Penantian yang Tak Pasti

306
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Tempat parkir terlihat sepi. Tidak seperti biasanya. Sampah-sampah plastik berserakan mewarnai area sekitar. Aku mencoba berhenti dengan sepeda kesayanganku. Di sana aku hanya berjumpa dengan beberapa petugas dan penjual yang sedang membersihkan halaman kios.

Tempat yang kumaksud adalah sub-terminal Condong Catur, Sleman. Terminal ini sedikit berbeda dengan terminal lainnya di daerah Yogyakarta yang banyak didatangi penumpang dan bus besar maupun kecil. Ukurannya kurang lebih 100 m x 50m. Terdapat 3 halte yang tidak terlalu besar. Satunya khusus untuk bus Trans Yogyakarta. Di tengah ketiga halte tersebut terdapat pos penjaga dan toilet umum.

Pagi yang cerah dengan terbitnya matahari menandakan akan adanya aktivitas di area terminal. Kios-kios dan warung-warung yang mengapit tempat itu belum semuanya buka. Baru beberapa kios yang sudah buka. Sebuah bus tua berada di area parkiran. Gambar luarnya sangat khas Daerah Istimewa Yogyakarta. Gunung Merapi, candi-candi dan alam yang sangat hijau mewarnainya.

Aku duduk di sebuah halte terminal itu. Aku memandang ke dalam bus dan ternyata ada seorang bapak sedang menikmati sebatang rokok. Ia terlihat sangat santai sambil membaca koran. Batangan rokok yang ia nikmati perlahan-lahan semakin pendek. Tak lama kemudian, ia mulai menguap. Hal itu terjadi beberapa kali. Ternyata ia adalah sopir dari bus tua itu. Ia menunggu penumpang sampai dirinya tak sadar dalam tidurnya. Pagi yang sejuk membuatnya ngantuk, sampai ketiduran.

Melihat itu, aku merenung bagaimana rasanya menunggu seseorang maupun sesuatu dalam hidup ini. Aku terdiam dan termenung. Rasa simpatikku muncul. Aku membayangkan jika bapakku juga sepertinya. Sejam berlalu, ia bangun, keluar dari bus dan duduk di dekatku. Ia mengambil lagi sebatang rokok untuk dinikmatinya. Ia juga menawarkan kepadaku sebatang rokok.

“Mas merokok?” katanya.

“Tidak Pak,” sambungku dengan senyuman.

Lima menit kami terdiam tanpa mengeluarkan satu kata pun. Wajahnya tampak keriput dan tua semakin mengingatkanku dengan orang tuaku yang jauh di sana. Betapa luar biasanya ia memilih pekerjaan ini. “Mengapa tidak yang lain?” kataku dalam hati.

Tiba-tiba dia bersuara mengajakku ngobrol.

“Mas mau ke mana?” katanya.

“Nggak ke mana-mana Pak, cuma ingin istirahat sejenak dan menikmati pagi di terminal kecil ini. Mungkin akan mendapatkan inspirasi hidup di sini,” tegasku.

Ia mengangguk-angguk sambil terdiam. Tampaknya ia mengerti maksudku. Ia pasti mengharapkanku menumpangi bus tuanya. Rokok sebatang yang masih tersisa, terus dinikmatinya dengan ekspresi yang cukup bahagia.

Aku seperti memiliki teman ngobrol yang asyik. Meskipun sudah tua, ia sangat sopan ketika berkata-kata kepadaku yang umurnya sangat berbeda. Sesekali ia tersenyum dengan wajah keriput dan pipi lesungnya.

“Bapak, namanya siapa dan asalnya dari mana?” kataku dengan lembut.

“Namaku Parno, aku orang Sleman, Mas. Rumahku di jalan Kaliurang KM 9,” jawabnya.

“Kalau Mas, namanya siapa dan asli mana ya?” lanjutnya.

“Bapak panggil saja Mario, aku asli dari Flores, NTT. Aku sedang kuliah di Universitas Sanata Dharma,” jawabku.

“Oh gitu ya Mas. Tapi wajahmu tampak seperti orang Jawa loh. Namun ketika Mas berbicara itu sangat khas dialek Timornya. Aku juga punya banyak teman sopir dari NTT. Mereka sangat baik dan suka membantuku jika aku mendapat kesulitan. Mereka orangnya kasar ketika berkata, tapi hatinya sangat lembut,” tegasnya.

Ketika kami sedang bercakap-cakap, bus tua lainnya tiba diterminal tanpa seorang penumpang pun. Suara sandal dan sepatu yang menyeret di atas lantai halte menjadi instrumen percakapan kami. Orang-orang itu hanya lewat dan berhenti sejenak. Tampaknya Pak Parno tidak peduli dengan mereka yang lewat di depannya dan juga yang duduk di sampingnya.

Ia kembali mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya yang berwarna merah. Kemudian ia melanjutkan percakapan denganku sambil menikmati rokoknya.

“Mas, sudah berapa lama di Yogyakarta dan tinggalnya di mana?” lanjutnya sambil mengeluarkan asap rokoknya.

“Sudah 3 tahun di Yogyakarta. Kuliahku tinggal setahun lagi Pak. Mudah-mudahan bisa selesai dengan baik. Aku tinggalnya di Pojok Pak. Kenapa Bapak memilih untuk menjadi sopir? Padahal jika dilihat dari wajah dan fisik sepertinya Bapak sudah berumur 60-an tahun,” tanyaku.

