Fransiskus Marselinus Batan Liarian : Menghidupkan Harapan Hijau Lembata

272
Fransiskus Marselinus Batan Liarian.
[NN/Dok.Pribadi]
3.5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Meski amat gersang dan butuh usaha ekstra, Linus menghijaukan tanah kelahirannya secara swadaya dengan sepenuh hati.

Hamparan rumput berwarna coklat muda keemasan menandai kegersangan musim kemarau di Lembata, Nusa Tenggara Timur. Iklim kering, musim panas yang panjang, curah hujan rendah, dan kelembapan udara yang sangat rendah, mau tidak mau, membuat orang Lembata selalu dihantui cuaca panas yang ekstrim. Bermandikan sinar matahari yang amat terik sudah menjadi bagian hidup masyarakat Lembata. Ketersediaan air bersih pun kerap menjadi kendala di beberapa desa.

Kondisi seperti ini, membuat penghijauan Tanah Lomblen tampak hanya akan menjadi wacana. Hanya musim hujanlah yang bisa menghijaukan pulau ini. Namun, Fransiskus Marselinus Batan Liarian, akrab disapa Linus, dengan niat dan upayanya membuktikan penghijauan tetap bisa dilakukan di tanah kelahirannya itu.

Linus telah akrab dengan dunia tanam-menanam sejak ia kecil. Ayahnya bekerja di Dinas Pertanian, sehingga gaya hidup bercocok tanam tak terpisahkan dari keluarganya. Selalu ada tanda kehidupan mulai dari pekarangan rumah hingga ladang keluarganya. Namun, latar belakang ini tak serta-merta membuatnya tiba-tiba saja menjadi pahlawan penghijauan Lembata.

Kantor Bupati
Saat lulus SMK, Linus menyusul kakaknya merantau ke Kalimantan Barat dan bekerja di suatu perusahaan kayu. Ia mengungkapkan, perusahaan itu melakukan pembalakan liar dan itu bertentangan dengan hati nuraninya. “Pohon-pohon kecil, besar ditebang rata tanah. Padahal itu nafas kita, nyawa kita,” ujarnya. Linus merasa upah yang ia terima adalah uang haram. Hanya sekitar setahun bekerja, ia lalu memutuskan berhenti dan kembali ke kampung halaman.

Sekembalinya, Linus mencari makan dengan menjadi tukang ojek. Ia mengisi waktunya juga dengan beternak. Pasalnya, dengan beternak, ia pasti akan ke ladang untuk memantau piaraannya. Waktu ke ladang itulah yang juga akan ia gunakan untuk bercocok tanam. Saat menikmati ladangnya yang hijau, muncul keinginan dalam benaknya untuk melihat warna yang sama menyelimuti Lembata. Memang tak semudah membalikkan telapak tangan, pikirnya. Namun langkah pertama harus ia ambil.

Linus memulai dengan area Kantor Bupati Lembata. Ia mengatakan daerah itu sangat kering, datarannya lebih tinggi, bertanah putih, dan sudah banyak kali penanaman dilakukan di sana namun gagal. Ia secara sukarela melakukan penghijauan di sana. Tidak ada maksud apapun memilih kantor bupati. Ia hanya “gemas” melihat keringnya wilayah itu. Tak ada pula reaksi tertentu dari pihak pemerintah setempat. Ia datang, menanam, dan merawat. Rupanya proyek pertama ini berhasil. Bagi Linus yang pertama ini adalah yang paling susah dan paling berhasil.

Linus kemudian melebarkan karyanya, dengan menghijaukan tempat-tempat umum, jalur hijau, daerah-daerah sekitar pantai hingga bukit. Meski melakukan untuk kepentingan banyak orang, Linus tak serta-merta mendulang dukungan dari warga setempat. Ia justru menerima nada-nada yang berusaha mematahkan semangatnya. “Banyak yang mencibir katanya kurang kerjaan lah, sok pahlawan lah,” kenangnya.

Setelah beberapa kali memulai penghijauan sendiri, Linus kemudian mendapat bantuan tenaga sukarela. Biasanya dalam satu proyek penghijauan yang ia lakukan, sekitar 10-50 orang hadir membantunya.

