Masyarakat Katolik Tak Pernah Absen

377
Disaksikan Ketua Umum Yayasan Kasimo, Joseph Belawa Liwun (kiri), Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo memukul gong tanda dimulainya peringatan satu abad pergerakan masyarakat Katolik Indonesia.
[NN/Dok.Panitia]
1/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Pergerakan masyarakat Katolik Indonesia sudah berusia seabad. Bukti yang menunjukkan bahwa masyarakat Katolik tidak pernah absen dalam perjuangan bangsa.

“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Frase “pintu gerbang” dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945 ini bukanlah sesuatu yang final. Ini merupakan kelanjutan dari keringat dan darah perjuangan Indonesia sebelumnya.

Sampai saat ini, disadari bahwa kemerdekaan Indonesia adalah proses yang “belum” final. Untuk itu sejarah perjuangan bangsa, sangat penting ditempatkan dalam proses itu hingga kini.

Proklamator Indonesia Soekarno mengungkapkan, “Jangan melupakan sejarah”. Ungkapan ini mendorong agar setiap anak bangsa tidak boleh “amnesia”, apalagi pura-pura tidak tahu soal sejarah. Sebab sejarah mencatat, Indonesia merdeka bebas dari penjajah karena perjuangan para pahlawan.

Perjuangan kemerdekaan Indonesia bukanlah milik kelompok atau golongan tertentu, apalagi milik mayoritas. Kemerdekaan Indonesia merupakan buah dari perjuangan seluruh kekuatan elemen bangsa.

Gereja Katolik Indonesia sebagai bagian elemen bangsa juga tidak pernah lepas dari perjuangan ini. Gereja Katolik Indonesia merasa sebagai senasib dan sepenanggungan sehingga sama-sama berdarah-darah membela tanah air.

Menuju Kemerdekaan
Perasaan senasib dan sepenanggungan inilah yang kemudian menggugah hati sekelompok orang Katolik pribumi Nusantara mendirikan organisasi “Katolika Wandawa” tahun 1913. Perkumpulan ini bisa dikatakan imbas dari politik penjajahan. Banyak gerakan terjadi. Salah satunya, dibukanya sekolah-sekolah untuk masyarakat pribumi. Hierarki Gereja tidak ketinggalan dalam memanfaatkan momentum ini. Misi Katolik membuka Noormal School di Muntilan (1904) dan Kweek School (1910).

Sekolah-sekolah Katolik itu banyak melahirkan guru yang kemudian mengabdi sebagai pengajar di berbagai daerah. Tetapi kondisi tidaklah mudah. Mereka harus berhadapan dengan kecurigaan masyarakat bahwa orang pribumi Nusantara yang beragama Katolik adalah bagian dari para penjajah.

Karya yang menonjol selanjutnya di tahun 1923 adalah lahirnya Pakumpalan Politik Katolik Djawi (PPKD)-tahun 1930 berubah menjadi Perhimpunan Politik Katolik Indonesia (PPKI). Perkumpulan ini mengusung misi memperjuangkan aspirasi rakyat berdasarkan semangat Injil sebagai pengejawantahan dari Ensklik Rerum Novarum dan Quadragesimo Anno.

Satu misi juga yang diusung PPKI adalah menyiapkan tempat untuk persiapan Kongres Nasional Pemuda Nasional. Pembukaan sidang tanggal 27 Oktober 1928, di Gedung Pemuda Katolik Kompleks Gereja Kathedral (sekarang Lapangan Banteng). Di tempat inilah Sumpah Pemuda disusun sebagai hasil akhir rapat, termasuk uji coba menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tanggal 28 Oktober 1928, di Gedung Sumpah Pemuda, Jalan Kramat Raya dibacakan ikrar Sumpah Pemuda yang kita ucapkan saat ini.

Di masa penjajahan Jepang, semua partai politik dimatikan dan dilarang melakukan kegiatan politik. Masyarakat Katolik Indonesia terkena dampak larangan tersebut. Partai Katolik Republik Indonesia kembali dilahirkan pada November 1945 lewat Mahlumat X dari Wakil Presiden Mohammad Hatta. Saat itu Ignatius Joseph Kasimo menjadi ketuanya.

Pada awal masa kemerdekaan belum ada koordinasi wilayah satu dengan lainnya sehingga di setiap wilayah ada Partai Katolik lokal. Beberapa pengurus partai oleh presiden diangkat menjadi menteri seperti Kasimo menjadi Menteri Kemakmuran. Dan saat Seokarno dan Hatta ditawan Belanda di Bengkulu, Kasimo diangkat sebagai pejabat dengan mengambil langkah strategis menyelamatkan bangsa. Kasimo juga terlibat mewakili Partai Katolik mengikuti Konferensi Meja Bundar di Malaysia.

Gerak masyarakat Katolik terus berkembang dengan adanya Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) I tahun 1949. Salah satu hasil kongres ini adalah mempersiapkan Partai Katolik mengikuti pemilu tahun 1955. Hasil pemilihan umum sangat mengejutkan bahwa partai ini memperoleh enam kursi di DPR dan delapan kursi di MPR. Karena urgensi, dibuat lagi KUKSI ke II tahun 1956.