“Jadi begitu ya, Mas Mario. Mudah-mudahan kuliahnya berjalan lancar dan semoga Tuhan memberikan berkat kepada Mas dalam prosesnya,” lanjutnya, langsung diam.

Wajahnya tampak sedih dan merenungkan pertanyaan terakhirku tadi. Aku merasa bersalah, karena telah menanyakan hal itu kepadanya.

“Salahkah aku menanyakan hal itu Ya Tuhan?” kataku dalam hati.

Aku pun terdiam dalam rasa bersalahku. Pak Parno meneteskan air matanya. Perasaanku semakin tak nyaman dengan apa yang terjadi dengannya. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan untuk membawa kembali suasana itu ke semulanya. Aku tertunduk dan bingung. Beberapa menit kemudian aku melihat Pak Parno menghapuskan air mata yang berlinang di pipinya. Ia menjawab pertanyaanku dengan tersedu-sedu.

“Ya, memang benar Mario. Aku sudah berumur 61 tahun. Ini pekerjaanku satu-satunya yang dapat menghasilkan uang dan menghidupi anak-anakku. 25 tahun sudah menjadi supir dan tak pernah merasa bosan dan lelah. Aku sudah lama ditinggalkan isteriku yang meninggal 10 tahun yang lalu kala anak-anakku masih sekolah di bangku SD dan SMP. Betapa sakit hatiku, tapi aku harus mampu melewati itu semua dengan selalu berharap pada Tuhan. Sejak saat itu aku harus berusaha untuk mencari uang untuk kebutuhan hidup kami sehari-hari dan juga membiayai sekolah sampai tamat SMA.”

“Anakku yang pertama namanya Toni, ia meninggalkan rumah 8 tahun silam. Ia kecewa denganku karena tak mampu membiayainya kuliah. Sejak itu ia tak pernah kembali. Aku sangat merindukannya, tapi apa boleh buat. Aku tak punya apa-apa untuk mencarinya. Rindu itu hanya mampu kuucapkan dalam doaku setiap malam dan penantianku padanya.”

Aku tak tahu apa yang bisa kulakukan. Aku sangat terharu dengan kisah itu. Air mataku jatuh tanpa kusadari.

“Nak, kenapa kamu menangis?” Tanya Pak Parno.

“Nggak kok, Pak,” kataku lembut.

“Coba kamu pegang dan rasakan pipimu. Pasti jarimu akan basah dengan air mata,” tegasnya.

“Saya terharu dengan kisah Bapak,” jawabku.

Wajah Pak Parno tampak sedih, aku mencoba melayangkan pertanyaan baru yang mungkin bisa menghilangkan suasana itu. Kami berdua masih tak peduli dengan orang-orang yang lalu-lalang di area halte terminal.

“Pak nggak bosan dan jenuh menunggu penumpang selama ini?” tanyaku.

“Tidak Mas, aku tak pernah bosan dan jenuh untuk menunggu sebuah rejeki yang halal. Lama tak menjadi soal bagiku Mas yang terpenting aku mendapat uang halal dari pekerjaanku, bukan mencuri. Memang menunggu adalah sesuatu yang membosankan dan penantian yang tak pasti. Untuk mendapatkan sesuatu yang pasti kita butuh menguras tenaga. Dengan demikian dalam diriku, aku telah menanamkan prinsip hidup bahwa penantian yang tak pasti itu akan mendapatkan kepastian di suatu waktu,” tegasnya sambil tersenyum manis.

Aku melihat wajah Pak Parno kembali tersenyum. Keadaan ini membuat hatiku menjadi lebih tenang. Pak Parno mulai melirik ke arah orang yang sedang lalu-lalang di dekatnya. Namun tak ada tanda-tanda seorang pun yang akan menumpangi busnya. Aku hanya bisa memandangnya dengan terharu dan belas kasihan. Tak lama kemudian, ia melanjutkan
pembicaraannya. Kali ini ia mengeluarkan kata-kata nasihat kepadaku.

“Mas Mario, kamu itu jauh-jauh dari NTT untuk kuliah di Yogyakarta. Kamu tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Karena orangtuamu pasti mengharapkan anaknya sukses. Tak ada satu pun orang tua yang menginginkan anaknya jadi gelandangan maupun penjahat. Mungkin hal ini terjadi karena faktor ekonomi keluarga yang tak mampu seperti Bapak. Kamu harus membawakan harapan keluarga dengan sebuah kesuksesan.”

Penantian yang tak pasti akhirnya membawa kepastian kepada Pak Parno. Segerombolan manusia yang berjumlah kurang lebih 12 orang datang kepadanya dan menanyakan jalur bus yang dikendarainya. Ternyata tujuan mereka sama dengan jalur bus tuanya hendak ke sebuah kampung di Kaliurang.

Pak Parno tampak senang dan dengan ramah mengarahkan penumpang ke dalam busnya. Aku sempat membantunya untuk mengangkat barang-barang mereka. Bus tua itu pun meninggalkan area terminal dangan kepulan asap yang keluar dari kenalpotnya. Penantiannya yang tak pasti akhirnya terjawab.

Yono Paing CMF

HIDUP NO.06 2019, 10 Februari 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here