St Athanasius Bazzekuketta (†1886) : Martir Uganda Penentang Pedofilia

361
Rate this post

Saat itu, praktik sinkretisme masih merajalela di desa tempat Athanasius tinggal. Meski belum dibaptis, ia telah mulai berbicara tentang iman Kristen kepada beberapa dukun di kampungnya. Alhasil, ia pun berhasil mempertobatkan beberapa dukun dan mengajarkan mereka tentang ajaran-ajaran Kristen.

Beberapa penyihir atau dukun di desa tentu tidak senang dengan langkah Athanasius ini. Mereka lalu mengirimkan penyakit cacar kepada dirinya. Selama dua minggu, Athanasius tidak bisa beraktivitas dengan baik. Beberapakali juga disembuhkan tetapi sia-sia.

Sedikit putus asa, Athanasius akhirnya merengek-rengek agar disembuhkan secara Katolik oleh seorang Katekumenat, Raphael Sembuya. Saat akhirnya bertemu dengan Athanasius, Raphael lalu mengusulkan agar Athanasius segera dibaptis menjadi Katolik. Tak berselang lama, Athanasius pun dibaptis secara sembunyi-sembunyi oleh Pastor Lourdel Simeon Mapeera tanggal 16 November 1885.

Tak lama kemudian, sakit yang diderita pun sembuh. Sejak itu juga, Athanasius menjadi katekis bagi beberapa remaja pria yang menjadi pelayan di istana Raja Mwanga II. Kariernya pun maju pesat, Athanasius bahkan diangkat sebagai pelayan utama bagi Raja Mwanga II.

Menolak Pedofilia
Athanasius menerima tugas ini dengan senang hati. Ia berpikir, dengan cara ini, ia bisa mempertobatkan seisi kerajaan. Tugas utamanya adalah memegang jubah raja yang dikenakan saat upacara keagamaan. Selain menjaga jubahnya, ia juga bertugas membersihkan debu di ornamen-ornamen raja.

Selama bekerja, banyak pelayan juga sangat senang kepada Athanasius. Ia melakukan pekerjaan ini dengan penuh suka cita. Kerap kali, ia mengumpulkan para pelayan dan mengajar doa-doa dan nyanyian Katolik kepada mereka. Buku katekismus juga tak pernah dilupakannya. Buku ini diperolehnya dari seorang katekumenat di istana raja yaitu Denis Sebuggwawo, yang juga menjadi guru agama tetapi kemudian dibunuh dengan cara ditombak.

Raja Mwanga II memang gencar memburu orang-orang Katolik di lingkungan istana. Tidak saja karena iman mereka, namun juga karena sebagian dari mereka menolak menjadi pelampiasan naluri pedofilia dalam diri sang raja.

Karena berulang kali mendapat penolakan dari pelayannya, Raja Mwanga II memanggil semua pelayan dan memisahkan mereka yang telah menjadi Kristen dan yang mau mengikuti raja. Para pelayan, menjawab dengan tegas bahwa mereka tak mau mengikuti keinginan raja. Raja lalu naik pitam dan menyuruh membunuh semuanya.

Sementara pembantaian itu, Anthanasius kebetulan di luar istana. Ia mendapat tugas ke Namugongo. Ia bersama seorang rekannya dibunuh secara terpisah di hari yang sama dengan cara ditombaki. Tubuhnya dipotong menjadi beberapa bagian dan dibuang di pinggir jalan. “Kematian hanya sebuah cara bertemu Tuhan yang manis. Lebih baik bertemu Tuhan, dari pada bertemu leluhur yang hanya manusia biasa dan penuh dengan dosa,” ujarnya.

Pada masa ini, total ada 24 martir yang dibunuh pada masa pemerintahan Raja Mwanga II saat itu ada 24 orang. Setelah kematian Raja Mwanga, Serikat Misionaris Afrika pun kembali ke Uganda. Mereka mendapati sedikitnya 200 orang Katolik yang mereka tinggalkan telah menjadi 500 orang dan seribu katekumen.

Gereja menggelari Anthanasius venerabilis pada 29 Januari 1920. Lima bulan kemudian, Paus Benediktus XV membeatifikasinya pada 6 Juni 1920. Kanonisasi Anthanasius terjadi pada masa kepausan Paus Paulus VI pada 18 Oktober 1964.

Yusti H. Wuarmanuk/Antonius E. Sugiyanto

HIDUP NO.17 2019, 28 April 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here