembiraan perayaan imlek dapat ditafsirkan secara kontekstual. Kontekstual perayaan imlek artinya momentum-momentum yang mengiringi harapan pada perayaan imlek tersebut. Memahami harapan setelah perayaan imlek jauh lebih penting ketimbang memaknai identitas imlek secara tekstual saja, misalnya membagi angpao pertanda semangat berbagi atau mendoakan leluhur itu menunjukkan bakti yang tidak terpisah dimensi ruang dan waktu. Esensi dari imlek adalah ucapan syukur atas apa yang telah dikaruniakan maupun harapan-harapan pada tahun yang baru.

Aliansi Untuk NKRI

Ketika menikmati suasana imlek 2569 kesan yang saya dapatkan adalah imlek dipandang sebagai sarana aliansi untuk kokohnya keberagaman. Siaran televisi sepanjang hari menyiarkan imlek dan kebhinekaan indonesia, hampir semua surat kabar memuat imlek dalam imlek dalam konteks keberagaman dan NKRI.

Ketika mencoba mencari alternatif chanel lain di televisi, saya berhenti pada acara masak-memasak dan ternyata tema acara memasak tersebut adalah cara menyajikan masakan peranakan dengan set meja makan peranakan. Ketika saya sedang bersantap di sebuah restoran nampak barongsai dengan pemain barongsai yang beragam etnis dari Indonesia. Itu semua artinya stigma berdasarkan stereotype sudah berangsur menghilang (semoga).

Kembali pada memahami harapan imlek 2569 secara kontekstual bahwa momentum imlek 2569 dimanfaatkan oleh banyak pemangku kepentingan dengan agenda rekonsiliasi kebhinekaan untuk membangun kokohnya keberagaman demi tegaknya NKRI.

Secara kontekstual harapan yang dibangun dan hendak diwujudkan setelah perayaan imlek 2569 adalah aliansi kebangsaan yang kokoh. Aliansi kebangsaan dapat dimaknai sebagai kumpulan baik orang-perorangan, kelompok yang memiliki sumberdaya untuk bersedia terlibat aktif mengambil peran atau menjalankan fungsi dan tugas kebangsaan dalam membangun dan merekonsiliasi NKRI kembali pada rohnya.

Isu intoleran baik yang by design maupun tidak, hiruk-pikuknya tahun politik mulai level Bupati, Walikota, Gubernur hingga Pilpres dan perilaku hedonisme yang menyertai bangsa ini memang sebuah ancaman yang tidak laten lagi.

Momentum imlek 2569 secara kontektual merupakan reminder akan kebersamaan dalam menjaga NKRI, bukan agenda politik dan pragmatis semata. Mencermati data Badan Pusat Statistik per tahun 2017 jumlah etnis tionghoa di Indonesia adalah sekitar 1,5 % dari total seluruh penduduk Indonesia dan sekitar 35 %nya adalah generasi milenial.

Generasi millenial dapat menjadi mitra yang strategis pada fungsi solidaritas nasional dalam kebhinekaan. Generasi millenial merupakan pribadi yang pandai bersosialisasi yang fasih internet serta pengguna media sosial utama dalam struktur demografis.

Pemerintah dapat menjadikan momen imlek ini untuk meletakkan generasi millenial sebagai agent of change (agen perubahan) karena generasi millenial umumnya selain percaya diri, luwes juga mampu berpikir out of the box, generasi ini kaya akan ide-ide kreatif yang konstruktif.

Momen untuk mengoptimalkan generasi millenial karena generasi millenial merupakan generasi yang paling objektif dengan didukung kekuatan karakter yang menjadi ciri generasi millenial. Dalam konteks imlek dan kebhinekaan, generasi millenial relatif tidak mengalami represi sosial maupun pengalaman asosiasi psikopolitis yang kurang baik.

Konteks harapan imlek 2569 adalah Think Globally dalam kaitannya dengan imlek generasi millenial diharapkan dapat memahami nilai-nilai universal prosesi imlek sehingga dengan masih terjaganya tradisi baik akan membentuk karakter bangsa di masa yang akan datang dengan platform Bhineka Tunggal Ika.

Act Locally artinya generasi millenial diharapkan dengan karakternya pada perayaan imlek dapat menjadi penggerak bagi generasi X,Y bahkan baby boomers untuk memaknai kebhinekaan dengan menanggalkan pengalaman buruk terkait represi sosial di masa yang lalu .

Meninggalkan Budaya Alienasi

Harapan perayaan imlek secara kontekstual ini, nampak dari sambutan para tokoh pada acara perayaan imlek yakni kebersamaan, kebhinekaan dan NKRI yang merangkul semua komponen tanpa kecuali. Dapat dipahami budaya aliansi yang dibangun pemerintah ini merupakan langkah korektif atas budaya alienasi yang dibangun pada masa rezim orde baru.

Penelitian Amy Freedman dari Franklin and Marshal College Amerika Serikat pada 2015 menyimpulkan bahwa kebencian terhadap identitas etnis Tionghoa yang merusak persatuan dan identitas keberagaman bangsa merupakan hasil politik pecah-belah orde baru yang menggunakan teori lama kolonial.

Di dalam laporan penelitian oleh Amy Freedman yang berjudul Political Institution and Etnic Chinese in Indonesia, disebutkan bahwa orde baru memaksa masyarakat Tionghoa untuk melakukan asimilasi sembari mengidentifikasi mereka bukan pribumi.

Memang dapat dipahami bahwa bukan seratus persen dis-integrasi diciptakan orde baru dengan harapan politiknya masa itu tetapi orde baru tidak melakukan perbaikan atas politik pecah belah kolonial yang menyebabkan hambatan, ancaman dan gangguan terhadap kebhinekaan tidak berada pada level laten saja tetapi sudah pada level terbuka dan alienasi.

Kebijakan represif yang bertujuan alienasi misalnya Melalui Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, Pemerintah melarang perayaan imlek dilakukan secara terbuka dan pada diktum kedua Inpres tersebut bahwa perayaan imlek hanya boleh dilakukan dalam lingkup keluarga saja.

Saat ini dengan serangkaian perbaikan kebijakan pemerintah, harus diapresiasi bahwa alienasi berdasarkan stereotype dan etnis tidak berada dalam level terbuka tetapi hanya pada level laten (konflik secara tertutup).

Memahami harapan perayaan imlek 2569 ini adalah meninggalkan alienasi, ini tepat karena tahun ini adalah tahun politik dan politik pragmatis yang belakangan manjur untuk digunakan adalah politik identitas yang akan memporak-porandakan kebhinekaan bangsa karena akan membuat eskalasi konflik dari level laten menuju pada konflik terbuka mengingat pada politik identitas adalah mengagungkan identitas tertentu dan menyerang identitas lainnya.

Harapan kontekstual perayaan imlek adalah terbentuknya perekat sosial berdasarkan nilai-nilai keberagaman, sehingga konflik pada level laten akan berangsur menjadi keterbukaan untuk menerima identitas lain yang berbeda dalam NKRI sehingga bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang berkembang dalam kebhinekaan.

Dr.Rio Christiawan (Penulis adalah Dosen Filsafat, tinggal di Jakarta)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here