Sant ‘Egidio Labuan Bajo : Komunitas Benteng Modernitas

322
Beberapa anggota Sant' Egidio sedang bermain dengan ABK di Panti MOP.
[NN/Dok.Pribadi]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – “Kaum muda perlu membentengi diri dengan spirit yang kokoh. Agar peka bagi kaum yang kecil dan terpinggirkan”

Labuan Bajo, Sebuah Kota kecil di pesisir Flores Barat. Kota inilah yang menjadi ibu kota Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Wisatawan yang mancanegara maupun lokal terus memburu tempat ini untuk melepas penat. Kota ini tak pernah sepi pengunjung. Kota ini menjadi tempat transit wisatawan yang ingin menyeberang ke Pulau Komodo.

Di balik itu, dengan perkembangan Kota Labuan perlahan-lahan menyisihkan cerita getir yang mencemaskan. Maria Yemato Yenjeli Asmat melihat perkembangan itu nantinya akan menjadi berkat sekaligus kutukan.

Keprihatinan inilah yang mendorong Yen begitu akrab disapa, akhirnya membawa Komunitas Sant’Egidio ke Kota Labuan Bajo. Berkat Yen, komunitas yang didiran Andrea Riccardi di Roma, Italia tahun 1968 ini juga hadir di kota yang terletak di sebelah Barat Pulau Flores ini.

Berkat dan Kutukan
Arus modernitas sudah mulai terlihat di tengah perkembangan kota. Yen menjelaskan, kemajuan ini akan menjadi berkat apabila membawa kesejahteraan. Sebaliknya, ini berarti kutukan, apabila membawa pengaruh buruk bagi kehidupan masyarakat.

Yen berharap, spiritualitas Sant’Egidio mampu menjawab kegelisahan generasi muda. Lewat Sant’Egidio, anak muda dapat mengembangkan diri dan membentengi diri saat berhadapan dengan godaan-godaan yang berkembang seiring dengan pesatnya pembangunan di Labuan Bajo. “Kami sebagai kaum muda ingin membentengi diri dengan spirit yang kokoh. Untuk itulah Sant’Egidio perlu hadir. Akan ada ketimpangan dan efek sosial terutama bagi yang kecil dan terpinggirkan,” ungkapnya.

Permenungan Yen tidak berhenti dalam dirinya. Ia mulai menularkan ke beberapa temannya. Awalnya, ia hanya bisa mengumpulkan lima orang saja. Kepada lima orang itu, ia menceritan pengalamannya bersama Sant’Egidio di Kupang. Kesaksiannya membakar semangat kelompok lima ini untuk melebarkan sayap Sant’Egidio Labuan Bajo.

Tanpa tedeng aling aling, mereka menghadap Pastor Paroki Maria Bunda Segala Bangsa Wae Sambi, Pastor Ardi Obot. Mereka menyampaikan maksud kedatangan mereka. Hati mereka resah karena pastor paroki masih menanggapinya dengan dingin. Pastor Ardi mempersoalkan legalitas dan administrasi komunitas tersebut.

Mereka tidak surut, Yen dan kawan-kawannya terus melakukan pertemuan untuk berdiskusi dan meminta arahan serta nasihat pastor paroki. Dengan tenaga yang tersisa, mereka berkumpul dan berdoa bersama di ruang Legio Maria di paroki. “Kami memahami kekhawatiran pastor paroki, karena setiap komunitas yang bertumbuh di sana harus disaring. Kami melewati tahap itu.”

Kerinduan mereka untuk menghadirkan Sant’Egidio di Labuan Bajo semakin membara. Pastor Ardi mulai melebarkan senyum. Pintu paroki dibukakan untuk mereka.

Mata muda-mudi itu mulai berkaca-kaca. Komunitas Sant’Egidio yang mereka perjuangkan terbentuk secara resmi pada 6 Mei 2017. Saat itu pula berbagai pelayanan mulai dilaksanakan.

Yen menjelaskan, kehadiran, Sant’Egidio Labuan Bajo lahir karena dukungan dari Sant’ Egidio Pusat dan Kupang. Ia mengibaratkan, Sant’Egidio Labuan Bajo sebagai Pucuk yang baru bertumbuh.“ Sant’Egidio adalah Pohon yang kokoh dan kami adalah pucuk yang bersemi sebagai bagiannya. Kami yakin bahwa dari situlah nantinya akan bermekaran bunga-bunga dan buah-buah karya.”

