Beato Mikael Gaspër Suma, OFM (1897 – 1950) : Berjuang untuk Keutuhan Keluarga

153
Beato Mikael Gaspër Suma OFM.
[ofm.org]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Di parokinya, ia berhadapan dengan realitas kehidupan perempuan yang menjadi korban komunis. Realitas ini menjadi fokus pastoral Mikael Gaspër Suma, OFM.

“Dengan berbagai pertimbangan, banyak perempuan memilih kembali ke pasangan, sekalipun mengalami kekerasan seksual. Ada luka, air mata, dan pilu. Kekerasan psikis, fisik, sosial, dan seksual mendominasi perempuan. Bagi rezim komunis, perempuan hanyalah objek semata.”

Kritikan ini pernah dilayangkan Kepala Paroki Gomsique, Albania, Pastor Mikael Gaspër Suma, OFM kepada komunis. Hal ini sehubungan dengan pelecehan seksual yang kerap dialami kaum perempuan di Gomsique. Banyak perempuan yang masih berstatus isteri menjadi korban. Tidak ada pilihan bagi para suami. Alasan keutuhan keluarga, membuat mereka mengiklaskan para isteri bersama tentara komunis.

Pastor Gaspër, seorang gembala yang sangat memahami situasi ini. Ia lalu mendukung ragam program terkait keluarga. Bisa dikatakan, salah satu program unggulan Paroki Gomsique adalah pastoral pada keluarga bermasalah. Sebulan sekali diadakan Misa keluarga kepada suami isteri di paroki. Ia juga kerap melaksanakan kunjungan pastoral kepada keluarga muda. Semua ini dilaksanakan agar iman keluarga tak tergerus oleh aneka persoalan.

Ketika berhadapan dengan persoalan kekerasan kepada kaum perempuan, Pastor Gaspër berdiri paling depan. Banyak cara dibuatnya agar kaum perempuan keluar dari jerat nafsu tentara komunis. Perjuangannya ini berujung kepada kematian. Ia meninggal sebagai martir Kristus karena berjuang mempertahankan keutuhan keluarga-keluarga Katolik di Albania.

Surga Keluarga
Perhatian imam Fransiskan terkait keluarga bukan saja saat dirinya menjadi imam. Kelahiran Shkodrë, Albania, 23 Maret 1897 ini, sudah menunjukkan kepeduliannya kepada keluarga Katolik saat belum memasuki seminari.

Pastor Carlo Pardi, OFM dalam otobiografi para martir Fransiskan Albania menyebutkan, Gaspër seorang yang sangat antusias memuji keluarga Katolik yang setiap minggu rajin mengikuti Misa. “Ia senang bila menengok bangku gereja, ada keluarga inti duduk bersama, berpegangan tangan, memberi senyum di antara mereka, sambil mendengarkan Sabda Allah. Bagi Gaspër kecil, inilah ‘surga’ yang sebenarnya,” tulis Pastor Carlo.

Pastor Carlo melanjutkan, Gaspër memiliki cita-cita yang sangat sederhana yaitu bersama kedua orangtua ke gereja. Ia ingin mendengarkan khotbah para imam bersama orangtua dan saudara-saudarinya. Sayang pengalaman ini tak didapatkannya karena sang ayah, seorang yang malas ke gereja. Ia bisa menyuruh Gaspër dan saudara-saudarinya ke gereja, tetapi sang ayah tak pernah ke gereja. “Inilah kekecewaan terbesar dalam hidup Gaspër,” sebut Carlo.

Kendati demikian, kemalasan sang ayah tak menjadi penghalang dirinya bertemu Tuhan. Gaspër, seorang yang setia kepada iman. Ia seorang yang tak ingin mencoreng muka orangtuanya dengan menceritakan situasi keluarga kepada orang lain. Ia seorang pendengar yang baik. Tak pernah mengeluh, dan tak pernah ingkar janji.

Sebuah pengalaman tentang kesetiaan Gaspër kepada Kristus ditunjukkan saat dirinya berusia 15 tahun. Pada suatu malam Natal, sang ayah berjanji akan menyusul anak-anak ke gereja. Janji ini menjadi kabar gembira bagi Gaspër. Sayangnya, hingga akhir Misa, sang ayah tak kelihatan batang hidungnya. Kedua kakak Gaspër lalu mengajaknya untuk pulang ke rumah, tetapi Gaspër bersikukuh untuk menunggu sang ayah. Dua kakaknya kembali ke rumah dan menceritakan situasi Gaspër kepada sang ayah. Selanjutnya, sang ayah lantas ke gereja. Bagi Gaspër, ini adalah pengalaman pertama bersama sang ayah berada di gereja, duduk bersama, berpegangan tangan sambil menatap bayi Yesus yang terbungkus kain lampin, terbaringdalam palungan di kandang Natal. Sejak peristiwa itu, sang ayah mulai terlihat rajin mengikuti Misa di gereja.

Cerita sederhana ini disebut sebagai awal panggilannya menjadi seorang imam. Ketika keinginan ini disampaikan kepada orangtuanya, tidak ada banyak bantahan. Mereka sangat yakin, Gaspër bisa melalui segala tantangan di seminari dengan baik. Mereka melihat kesungguhan anak ini dan tak pernah ragu soal hidup rohani dan kemampuan akademik yang cemerlang.

Pribadi Sederhana
Gaspër muda, dengan sejuta angan-angan tiba di Seminari Menengah Shkodrë, Albania. Di sana ia bergabung dengan 48 siswa dari seluruh wilayah Albania. Meski datang dari latarbelakang keluarga yang sederhana, Gaspër tak pernah rendah diri. Ia seorang yang percaya diri, namun rendah hati, dan gemar menolong.

