Ada Ayah di LA

138
1/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Ibu selalu mengajak aku ke rumah Ndoro Eyang, jika Ndoro Eyang berulang tahun, setiap 30 Oktober. Menumpang bus dari Samas 26 kilometer dari Kota Yogya, kami akan menuju rumah Ndoro Eyang di Jeron Beteng, kawasan tempat tinggal para bangsawan keturunan Kraton Yogya.

“Kresna, kamu harus sopan di rumah Ndoro Eyang,” kalimat yang selalu aku dengar berulang-ulang dari ibu, setiap aku datang ke rumah Ndoro Eyang. Tiga tahun terakhir ini ditambahi dengan pesan,” cucu-cucu ndoro Eyang juga datang. Ada Mas Rangga, Mas Thomas, Mbak Agatha, hormati mereka.”

Waktu itu umurku sembilan tahun. Mas Rangga usianya tiga tahun di atasku. Dengan Mbak Agatha aku seusia. Sementara Mas Thomas, dua tahun dibawahku. Walaupun umur dibawahku, tetap aku panggil “mas”. Alasannya masuk akal, ibuku pembantu di rumah Ndoro Eyang, batur. Mereka ndoro, tuan.

Ibu hanya pembantu. Tetapi ketika Ndoro Eyang berulang tahun dan keluarga besar berkumpul, ia selalu menyuruh ibu untuk mengajak aku ke rumahnya. Aku bertemu dengan Ndoro Putri, istrinya Ndoro Eyang. Lalu berjabat tangan dengan Ndoro Wicaksono, tak lain bapaknya Mas Rangga dan Mbak Agatha. Berlanjut diriku dipeluk oleh Ndoro Lisa. Ini ibunya Mas Thomas. Ada satu lagi anak Ndoro Eyang, namanya Ndoro Putranto. Anak nomor dua. Aku hanya tahu sosoknya dari foto yang terpajang di dinding kamar tengah, ruang keluarga. Kata Mas Rangga, Ndoro Putranto tinggal di Amerika. Kuliah di Amerika, lanjut bekerja di sana. Pulang belum tentu setahun sekali. Alhasil aku tiada pernah berjumpa dengan Ndoro Putranto.

Ada kamar di pojok belakang rumah yang disediakan untuk ibu. Di situlah aku bermalam. Oh ya, cucu-cucu Ndoro Eyang selalu mengajak aku bermain-main di rumah yang luas itu. Hebat sekali cara Ndoro Eyang mendidik cucu-cucunya. Walaupun aku tak lebih anak pembantu, tetap saja diajak bermain berbarengan. Mungkin karena ibu sudah ikut Ndoro Eyang sejak remaja. Mengabdi pada keluarga mereka.

Ketika anak-anak Ndoro Eyang menikah, ibu hanya datang menginap dua hari dalam satu minggu di rumah Ndoro Eyang. Ndoro Wicaksono tinggal di Bali mengelola hotel miliknya. Sementara Ndoro Lisa memiliki rumah makan tradisional Jawa di Jalan Parangtritis, kawasan turis Yogya. Praktis hanya Ndoro Eyang dan Ndoro Putri yang menempati rumah besar itu.

Rumahku di Samas berjarak satu kilometer dari Laut Selatan. Ada warung kelontong tepat di pinggir jalan. Saban hari di situlah ibu menjaga warung kelontong. Konon kata ibu, warung kelontong ini diberi cuma-cuma oleh Ndoro Eyang.

Ayah? Ada hal tabu yang aku sendiri tidak mau bertanya kepada ibu. Pun ibu, bungkam seribu bahasa berucap tentang suaminya, ayahku. Alhasil aku tidak tahu siapa ayahku. Tanganku tidak pernah digandeng laki-laki yang disebut ayah.

Pilihan ibu menyimpang dari kebanyakan perempuan-perempuan di desa. Sampai aku sekolah di SMA, ibu tiada berminat untuk menikah. Ibu tetap hidup sendiri, membesarkan diriku. Tetap dengan wilayah tabu yang kami berdua sepakati, walaupun belum pernah terucap. Aku bertanya tentang ayah dan ibu bercerita tentang suaminya. Ibu tenggelam menjaga toko kelontong. Dengan ritme yang berubah ketika aku bersekolah di SMA terbaik di kota Yogya. Bersepeda motor, pagi hari aku mengantar ibu ke rumah Ndoro Eyang. Siang sehabis sekolah aku menjemput ibu.

***

Tiada yang menyangkal bahwa Rockefeller disebut baron bandit di zamannya. Ia orang paling kaya di muka bumi. Di penghujung umurnya untuk menebus masa lalunya, Rockefeller menghibahkan hampir semua kekayaannya untuk tugas-tugas kemanusiaan, salah satunya pendidikan. Aku menerima beasiswa Rockefeller untuk melanjutkan kuliah di The University of California, Los Angeles. Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen menjadi pilihanku.

