Vincent Perritaz : Peziarahan Pulang Garda Swiss

102
Vincent saat berjalan pulang dari Roma menuju Fribourg, Swiss.
[Dok.Pribadi]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Roma, Vatikan, Garda Swiss, dan Bapa Suci, telah menjadi bagian hidupnya selama tiga tahun. Kini, ia harus pulang. Ia memilih berjalan kaki dari Roma menuju kampung halaman.

Sabtu, 1 Juni 2019. Vincent Perritaz, mantan anggota Garda Swiss atau Swiss Guard memulai peziarahan. Setelah masa tugas berakhir pada Jumat, 31 Mei 2019, ia pulang kampung ke Fribourg, Swiss. Vincent, sapaan karibnya, memilih menyusuri Via Francigena dengan berjalan kaki.

Dengan berat hati, pria berusia 26 tahun ini melangkahkan kaki keluar kompleks Vatikan melalui Gerbang Saint Anne. Lalu, kakinya berbelok kiri dan terus berjalan.

Via Francigena merupakan rute peziarahan kuno yang menghubungkan Canterbury, di Selatan Inggris, menuju Kota Abadi, Roma, Italia. Berdasar deskripsi dalam naskah yang ditulis Sigéric de Canterbury, Uskup Agung Canterbury yang membuat rute ini kala melakukan perjalanan menuju Roma pada 990 untuk menerima pallium dari Paus Yohanes XV.

Sedih, Gembira
Jalur itu pula yang menjadi rute wajib bagi Garda Swiss saat memulai penugasan. Mereka akan berjalan kaki dari Swiss menuju tempat tugas, Vatikan. Seorang Garda Swiss memiliki periode tugas selama tiga tahun.

Sebenarnya, jika menumpang pesawat terbang, waktu tempuh Roma menuju Fribourg hanya beberapa jam saja. Tapi Vincent butuh 37 hari. Ia baru tiba di kampungnya, Gruyère, wilayah pegunungan hijau dekat Fribourg, pada 7 Juli 2019.

Menurut Vincent seperti dilansir oleh Vaticannews.com, cara pulang ke rumah dengan berjalan kaki menjadi semacam terapi baginya. Cara seperti itu memberikan banyak kesempatan dirinya untuk merefleksikan perjalanan hidup. “Untuk mengikuti Yesus, kamu perlu memiliki dosis keberanian yang lebih.”

Ujaran Paus Fransiskus kala Hari Pemuda Sedunia di Krakow, Polandia itu, amat membekas di tambur hati Vincent.

Meskipun hatinya terkoyak, lantaran mesti meninggalkan segalanya yang ia cintai, Vincent secara berani melangkahkan kaki. Memang ada sedih dan ragu dalam kalbu. Tapi tetap saja, ia berangkat seorang diri. Semua ia sandarkan kepada penyelenggaraan Ilahi.

Vincent tak pernah menentukan target dalam peziarahan pulang ini. Ia akan berhenti berjalan setelah lelah atau menemukan perkampungan warga. “Dari pertemuan dengan warga, saya bisa merasakan sukacita, karena mungkin saya tidak akan bisa bertemu dengan mereka lagi kelak,” ujarnya.

Vincent mulai menikmati perjalanan ini. Di ranselnya hanya ada pakaian, tempat air minum, seuntai Rosario, dan Alkitab ukuran kecil. Ketika sampai di kawasan yang memiliki panorama indah, Vincent akan menikmati karunia itu sebagai kebesaran Allah. “Tapi saat berada di rute yang tidak menyenangkan, saya akan mulai berdoa,” akunya. Sembari berjalan, ia berdoa Rosario atau berdoa dengan perantaraan Santo Rocco, pelindung para peziarah atau Santo Martin dan Santo Sebastin, pelindung Garda Swiss.

Sampai Rumah
Via Francigena melintasi tujuh wilayah Italia; Valle d’Aosta, Piedmont, Lombardy, Emilia-Romagna, Liguria, Tuscany, dan Lazio. Rute peziarahan ini menyuguhkan pemandangan yang menakjubkan, namun ada yang membosankan.

