Saatnya Melihat, Menilai, dan Bertindak

164
Peserta The 7th Asian Chaplains and Animators Formation and Exchange IYCS saat mengunjungi Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Tangerang, Banten.
[HIDUP/Karina Chrisyantia]
1/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Pertemuan IYCS sebenarnya adalah forum untuk mengasah kemampuan see, judge, and act. Gerakan ini akan efektif saat setiap orang terampil menilai apa yang terjadi di sekitarnya.

Saat berada di Indonesia untuk mengikuti The 7th Asian Chaplains and Animators Formation and Exchange International Young Catholic Students (IYCS) tahun ini, peserta dari berbagai negara Asia mengunjungi Pondok Pesantren Asshiddiqiyah, Tangerang, Banten. Perjumpaan dengan saudara-saudara Muslim boleh jadi bukan yang pertama kali, bagi sebagian peserta itu.

Namun, persaudaraan yang terjalin tetap menjadi sesuatu yang istimewa. Kecurigaan yang terbangun dalam kesadaran orang zaman ini, rasanya juga menjangkit banyak anak muda di dunia. Sehingga, perjumpaan antar-agama seperti ini dengan sendirinya menjadi pesan cita kasih universal yang suaranya akan melampaui batas-batas relasi Islam-Katolik.

“Kemarin waktu mengunjungi pesantren, aku merasa saat itu, bisa belajar toleransi. Saya juga belajar lebih dengan mereka yang tinggal di pesantren itu. Apalagi di kampus juga ada acara buka (puasa) bersama,” ujar Bernadetha Yolinda Bataona.

Lihat, Nilai, Aksi
Dengan metode see, judge and act, apa yang dilihat selama di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah para aktivis IYCS sebenarnya sedang mempraktikkan ketiga langkah itu. Selanjutnya, setelah perjumpaan itu, mereka turut menyuarakan keprihatinan dan masalah yang dihadapi masyarakat. Langkah seterusnya, mereka akan menyampaikan kesan yang mereka dapat usai mengikuti acara ini.

Young Catholic Students (YCS) India National Chaplain, Pastor Chetan Machado, dalam acara ini mengungkapkan, bahwa mahasiswa di negaranya seringkali mengeluh tentang sistem yang ada. Entah tentang para uskup yang yang tidak mendukung mereka, ataupun orangtua.

Pastor Machado lalu menepatkan dirinya dalam posisi mereka. Ia ingin membantu menemukan solusi terhadap masalah yang mereka hadapi. “Saya berteman dan mencari tahu situasi mereka. Lalu kami sepakat membuat semacam gelanggang pemuda di paroki,” ujarnya.

Dari situlah para mahasiswa dan anak muda lainnya bisa mengakses segala bentuk kegiatan, seperti olahraga, perpustakaan, bermain catur, rekoleksi, atau sekadar mengobrol. “Gelanggang ini cukup membantu mereka untuk bersosialisasi secara positif. Inilah salah satu bukti menjalankan iman dengan perbuatan,” tuturnya.

Setali tiga uang, Sekretaris Eksekutif Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Bangladesh, Bruder Ujjal Placid Pereira pun, awalnya tidak terlalu tertarik dan mengerti pelayanan anak muda. Namun ketika terjun langsung menjadi bagian dalam anak muda ini, justru jatuh cinta dengan pelayanan ini. “Saya menyadari anak muda juga ingin mengambil epran penting dalam Gereja. Kami coba banyak melibatkan anak muda dan memberi tanggung jawab kepada mereka untuk mengurus salah satu komisi di paroki,” jelasnya.

Untuk membangun suatu komunitas kaum muda, cara yang terbaik itu adalah tidak menjadi eksklusif. Semua dapat dimulai dengan berani melebur dengan yang lain, tentu saja tanpa meninggalkan kekhasan IYCS itu sendiri. “Kita membutuhkan mahasiswa Katolik yang kuat ‘untuk menderita’. Melewati proses pembentukan menjadi pemimpin yang tak cepat putus asa, tapi selalu meletakkan harapan pada Tuhan,” ujar Pastor Sergio Castro Maniba.

Tantangan dan Semangat
Saat ini, adalah Pastor Jacob Anil D’sa yang melanjutkan estafet sebagai pendamping IYCS Asia. Anak muda Asia, khususnya mahasiswa, bertumbuh menjadi seorang Katolik yang militan dan berdaya. Dalam hal ini, imam pendamping berperan sebagai sahabat bagi anak muda untuk selalu bersama dalam pembinaan. Selama ini, ia telah melihat, kemunculan talenta kepemimpinan dari diri mahasiswa. “Saya mengenal banyak mahasiswa yang dulu pendiam, kini mampu berbicara di depan publik, bahakna menjadi pemimpin di organisasi kampus maupun paroki,” katanya.

