Sr Stanisla Kurniasih PMY : Belajar dari Anak Difabel

442
Mendampingi: Sr Stanis sedang bercengkerama dengan anak berkebutuhan khusus.
[NN/Dok.Pribadi]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Mendidik dan mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus menjadi panggilan hidupnya. Ia bersyukur dan merasa bahwa merekalah guru baginya.

Selama 18 tahun, Sr Stanisla Kurniasih PMY mengabdikan hidupnya menjadi pendidik anak-anak difabel atau anak-anak berkebutuhan khusus. Menurutnya, mendidik dan mendampingi anak difabel menjadi salah satu caranya untuk melayani Tuhan.

Sr Stanis –demikian sapaannya– mengungkapkan, pengalaman bersentuhan dengan anak-anak difabel itu menjadi pengalaman yang memberinya kesempatan untuk tak henti belajar. Ia belajar bagaimana mendampingi anak-anak itu, mencintai tanpa pamrih dan tanpa menuntut balasan, belajar rendah hati serta mengandalkan Tuhan dalam setiap langkah.

Sr Stanis mengaku, bukanlah perkara mudah dalam mendidik dan mendampingi mereka. Berbagai tantangan pun menghampirinya. Kadangkala Sr Stanis merasa tidak mengetahui apa yang diinginkan atau dibutuhkan anak-anak ini. Hal itu juga berkaitan dengan keterbatasan komunikasi dan masalah emosional yang mereka hadapi.

Namun Sr Stanis tetap bersyukur atas semua pengalaman yang ia rasakan. Ia percaya, tugas perutusannya merupakan panggilan Tuhan atas dirinya. “Saya yakin, Tuhan memanggil saya lewat diri anak-anak difabel. Dalam diri anak-anak itulah, Tuhan hadir… dalam diri mereka yang ‘miskin’,” ujar biarawati kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 13 November 1972 ini. Semangat melayani orang-orang kecil dan miskin ini pun seiring dengan teladan St Vinsensius, pelindung karya Kongregasi Putri Maria dan Yosef (PMY).

Panggilan Hidup
Ketika menerima Komuni Pertama saat kelas 4 SD, ketertarikan menjadi seorang biarawati singgah di hati Stanis kecil. “Waktu itu, saya melihat seorang suster sedang berjalan di depan saya. Saya ingin menjadi seperti beliau,” kisahnya.

Menginjak remaja, Stanis yang bersekolah di SMP Kanisius Raden Patah, Semarang ini terkesan dengan Sr Bernadette PMY dan kisah yang ia ceritakan. Pada waktu itu, Sr Bernadette menjadi guru Bimbingan dan Konseling (BK). Sr Bernadette sering menceritakan mengenai anak-anak tuna rungu yang ada di Wonosobo, Jawa Tengah.

“Meskipun belum mengenal anak-anak ini, ada perasaan ‘tertarik’ dalam diri saya untuk berada di sana bersama mereka. Saya tidak tahu mengapa,” ungkap Sr Stanis. Namun ketertarikan itu hanya tersimpan di hatinya.

Stanis pun melanjutkan pendidikan ke SMA Don Bosco, Semarang. Dalam perjalanan waktu, Stanis teringat dengan Sr Bernadette dan kisah mengenai anak-anak berkebutuhan khusus yang pernah diceritakannya. Ia ingin berkunjung ke Susteran PMY di Wonosobo dan bertemu anak-anak berkebutuhan khusus itu.

Bersama dengan seorang teman, Stanis diantar Sr Iendrawati PMY untuk berkunjung ke Wonosobo dengan naik bus umum. “Saat di Wonosobo (Kompleks SLB/B Dena-Upakara –Red), mata hati saya terbuka akan dunia pendidikan bagi anak-anak tuna rungu. Sepertinya ada panggilan yang tertanam dalam batin saya,” ujar sulung dari tiga bersaudara ini.

Ketika tinggal di Semarang bersama orangtuanya, Stanis tak pernah bertemu dengan anak berkebutuhan khusus. “Jadi, pengalaman saya bertemu anak-anak tuna rungu di Wonosobo membuat saya‘terpikat’. Meski saya hanya semalam di sana, pengalaman itu memberi sesuatu yang begitu berkesan bagi saya,” tuturnya. Panggilan untuk menjadi biarawati pun kembali mengetuk hatinya. Sejak kecil, orangtuanya sudah memperkenalkan kebiasaan berdoa dan mengajaknya untuk terlibat dalam kegiatan di lingkungan maupun wilayah. Menginjak usia remaja, Stanis juga terlibat dalam komunitas Muda-Mudi Katolik (Mudika) dan aktif dalam Legio Mariae Presidium Benteng Daud, Paroki St Yusuf Gedangan, Semarang.

