Gisela Aldila Sutjiadi : Bukan Melulu Kemenangan, tapi Bermain Baik

565
Gisela Aldila Sutjiadi.
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Tak hanya mahir bermain tenis, prestasi akademik nya pun amat membanggakan. Ia tak ingin menjadi pribadi yang setengah-setengah.

Medali prestasi di bidang olahraga tenis sudah banyak dikalungkan oleh petenis kelahiran Jakarta, 2 Mei 1995 ini. Namun, kesuksesannya meraih medali emas di cabang tenis ganda campuran pada ajang Asian Games 2018 Jakarta Palembang lalu, merupakan pencapaian terbaik dalam kariernya saat ini. Peristiwa itu pun bagi Dila menjadi pengalaman paling berkesan dalam hidupnya.

Menurutnya, olahraga tenis dalam kompetisi terbesar di Asia waktu itu, tak termasuk cabang olahraga unggulan untuk menyumbang medali bagi Indonesia. Kendati tak diperhitungkan, Dila bersama tandem mainnya, Christopher Rungkat, tetap memiliki target minimal: meraih perunggu. Ternyata, hasil yang mereka capai melampaui target.

Mereka menjadi kampiun setelah menaklukan Soncha Ratiwatana/Luksika Kumkhum dari Thailand pada partai final ganda campuran. “Ini (Asian Games 2018) merupakan pengalaman amat berkesan: bermain di negara sendiri dan ditonton oleh banyak orang. Namun, perjalanan saya masih jauh,” ujarnya merendah, saat ditemui di sebuah kafe di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa, 30/4.

Keluarga Petenis
Karier Dila sebagai petenis profesional tak terjadi dalam satu malam. Ia berkenalan dengan olahraga tersebut sejak berusia lima tahun. Sang ayah, Indriatno Sutjiadi, adalah orang pertama yang memperkenalkan Dila dengan tenis. “Saya berasal dari keluarga petenis. Ayah juga kakek saya hobi bermain tenis. Bahkan, kakak saya juga atlit tenis, hanya saja ia sampai tingkat junior karena harus melanjutkan studi dan bekerja di bidang lain,” kenang bungsu dari tiga bersaudara pasangan Indri dan Herawati Sutisna Jahja ini.

Indri kemudian memasukkan putri tunggalnya itu ke salah satu sekolah tenis. Kemudian pada usia sembilan tahun tahun, Dila sudah mulai terjun di kejuaraan tenis. Pada 2008, Dila tampil di kejuaraan tenis junior. Ia sudah mengukir prestasi yang cukup membanggakan di level junior, mulai dari memenangkan nomor tunggal dan ganda di Kejuaraan Junior Internasional 2010 hingga mencapai semifinal Australian Open Junior Championships pada 2012.

Karier profesional Dila dimulai saat berusia 15 tahun. Pada waktu itu, ia bermain dalam turnamen Federasi Tenis Internasional (International Tennis Federation/ITF) di Jakarta. Kariernya semakin bersinar saat mengikuti Pekan Olahraga Nasional (PON) 2012 yang diselenggarakan di Riau. Putri tunggal dari Indri dan Herawati Sutisna Jahja ini memborong tiga medali emas untuk tunggal putri, ganda putri, dan beregu.

Dila juga menjadi bagian dari tim Indonesia di Piala Fed Asia/Oceania pada 2013. Ia turut berkontribusi membawa Indonesia promosi ke Group 1 Piala Fed Asia/Oceania pada 2013. Melihat talenta serta prestasinya di bidang tenis itu, beberapa universitas di Amerika Serikat menawarkan beasiswa kepada alumna SD Don Bosco Pulomas serta SMA Jubilee Sunter ini.

Dila akhirnya menjatuhkan pilihan ke University of Kentucky, Amerika Serikat. Ia mendapatkan beasiswa penuh dari perguruan tinggi itu lewat jalur tenis. Pengagum petenis Roger Federer dan Maria Sharapova memilih urusan matematika ekonomi. Ternyata, tak hanya jago di dunia tenis, ia juga gemilang di bidang akademik.