Saat sampai di lanskap Tuscany, terutama antara Kota Radicofani dan San Miniato, Vincent benar-benar takjub. “Ini bagian Italia yang paling indah!” ujarnya. Namun semakin berjalan ke arah Utara, pemandangan menjadi membosankan. Dari Pavia menuju Santhia, sawah membentang sejauh mata memandang; pemandangan monoton dengan garis-garis yang lurus, seperti tak ada jeda. Panas dan nyamuk menjadi ujian kesabaran bagi Vincent.

Lepas itu, rute mulai bergunung-gunung hingga mencapai lereng Valle d’Aosta. Dan titik tertinggi di rute ini ada di Great St. Bernard Pass di Swiss; 2469 meter di atas permukaan laut.

Beberapa hari kemudian, Fribourg seolah telah melambaikan tangan selamat datang bagi Vincent. Ia mulai tak asing dengan rute yang dilalui. Ia pun tak perlu lagi membuka peta untuk menunjukkan arah. Vincent sudah amat kenal dengan gunung, pohon, rumput, tanah, dan air yang ia lalui. Akhirnya, setelah sekitar lima pekan berjalan, Vincent sampai di rumah.

Hanya Allah
Aneh. Sesampai di rumah, Vincent justru merasa sepi. “Seperti baru berjalan bersama teman-teman ke suatu tempat, lalu pulang, dan merasa sepi di rumah,” ujarnya.

Ya, Vincent merasa ada sesuatu yang hilang. Selama 37 hari berjalan seorang diri, ia merasakan keintiman dengan Allah. Ia seperti berjalan dengan seorang teman. “Ternyata, saya baru merasakan bahwa ketika saya menyandarkan semua kepada Allah, tidak ada kekhawatiran. Yang ada hanya percaya kepada Allah,” ujarnya bersemangat.

Sepanjang perjalanan pulang, Vincent mengenali semua hal yang ia temui; bangku, pohon besar, atau pinggir jalan. “Terutama saat-saat dalam keraguan dan keputusasaan. Saya melemparkan segala sesuatu ke tanah dan duduk dengan tangan di kepala,” tuturnya.

Ada saat ia bersemangat. Ada pula saat ia menyerah kalah. “Tapi saya selalu mendapat rahmat untuk terus melanjutkan perjalanan. Dan rahmat itu hanya dari Allah. Sekarang, saya amat yakin, satu-satunya harapan hanya kepada Allah,” ucap Vincent.

Kini, Vincent benar-benar sedang mengukir harapan itu. September lalu, ia telah diterima sebagai salah satu mahasiswa di Fakultas Teologi di Universitas Fribourg. Ia ingin membangun fondasi yang kokoh untuk memungkinkan berbicara tentang Allah.

Pilihan studi itu adalah refleksinya sepanjang perjalanan dari Roma menuju Fribourg atau sekira seribu kilometer. Sebuah pengalaman rohani yang ia jalani pada musim panas lalu. “Perjumpaan dengan Allah adalah hadiah yang tak ternilai,” ujarnya.

Berjalan Lagi
Vincent masih mengenggam asa untuk melakukan perjalanan ziarah ke Tanah Suci, Yerusalem. Lagi-lagi, ia ingin melakukannya dengan berjalan kaki. “Saya belum tahu kapan,” katanya, “Tapi jika kesempatan itu muncul, saya sudah memiliki keberanian untuk melakukannya. Jika benar terjadi, itu akan menjadi perjalanan terbesar dalam hidup saya.”

Melangkah pertama, menurutnya, adalah hal yang paling sulit; membutuhkan keberanian dan kepercayaan yang kuat. “Sebenarnya bukan perkara melangkahkan kaki, tetapi menyisihkan kesombongan. Itulah yang sulit. Jika kita mampu menyisihkan kesombongan, kita bisa melakukan perjalanan yang penuh makna dan menghadapi segala tantangan dengan penuh kerendahan hati, serta senantiasa menyandarkan diri kepada penyelenggaraan Ilahi,” tutur Vincent.

Y. Prayogo

HIDUP NO.50 2019, 15 Desember 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here