Revolusi Fisik
Di masa revolusi fisik untuk menjaga keutuhan NKRI, terdapat juga orang Katolik yang gugur sebagai pahlawan seperti Ignatius Slamet Rijadi, Yosaphat Soedarso, dan Agustinus Adisoetjipto. Peranan hirarki Gereja khususnya Mgr Albertus Soegijapranata SJ juga besar. Ia memindahkan Keuskupan Agung Semarang ke Yogyakarta demi bergandengan dengan pemerintah yang dipindahkan sementara dari Jakarta ke Yogyakarta.

Dalam perkembangan organisasi perjuangan kelompok Katolik mulai ditata. Di kalangan internal Gereja muncul organisasi masyarakat seperti Pemuda Katolik, Ikatan Sarjana Katolik, Wanita Katolik Republik Indonesia, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia.

Gerakan ini berlanjut selama Orde Lama. Saat itu, Partai Katolik harus berhadapan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Untuk memutuskan mata rantai PKI, Partai Katolik bersama partai-partai Islam dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia begandengan tangan membendung aksi PKI.

Di masa ini, Frans Seda ditempatkan sebagai Menteri Perkebunan untuk mengatasi gejolak buruh komunis di semua PT Perkebunan. Presiden Soekarno menawarkan Kabinet “Kaki Empat”. Di dalamnya ada kelompok agama, kelompok nasional, TNI, dan komunis. Tetapi dalam sidang di Istana Negara, Kasimo dengan tegas menolak rencana itu.

Sementara itu, di Masa Orde Baru (1966-1998), Frans Seda diangkat sebagai Ketua Umum Partai Katolik dan Harry Tjan Silalahi sebagai Sekretaris Jenderal. Saat itu tokoh-tokoh ini harus berhadapan dengan G30S/PKI. Dalam upaya memberantas gerakan PKI ini, kelompok Katolik membentuk gerakan Front Katolik dikomandani Harry Tjan. Tokoh-tokoh yang terlibat adalah Cosmas Batubara, Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi dan banyak aktivis Katolik lainnya.

Memasuki Orde Baru dengan slogan “Pembangunan yes, Politik no!, negara dihadapkan pada kondisi ekonomi Indonesia yang makin terburuk. Inflasi mencapai 600 persen. Dengan spirit Katolik, Frans Seda yang menjadi Menteri Keuangan menurunkan inflasi menjadi 10 persen. Ia juga terlibat merintis terbentuknya Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), untuk dana pembangunan Repelita.

Di masa berikutnya, partai politik terpaksa berhadapan dengan Undang-Undang tentang perubahan struktur partai. Supaya tetap eksis Partai Katolik memilih bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), tahun 1973, bersama Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), IPKI, dan Murba.

Rapat Pimpinan Nasional Partai Katolik tanggal 23 Februari 1973 di Wisma Tanah Air, Jakarta (sekarang RS Budi Asih) antara lain memutuskan, perlu dibentuk satu lembaga yang melanjutkan tugas Partai Katolik yang tidak difusikan. Lembaga itu kemudian menjadi Yayasan Ignatius Joseph Kasimo.

Terus Berperan
Ketua Umum Yayasan Ignatius Kasimo Joseph Belawa Liwun mengatakan, gambaran sejaran ini mau mengatakan bahwa masyarakat Katolik tidak pernah terasing dengan bau badan dan keringat rakyat Indonesia karena itu adalah badan dan keringatnya sendiri. Semangat yang bergelora dalam diri masyarakat Katolik adalah semangat NKRI yang tunduk pada UUD 1945 dan Pancasila. Semangat ini telah diwariskan oleh pendahulu masyarakat Katolik.

Sementara itu, Pastor Bantuan Militer (Pasbanmil) Ordinariatus Castrensis Indonesia (OCI) Pastor Rofinus Neto Wuli menambahkan, salah satu warisan seabad masyarakat Katolik terbukti dengan penuh keyakinan dalam Prefasi Tanah Air II, …Berkat jasa begitu banyak tokoh pahlawan, Engkau menumbuhkan kesadaran kami sebagai bangsa ,…kami bersyukur atas bahasa yang mempersatukan, …dan atas Pancasila dasar kemerdekaan kami.

Hal ini menjelaskan tiga tonggak sejarah penting, Kebangkitan Bangsa (1908), Sumpah Pemuda (1928), dan Proklamasi Kemerdekaan (1945). Tiga peristiwa ini menjadi sejarah perjuangan para pendahulu sekaligus karya agung Allah. “Kita akan terus mengalami kehadiran Allah dalam sejarah bangsa dengan merawat ingatan bersama akan sejarah itu yang pada akhirnya menjadi buah karya dan rahmat Allah,” ujar Pastor Rofinus.

Maka peringatan Satu Abad Pergerakan Masyarakat Katolik Indonesia bermaksud membangkitkan kesadaran kolektif umat Katolik bahwa kita juga mempunyai peran penting dalam sejaran Indonesia. Perayaan ini merupakan pengalaman sejarah dan pengalaman iman bagi umat Katolik. Refleksi ini juga untuk menegaskan bahwa masyarakat Katolik Indonesia tidak pernah absen dalam perjuangan bangsa Indonesia, sebelum kemerdekaan hingga akhir hayat.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.07 2019, 17 Februari 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here