Sejak itu, Sant’Egidio langsung “tancap gas”. Mereka membuat berbagai kegiatan khas seperti yang dilakukan Sant’Egidio di kota-kota lain. Semua bersumber pada spirit Sant’ Egidio. “Semangat Sant’Egidio adalah kebersamaan. Kami tidak boleh berjalan sendiri, kami selalu berkomunikasi dengan Sant’Egidio di kota-kota lain,” kata Yen.

Salah satu penanggung jawab Sant’Egidio Indonesia, Eveline Winarko membenarkan, kehadiran Sant’Egidio penting sebagai sumber spirit bagi anak muda. Ia melanjutkan, Labuan Bajo menarik tak hanya karena wilayahnya yang eksotis tapi karena menjadi salah satu basis Gereja Katolik di Indonesia. “Kami juga berinisiatif untuk terus memantau seluruh perkembangan komunitas ini.”

Mulai Berlayar
Sejak Sant’Egidio mulai menjejakan kaki di Labuan Bajo, anggota yang pada awalnya berjumlah lima orang, kini terus berkembang hingga menjadi belasan. Spiritualitas Sant’ Egidio mulai diperkenalkan, seperti doa, firman, dan kemiskinan. Komunitas ini mulai berinisiatif meminta kepada paroki agar dilaksanakan misa kaum muda terutama setiap Sabtu Sore, Minggu pertama dan ketiga.

Komunitas ini mulai “membuka layar” untuk pelayanan. Mereka mengunjungi panti yang merupakan karya dari Misionaries Option the Poor (MOP). Di sana, mereka memberi pelayanan kepada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Benediktus Betong, salah satu anggota aktif mengungkapkan, kegiatan dilaksanakan dari jam empat hingga setengah enam sore. “Di sana kami melakukan banyak hal seperti belajar dan bermain bersama. Mengenal huruf, angka dan bernyanyi.”

Jumlah ABK yang dampingi ada 17 orang. Anak-anak tersebut memiliki kebutuhan yang berbeda seperti anak tunanetra, tunarungu, dan tunawicara. Perjumpaan awal dengan ABK merupakan saat yang menegangkan. “Kami tampak kaku meski sekadar menyapa. Kami berkenalan lebih dalam, menyapa mereka hingga pada akhirnya mereka bisa menerima kami apa adanya. Mereka bisa memanggil nama kami merupakan sesuatu yang luar biasa,” kenangnya.

Yen menambahkan komunitas juga melakukan pelayanan di biara Kkottongnae. Di biara ini, Sant’Egidio membantu pelayanan kepada lansia. Sant’Egidio datang membawa empati dan solidaritas kepada lansia. “Pernah kami mengajak seorang oma yang malas mandi. Kami merayunya untuk memandikannya. Ia memiliki gangguan jiwa namun pada akhirnya ia menuruti kami. Itu merupakan pengalaman berharga bagi kami,” bebernya.

Membagi Warisan
Evi mengungkapkan usia Sant’Egidio di dunia telah mencapai 50 tahun. Dalam usia emas tersebut kehadiran komunitas Sant’Egidio Labuan Bajo merupakan komunitas yang termuda. Meskipun masih belia, Sant’Egidio Labuan Bajo harus tetap mempertahankan warisan Sant’Egidio.

Warisan tersebut harus dibagikan terutama soal semangat doa, firman dan hidup miskin. Selain itu warisan persahabatan dan persaudaraan yang sejati adalah persahabatan dan persaudaraan di dalam Tuhan. “Oleh karena itu mereka menjabarkan semangat ini dalam cara hidupdan pelayanannya yaitu untuk menggalang persatuan dan kesatuan,” jabarnya.

Dengan semangat itu, Sant’Egidio mampu merealisasi persahabatan dan persaudaraan dengan berbagai bangsa, agama dan aliran, yang mereka sebut sebagai persatuan di sekeliling Tuhan. Terutama juga pelayanan terhadap kaum miskin, papa dan tertindas.

Willy Matrona

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here