Ibu hanya jebolan SD di kampung. Aku menjelajah sangat jauh. Dari Desa Samas, pinggiran pantai Selatan Yogya. Lalu terdampar di Amerika pada salah satu universitas terbaik di dunia. Jarak Samas dengan Los Angeles yang sangat jauh memastikan aku pulang kampung setelah meraih gelar sarjana. Aku tenggelam dalam studi. Lalu tahun ketiga aku kuliah, aku bertemu dengan sesosok gadis ayu yang menggetarkan emosiku. Aku jatuh cinta. Dia bernama Helena. Mahasiswi satu almamater yang mengambil jurusan tehnik informatika.

Pada pertunjukan teater mahasiswa, tergesa-gesa aku menuju auditorium kampus. Tanpa sengaja, aku menyenggol tumpukan buku yang dibawa seorang mahasiswi. “Maaf…” kutatap wajahnya sekilas. Lalu aku berjongkok, memunguti tiga bukunya yang berserekan. Aku ingat tiga buku tersebut, dua buku teks kuliah, satu buku sastra karangan Anton Chekhov.

“Suka Chekhov?” aku bertanya sambil menyerahkan buku ke tangannya. Gantian, ia memandang wajahku. “Semua sastrawan Rusia aku suka. Chekhov, Gorky, Pasternak, Tolstoy, Solzhenitsyn.” Ia menyebut nama-nama sastrawan besar Rusia.

“Kebetulan aku baru baca satu karya Tolstoy, Anna Karenina. Oh ya aku Kresna,” kuulurkan tangan padanya.

“Helena,” ia menerima uluran tanganku dan menyebut namanya.

“Kok tergesa-gesa sampai menabrak buku-buku yang aku bawa?” ia yang bernama Helena bertanya.

“Lima belas menit lagi pertunjukan teater mahasiswa dimulai,” aku menjawab.

“Aku juga mau melihat teater mahasiswa. Kau duduk di mana?”

Itulah yang disebut dengan teori serendipitas. Ketidaksengajaan yang berakibat panjang. Nomer kursiku ternyata bersebelahan dengan nomer kursi Helena.

“Jika waktumu kosong, kutunggu kau di kedai kampus. Musim semi dengan mencecap teh dari Asia sungguh mempesona,” dua hari setelah bertemu nonton teater kutelepon Helena. Gayung bersambut, ia menemani aku mencecap teh hangat dengan kudapan croisant isi tuna. Kemudian perjumpaan kami mirip cerita bersambung. Berjilid-jilid teramat panjang. Apalagi kami dipersatukan dengan kegemaran yang sama; membaca sastra dan menonton pentas seni.

Ayah Helena seperti diriku, imigran dari Indonesia. Sementara ibunya berasal dari Polandia, keturunan kedua tinggal di Amerika.

“Bagi orang Polandia, Hari Arwah setiap 2 November merupakan hari besar. Saat untuk mendoakan para leluhur. Kau sudah menjadi bagian dariku. Wajib jika di Hari Arwah kau hadir ke rumahku, berdoa bersama keluarga. Ibu sudah mempersiapkan polish broth, makanan khas Polandia yang hanya ibu buat untuk menyambut Hari Arwah,” Helena mengundang diriku.

“Lima bulan terhubung denganmu, menjadi wajib bagiku untuk berjabat erat dengan kedua orang tuamu,” kusetujui ajakan Helena.

San Fernando Mission Boulevard, kawasan pinggiran Los Angeles. Sepenggal jalan bernama Griffith Street. Kugenggam erat tangan Helena. Berjalan dua ratus meter jauhnya. Ada Gereja Santa Rosa. Kami berbelok ke kanan menelusuri jalan yang menghubungkan perumahan. Rumah dengan nomer H 28. Tanaman tertata rapi, berhias lampu warna-warni.

“Ini rumahku,” Helena membuka pintu, “Kau duduk dulu di sofa, aku ke belakang memanggil kedua orang tuaku.”

Helena masuk ke ruang dalam rumah. Aku duduk di sofa. Tidak lebih dari satu menit, aku bangkit. Berjalan mengelilingi ruang tamu. Aku memandang foto keluarga yang tertempel di dinding.

Kutatap foto keluarga. Helena duduk di tengah dipeluk kedua orangtuanya dengan dandanan tradisional Polandia. Beralih melihat foto-foto masa kecil Helena. Dan…..aku tertegun. Membuka mulut menyebut Sang Pencipta. Jantungku berhenti berdetak. Foto ayah Helena ketika masih muda! Memoriku langsung berkelana puluhan ribu kilometer jauhnya. Sebelum berangkat ke Los Angeles, kubuka satu-satunya buku nyaris kumal yang dimiliki ibu. Terselip foto pada buku milik ibu. Ruang keluarga rumah Ndoro Eyang di Yogya. Tiga lokasi yang mempersatukan sebuah foto, Ndoro Putranto.

Bergegas aku membuka pintu rumah Helena. Tiada peduli pada Helena, aku berlari kencang. Sangat kencang menembus angin sore pada musim gugur. Ayah Helena, Ndoro Putranto. Ternyata ayahku!

A.M. Lilik Agung

HIDUP NO.44 2019, 3 November 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here