Tetap Komuni Meski Beristri Dua

3465
3.7/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Hallo Romo Erwin, ada satu umat lingkungan saya, seorang pria Katolik yang sudah menikah sah secara Katolik dengan perempuan Katolik juga, ternyata mempunyai istri lain di luar pernikahannya yang sah tersebut. Wanita simpanannya itu sudah menjadi rahasia umum, diketahui oleh banyak orang. Tapi, pria tersebut tetap pergi ke gereja dan menyambut Komuni tanpa mengaku dosa. Bagaimana ini, Romo?

Adrianus, Malang

Bapak Adrianus yang baik, terima kasih untuk pertanyaan Anda terkait penerimaan Komuni bagi orang yang tak pantas atau terhalang secara Hukum Kanonik. Memang benar apa yang Anda sampaikan adalah sebuah kesalahan dan pelanggaran bagi pelakunya. Dia tak dapat menerima Komuni karena beristrikan perempuan kedua.

Dalam arti ini, saya mengandaikan bahwa pertanyaan Anda berarti pria tersebut menikah untuk kedua kalinya, karena Anda menyebut “istri” untuk perempuan kedua.

Seorang pria Katolik atau bukan Katolik, jika telah menikah secara Katolik, maka tak dapat menikah lagi dengan cara apapun juga. Seorang bukan Katolik, yang menikah seagama juga tak dapat menikah lagi dengan seorang Katolik. Jika dia menikah lagi, maka syaratnya adalah pasangan sudah meninggal atau telah menerima surat pembatalan nikah.

Membatalkan pernikahan pertama dapat dilakukan bila ada alasan mendasar, misal impotensi tetap yang diderita pasangan sejak sebelum menikah, pasangan yang ternyata pernah menikah sebelumnya, homoseksualitas pasangan, atau kelainan jiwa yang sangat mengganggu kehidupan perkawinan kedua pihak.

Tanpa itu semua, pernikahan kedua menyebabkan ekskomunikasi bagi pelaku dan akan dilarang untuk menerima komuni dan menerima Sakramen-sakramen, kecuali Sakramen Tobat. Sakramen Tobat dapat diterima, jika pihak berdosa mau mengakui dosanya dan meninggalkan pasangan kedua yang dinikahinya secara tidak sah. Artinya, harus ada bukti pertobatan itu.

Sebagai seorang Katolik, Anda mempunyai pikiran yang benar tentang dosa, tetapi jangan main hakim sendiri di dalam gereja, seperti menahan, meneriaki, melarang orang itu untuk menerima, sementara dia sedang menerima Komuni Suci. Di beberapa keuskupan, larangan ini dilakukan, sehingga orang dapat diteriaki, dipegangi, dan dilarang di hadapan publik menerima Komuni Suci tanpa izin dan pengesahan pihak Gereja.

Anda melakukan hal yang secara teoritis benar, tetapi secara sosial dan pastoral, masih perlu direnungkan. Kita berpegang pada Hukum Gereja karena percaya bahwa hukum akan mengantar kita kepada kebenaran dan hidup bersama yang lebih baik. Maka tindakan kita harus membawa hasil juga bagi semua orang yang berada di tempat itu. Kita memakai hukum kasih.

Di Jakarta, melarang orang menerima Komuni ketika sedang mengantre, tidak diizinkan, karena semua orang yang meminta Komuni dianggap merindukan Tuhan. Dia tahu bahwa dirinya bersalah, tapi kita perlu mewartakan, bahwa Allah itu Mahabaik bagi siapa saja, termasuk orang berdosa. Injil Matius 5:45 mengatakan, “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.”

Ketika seorang meminta Komuni, tentu dia tahu perbuatannya salah. Dia tentu tahu dirinya sedang berhalangan. Tetapi dia merasa rindu menerima Tubuh Kristus, sehingga dorongan itu membuatnya melanggar hukum. Ingatlah bahwa hukum yang kita pakai juga adalah hukum Allah, hukum kasih, bukan hanya buatan manusia belaka.

Kita harus memberi kesempatan orang itu, merasakan kasih Allah melalui Gereja. Usai Misa, barulah kita mengingatkannya dengan jelas bahwa dia tak layak menerima Komuni Suci, tapi kita menghargai kerinduannya. Sampaikan kepadanya untuk menghubungi pastor paroki untuk diajak berdiskusi menangani masalah iman dan perkawinannya. Semoga ini membantu.

Alexander Erwin Santoso MSF

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here