Salah satu keutamaan hidup yang masih diingat Rektor Seminari, Pastor Gjhon Palat, OFM adalah pribadi yang sederhana. Ia tidak memiliki banyak pakaian, dan sepertinya hanya tiga potong baju dan celana. Dalam kesederhanaan itu, Gaspër selalu tampil modis, dengan rambut yang selalu disisirnya. Pastor Gjhon juga menyebutkan, Gaspër seorang yang cemerlang dalam akademik, tetapi tidak sombong untuk membagikan talentanya kepada orang lain.

Seminaris Gaspër dengan cepat menyelesaikan studinya lalu memutuskan menjadi imam Ordo Saudara Dina (Ordo Fratrum Minorum/OFM). Panggilan sebagai calon imam Fransiskan ini membawanya ke Kota Innsbruck, Austria untuk mengenyam studi filsafat. Studi teologinya dilaksanakan di Grac dan Lankowitz, Austria. Setela itu, ia diberi kesempatan untuk melanjutkan studinya ke Genoa, Italia hingga ditahbiskan imam di Genoa pada 24 Juli 1921.

Imam baru ini mendapat tugas perdana sebagai staf pengajar di Seminari Menengah Shkodrë, almamaternya. Tak lebih dari lima tahun menjadi pendamping para calon imam, Pastor Gaspër mendapat tugas sebagai Kepala Paroki Gomsique, Albania.

Ketika awal diperkenalkan di paroki ini, banyak orang melirik putus asa kepadanya. Mereka merasa bagaimana mungkin seorang imam muda diutus ke tengah umat yang hidup rohaninya hancur. Faktor utama karena hadirnya rezim komunis di Gomsique. Tidak saja umat, para kolegianya juga memandang bahwa membangun misi di Gomsique sama saja dengan bunuh diri.

Bukan sebuah kebetulan bahwa imam seniornya yang sangat berpengalaman segera dipindahkan. Alasan utama karena tidak ada perubahan dalam diri keluarga-keluarga Katolik. Meski di kalangan para imam misi itu mustahil, tetapi Provinsial Fransiskan Austria sangat yakin bahwa benih-benih perubahan itu ada, tinggal diasah dengan hadirnya misionaris yang energik seperti Pastor Gaspër.

Memberi Nyawa
Ketika mendengar akan ditugaskan di Gomsique, Pastor Gaspër meyakini bahwa ini adalah perjalanan terakhirnya. Sebelum keberangkatannya, ia meminta dukungan dan doa para kolegianya. Misi ini membawanya tiba di Gomsique pada Februari 1947.

Kesan pertama adalah Gomsique butuh pembenahan. Hidup moralitas keluarga Katolik carut marut. Banyak istri dipaksa tinggal bersama di barak tentara komunis hanya untuk sekadar memenuhi kebutuhan seksual para tentara. Para suami tak bisa berbuat banyak, hanya berpasrah.

Program pastoral keluarga pertama yang dibuatnya adalah hadir dan menyapa keluarga-keluarga yang bermasalah. Ia terlibat secara langsung dalam usaha menyembunyikan beberapa perempuan dari tentara komunis. Tidak saja itu, ia merenovasi pastorannya menjadi lebih luas agar bisa memberi tempat yang nyaman bagi suami isteri untuk berdoa. Selanjutnya, ia mulai memprovokasi para suami agar tidak perlu takut dan mengambil tindakan tegas melawan rezim komunis. Ia bahkan berjanji akan melindungi keluarga-keluarga Katolik bahkan dengan nyawanya sendiri.

Kurang lebih setahun, Pastor Gaspër melayani parokinya. Selama itu pula, ia terus getol mempertahankan keluarga-keluarga Katolik dari genggaman komunis. Pastoral yang diusungnya tidak dengan model gerilya tetapi frontal menyampaikan kritiknya kepada komunis secara terang-terangan baik lewat khotbah ataupun tulisan.

Salah satu tulisannya yang paling keras, dan dianggap melecehkan Enver Hoxha (1908-1948), pemimpin Partai Buruh Albania yang beraviliasi komunis. Ia berani berteriak dari altar ke altar untuk melawan kebijakan Hoxha. Ia berpandangan bahwa Hoxha adalah virus bagi keluarga-keluarga Katolik Albania.

Setelah tulisannya yang keras itu, Pastor Gaspër ditangkap dan dijebloskan ke penjara di Scutari, Albania. Kemudian ia dipindahkan ke sebuah penjara, bekas biara di Gjudadol. Di sini dirinya diinterogasi panjang lebar dan disiksa. Rezim penjara yang keras dan kurangnya perhatian medis memperburuk situasi kesehatannya. Ia menderita penyakit kanker.

Ia meninggal dalam penjara pada 16 April 1950. Ia dibeatifikasi di Katedral St. Stefanus Shkodër, Albania, Sabtu, 5 November 2016 oleh Kardinal Angelo Amato SDB, Prefek Kongregasi Penggelaran Kudus Vatikan.

Sedikitnya 38 martir terbunuh di Albania antara tahun 1945-1974 oleh rezim komunis. Di antara mereka yang dibeatifikasi adalah delapan biarawan Fransiskan, seorang uskup dan tujuh imam. Mereka berasal dari berbagai negara seperti Albania, Italia, Polandia, Serbia, Austria, dan Jerman. Pesta para martir Albania ini dirayakan setiap tanggal 5 November.

Yusti. H. Wuarmanuk

HIDUP NO.50 2019, 15 Desember 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here