Setamat SMA, Stanis kemudian mengikuti pendidikan sebagai calon suster PMY di Wonosobo. Kala itu, usianya baru menginjak 19 tahun. Keputusan Stanis menjadi biarawati tak mendapat dukungan sang ibu. “Ibu saya marah besar begitu mengetahui saya menjadi seorang suster. Maklum, saya adalah anak pertama dalam keluarga dan perempuan satu-satunya. Dua adik saya adalah laki-laki. Dan satu adik saya meninggal ketika saya masuk yunior,” kenang Suster yang mengikrarkan kaul pertamanya pada 7 Juli 1995 ini.

Namun, hal itu tak menyurutkan langkah Sr Stanis untuk menjawab panggilan Tuhan. Dukungan sang ayah turut menguatkan panggilannya. Seiring waktu bergulir, akhirnya sang ibu pun merestuinya menjadi seorang biarawati ketika ia mengikrarkan kaul kekal pada 7 Juli 2001.

Sejak mengikrarkan kaul pertama, Sr Stanis mendapat tugas perutusan di Asrama SLB/B Dena-Upakara, Wonosobo tahun 1995. Selang setahun hingga sekarang, ia diminta untuk menjadi guru di SLB/G-AB Helen Keller Indonesia, Wonosobo –yang kemudian pindah ke Yogyakarta sejak 1997 sampai sekarang– dan guru SLB/B Dena-Upakara, Wonosobo. Di dua sekolah ini, ia mengabdikan diri pada tahun-tahun berikutnya untuk mendidik dan mendampingi anak-anak tuna rungu, tuna netra, tuna wicara, anak-anak keterbelakangan mental, dll.

Pada Juli 2014, Sr Stanis mendapat tugas baru sebagai guru di SLB St Marry Baucao, Timor Leste. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah yang dikelola para suster PMY di bawah naungan Yayasan Dena- Upakara. Peresmiannya pun baru dilakukan pada 19 Maret 2014 lalu.

Senantiasa Bersyukur
Bagi Sr Stanis, mendampingi dan melayani anak-anak berkebutuhan khusus merupakan suatu panggilan khusus. “Saya merasa bersyukur karena boleh mengambil bagian dalam karya kongregasi ini. Banyak hal saya dapatkan. Saya belajar dari anak-anak itu…belajar untuk melihat kasih Tuhan dalam diri mereka, belajar mengasihi tanpa pamrih, dan belajar rendah hati karena kadangkala saya juga tidak tahu apa yang harus saya kerjakan atau lakukan dalam mendampingi anak-anak itu. Merekalah guru saya, sehingga saya juga semakin berkembang dalam pelayanan,” beber Sr Stanis.

Salah satu pengalaman yang berkesan selama ia mendampingi anak berkebutuhan khusus ialah ketika ia mendapati seorang anak tuna netra bernama Lia yang berdoa di depan patung Bunda Maria, “Ibu Maria, saya ingin melihat Sr Stanis itu seperti apa ya?”

Mendengar hal itu, Sr Stanis tak kuasa menahan perasaan haru. “Saya bersyukur anak-anak mencintai saya seperti halnya saya mencintai mereka. Lewat Lia, saya juga semakin menyadari untuk senantiasa mensyukuri hidup ini. Saya yang selama ini diberi mata sempurna malah tidak bersyukur,” katanya.

Baginya, anak-anak difabel ini adalah anugerah Tuhan. Berbagi hidup dengan anak-anak itu memberikan kebahagiaan tersendiri bagi alumna Diploma in Special Education, Clarke School for The Deafblind, Chennai, India ini (2004- 2005). Melalui mereka, Sr Stanis juga merasa semakin dekat dengan Sang Pencipta Kehidupan. Ia menyadari, dirinya pasti tak mampu menjalani karya perutusan hanya dengan mengandalkan kemampuan dirinya semata. “Saya juga tergantung pada Allah. Tanpa Dia, saya tidak mampu berbuat apa-apa,” tandas lulusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Sarjana Wiyata Yogyakarta ini.

Suster yang menghayati motto “Kita dipanggil bukan untuk sukses, tetapi untuk setia” ini, berharap agar anak-anak berkebutuhan khusus tidak dianggap sebagai beban keluarga. Ia pun menaruh harap supaya anak-anak berkebutuhan khusus ini mampu mandiri sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan mereka. Sr Stanis menambahkan, “Saya percaya, di balik kekurangannya, Tuhan memberikan karunia khusus dalam diri mereka. Semoga mereka dapat bersinar sesuai dengan talenta mereka masing-masing.

Ivonne Suryanto/Maria Pertiwi

HIDUP NO.16 2014, 20 April 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here