Melalui pendampingan yang ada di IYCS, anak muda dirangsang untuk berani menyuarakan suara Gereja. Setidaknya, kemampuan ini dilatih dengan memberi kepercayaan kepada anak muda untuk mengorganisir sebuah acara. Mereka juga
bertanggungjawab dalam mencari dana bagi proyek-proyek kemanusiaan.

Di Indonesia sendiri, berbagai macam permasalahan dan peristiwa dihadapi oleh mahasiswa. Baik dari studinya, maupun persoalan dalam hidup pribadinya. Menurut, Sunardi Ginting, hal yang meresahkan dari anak muda yaitu terkait pergaulan dan minimnya kepedulian. Dalam kaderisasi anak muda, salah satu yang paling penting menurutnya adalah mengarahkan mereka untuk mampu menyadari perannya, untuk selanjutnya, melatih mereka untuk berani mengambil alih tanggung jawab. “Ini sebuah tantangan, terutama karena dipengaruhi oleh kehidupan milennial yang suka ngumpul di kafe dan game,” ujar dosen Perilaku Organisasi dan dan Manajemen Sekolah Ilmu Ekonomi Widya Dharma Pontianak ini.

Kunjungan IYCS ke Pondok Pesantren Asshiddiqiyah membuka mata Sunardi untuk membuka diri. Ia berharap, peserta yang ikut juga merasakan hal yang sama. Menurutnya, penting untuk menyapa saudara beragama lain terlebih dahulu, dari situ, persaudaraan akan terjalin dengan sendirinya. “Dari perjumpaan ini saya semakin bersemangat merajut kasih lintas agama. Saya semakin terpanggil untuk mengolah pendampingan anak muda yang kekinian.”

Tantangan Iman
Pastor Hendro Agustinus Kandowangko yang merupakan Chaplain Campus Ministry Universitas Katolik De La Salle Manado Sulawesi Utara mengatakan, anak-anak muda sekarang harus mencoba terbuka dengan apa yang mereka rasakan. Anak muda jangan takut dengan masalah dan merasa ditinggalkan, dikucilkan, kemudian tak mau didengarkan. “Jadi ketika datang pergumulan, kebanyakan dari mereka mudah goyah. Padahal barang siapa mau mengikuti Yesus, harus menyangkal diri dan memikul salibnya.”

Pastor Hendro menegaskan, tantangan adalah bagian dari keimanan. Iman kekatolikan tidak berakhir pada salib, tapi pada kebangkitan Kristus. Tidak ada kebangkitan tanpa derita, dan di balik pergumulan ada harapan.

Hal ini juga diungkapkan oleh Christine Bernadette Maria Rumokoy. Mahasiswa Fakultas Keperawatan Unika De La Salle Manado ini juga melihat anak muda tak lagi memiliki niat mengikuti kegiatan rohani. Dan jika tidak ada niat dari pribadi mereka, kita pun tak bisa memaksa. Namun, dengan ikut IYCS ini, Christine menemukan hal baru. “Sampai Manado, tentu ingin buat sesuatu dengan metode yang ada di IYCS ini,” ucapnya semangat.

Salah satu peserta dari India, Joystan Menezes bersyukur dapat terlibat dalam pertemuan IYCS Asia di Indonesia kali ini. Mahasiswa Teknik Komputer NMAMIT, Nitte ini belajar bergaul dengan sesama berbeda bahasa. Namun ia menyadari, saat ada keinginan untuk berkomunikasi, maka bahasa bukan penghalang. “Itu adalah momen yang sangat istimewa, perjalanan internasional pertama saya dan sangat bermanfaat. Pengalaman menyenangkan belajar tentang panggilan untuk bertemu orang muda, menyalakan kembali hati mereka, dan berjalan berdampingan,” tuturnya.

Peserta dari Indonesia, Liana Dwi Aryani, pun punya pengalaman serupa. Ia menyadari, sifat anak muda yang cenderung enggan dalam mengikuti kegiatan bersama rasanya memang sulit diatasi. Namun, ia sadar bahwa anak muda memiliki kebutuhan mendasar yaitu bersama dengan sesamanya. “Aku sendiri juga enggak terlalu merhatiin sekitar aku, tapi aku mengakui sebagai anak muda kalau mau ke gereja pasti mencari teman,” ujar Mahasiswa Universitas Katolik Atma Jaya Yogyakarta ini.

Antonius E. Sugiyanto/Marchella A. Vieba
Laporan : Felicia P. Hanggu, Karina Chrisyantia

HIDUP NO.30 2019, 28 Juli 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here