Pribadi 100%
Dila termasuk satu di antara mahasiswa berprestasi di University of Kentucky. Selama empat tahun menjalani kuliah di Amerika Serikat, Dila berhasil lulus pada 2017 dengan predikat summa cum laude atau memperoleh Indeks Prestasi Komulatif (IPK) yang nyaris sempurna, yakni 3,92.

Pencapaian gemilangnya di dunia tenis dan pendidikan membuat gadis yang suka jalan-jalan itu dinobatkan sebagai satu di antara remaja berprestasi di Amerika Serikat dalam Elite 90. Penghargaan itu digagas The National Collegiate Athletic Associate (NCAA), Amerika Serikat.

Dila mengakui, prestasinya di kedua bidang tersebut tak terlepas dari nasehat, perhatian, dukungan, dan doa keluarga, terutama orangtuanya. Indri dan Hera senantiasa memberi kebebasan kepada putri mereka untuk memilih kegiatan yang digemarinya. “Papa dan mama hanya berpesan, ‘selalu fokus dan jangan setengah-setengah terhadap sesuatu yang telah kamu pilih’. Karena itu, saya nggak bisa (mengerjakan sesuatu) setengah-setengah. Saya orang yang ingin selalu 100%,” ungkap petenis peringkat 563 (single) dunia ini.

Pengalaman itu amat ia rasakan ketika masih mengenyam pendidikan. Sejak pagi hingga siang, ia berada di sekolah. Usai itu, ia bergegas ke lapangan tenis untuk berlatih. Setelah berlatih, ia selalu menyempatkan waktu untuk mengulang pelajaran atau mengerjakan tugas sekolah. “Apalagi kalau besok di kelas ada ulangan saya pasti belajar, meski sudah capai dan ngantuk,” katanya sembari tertawa.

Kendati telah mengharumkan nama daerah dan negara di berbagai kejuaraan baik dalam dan luar negeri, Dila menolak diperlakukan sebagai “anak emas” di sekolah. Ia tetap mengikuti ulangan atau ujian. Seandainya jadwal tersebut terbentur dengan kompetisi, ia meminta kepada pihak sekolah untuk dapat mengikuti tes susulan.

Menurut Dila, setiap proses harus selalu ditaati. Tak ada keberhasilan yang diperoleh secara instan. Bak kehidupan dalam dunia tenis juga berlaku hukum bahwa kemenangan tidak hanya ditentukan rangking pemain. Tapi ada perpaduan dan sinergi optimal antara daya tahan fisik, kekuatan mental, dan teknik bermain. Semua itu bagi Dila digapai dengan tekun berlatih dan mengikuti aneka kompetisi untuk menakar kemampuan. Demikian pula dengan kehidupan, mereka yang berhasil adalah yang tekun berusaha dan berani menghadapi berbagai tantangan.

Bermain Baik
Punya segudang prestasi, bukan berarti Dila tak pernah mengalami kegagalan. Hal itu justru terjadi ketika dirinya baru berusia 13 tahun. Ia tak mampu mengukir prestasi dalam kualifikasi kelompok umur 14 tahun. Dila hanya mampu menatap rekan-rekannya mengikuti kompetisi di Eropa dan Asia dari kejauhan. “Mental saya jatuh. Saya tak mampu bermain secara baik saat itu,” akunya.

Tampil dan bermain secara baik menjadi sesanti Dila tiap berlaga di atas lapangan tenis. Dalam tiap doanya, Dila tak pernah memohon kepada Tuhan agar dirinya memenangi pertandingan. “Yang saya minta kepada Tuhan agar saya bisa bermain secara baik,” ungkap orang muda Paroki St Yakobus Kelapa Gading, Keuskupan Agung Jakarta ini.

Bila ternyata kemenangan belum berpihak kepadanya, Dila tak patah arang atau bahkan menyangsikan kebesaran Tuhan. Sebab, dalam kompetisi, kalah-menang merupakan sebuah hal yang lazim. Dan dalam kekalahan pun, menurut Dila, selalu ada hikmah. Satu di antaranya adalah terus berlatih. Lagi-lagi bagi Dila usaha itu bukan semata-mata untuk meraih kemenangan, tapi agar bermain secara baik, sesuai intensi tiap doanya kepada Yang Maha Kuasa.

Yanuari Marwanto

HIDUP NO.19 2019, 12 Mei 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here