Jelas melakukan penghijauan di daerah kering bukan perkara mudah, apalagi dilakukan secara swadaya. Selain kesulitan sumber daya dana dan kendaraan, lemahnya SDM masyarakat menjadi tantangan tersendiri bagi Linus.

Seiring berjalannya waktu, Linus juga membentuk komunitas tak resmi yang mereka namakan Anak Peduli Alam Lembata atau Anak PAL. Komunitas ini berisikan para sukarelawan yang kerap membantu Linus melakukan penghijauan. Bibit-bibit yang ia tanam banyak dipasok secara gratis ke desa-desa untuk proyek penghijuan, irigasi, dan lainnya. Ia mengaku melakukannya dengan senang dan sukarela. “Itu perbuatan baik, saya senang,” ujarnya.

Tekad dan harapan Linus membuat proyek sosial yang Linus lakukan banyak yang berhasil, terutama di jalur hijau. Ia mengatakan, keberhasilan penghijauan tergantung pada beberapa hal, terutama air. Untuk daerah yang dapat dijangkau kendaraan, penghijauannya berhasil karena mendapatkan air. Sementara di daerah seperti bukit atau area terjal, tidak jarang proyeknya gagal.

Tak hanya persoalan air, Linus mengatakan, di pegunungan dan permukiman pun perlu usaha ekstra. Hal ini karena lahan di wilayah ini lebih banyak dibakar. Karenanya, ia memutuskan untuk melakukan penghijauan secara pertahap. Ia melakukan penghijauan dengan membagi dalam blok-blok. “Misalnya tahun ini menanam di satu blok saja, kemudian tahun depan satu blok lain sehingga lebih mudah perawatannya. Selain itu, kalau langsung menanam semua itu sulit, karena ini daerah ladang: satu lahan terbakar, semuanya terbakar,” ujarnya.

Berawal dari misi sosialnya, penghijauan yang Linus lakukan kini telah merambat menjadi bisnis. Apa yang ia lakukan sebelumnya dengan sukarela dan berhasil menjadi iklan gratis bagi dirinya. “Karena penghijauan yang saya buat ini terkenal, banyak yang mencari saya untuk membeli bibit dari saya,” tuturnya.

Instansi-instansi dari dalam dan luar Lembata mulai memesan bibit-bibit tanaman pada Linus untuk melakukan proyek penghijauan. Ia mengaku, proyek-proyek yang ia layani jika dinilai secara rupiah bukan dalam jumlah sedikit. Ia bersyukur karena apa yang ia mulai dengan sukarela kini tak hanya menjadi sumber penghasilannya namun juga menyerap tenaga kerja. “Namanya alam, kalau kita kasih sesuatu untuknya, dia pasti beri kembali,” tuturnya.

Ada Harapan
Pernah saat menangani proyek penghijauan suatu instansi senilai puluhan juta, Linus ternyata tidak dibayar. Dana proyek tersebut bermasalah. Namun, Linus mengikhlaskannya. “Yang penting bibitnya sudah ditanam, tidak apa-apa,” ujar ayah dua putri ini.

Terkadang yang paling menyakitkan baginya adalah ketika melihat pohon yang pernah Linus tanam telah ditebang oleh masyarakat karena tidak adanya kesadaran lingkungan. Meski tidak jarang hal itu ia alami, Linus tidak patah arang. Selagi masih bisa menanam, ia akan terus menanam.

“Jangan hanya karena itu kita berhenti. Misal kita menanan 20 pohon, lalu ada yang merusak 10, kan masih ada 10 lainnya. Berarti kita masih punya harapan,” tuturnya bersemangat. Semangat Linus selalu subur karena ia mengaku mencintai apa yang ia lakukan, bersemangat dan optimis.

Fransiskus Marselinus Batan Liarian

Tempat/Tanggal Lahir : Lembata, 3 April 1979

Istri : Marta Maryati T. Liliwana
Anak :
– Maria Martina Masa Dasing Liarian
– Aprilia Veronika Nogo Liarian

Penghargaan :
Penghargaan Trubus Kusala Swadaya 2015

Hermina Wulohering

HIDUP NO.41 2019, 13 Oktober 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here