Pastor Hieronymus Simorangkir : Mentalitas Banteng Saja Tidak Cukup

641
Pastor Hieronymus Simorangkir.
[NN/Dok.Pribadi]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Setelah 20 tahun lebih menjadi guru filsafat, ia melihat, bersahabat dengan filsafat akan membantu seorang pribadi mampu berpikir kritis, bernarasi dengan baik dan benar. Prasyarat seperti itu perlu dimiliki setiap mahasiswa, khususnya para calon tenaga pastoral di rumah pendidikan.

Sejak tamat mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR), belum terbersit keinginan dalam diri Hieronymus Simorangkir kecil untuk menjadi seorang imam. Namun tamat SR, sang ayah mengusulkan agar ia masuk ke Seminari Menengah Christus Sacerdos, Pematang Siantar, Sumatera Utara. Tahap demi tahap, mulailah ia menikmati indahnya duduk di bangku prima, secunda, tertia, dan rethorica (sebutan untuk kelas-kelas di Seminari Menengah) kala itu. Ia pun mulai paham cara berdoa bersama, olah raga bersama, dan lama-lama ia mulai tahu bagaimana mempersiapkan diri menjadi seorang imam. “Dulu semua pengajar saya adalah frater dan pastor dari Belanda. Kekhasan dan karakter mereka adalah kedisiplinan dan itulah yang bisa menjadikan saya setia. Semua aturan main kuikuti,” ungkap Pastor Hiero, demikian ia akrab disapa.

Setelah terbiasa dengan aturan main dan disiplin di seminari, ia mulai belajar untuk tertib berbicara. “Dulu setiap hari ada pelajaran Bahasa Latin. Saya pun mencoba menekuninya dan saya yakin hal itu akan berguna nantinya,” imbuhnya. Sebenarnya ia sangat senang dengan ilmu aljabar atau eksakta, selain belajar tata bahasa lainnya. Kala itu Hieronymus menjadi salah satu seminaris dari 60 rekan yang lain. Dalam perjalanan triwulan (kurikulum waktu itu), selalu ada rekan yang harus tereliminasi. “Saya sangat sedih sekali, bahkan hingga menangis jika ada teman angkatan yang keluar. Hingga menjelang kelas akhir, jumlah kami tinggal tujuh, dan hingga tahbisan, tinggal saya sendiri saja,” ungkapnya. Usai menamatkan pendidikan itu, ia ditahbiskan sebagai diakon oleh Yustinus Kardinal Darmoyuwono, kemudian ditahbiskan sebagai imam diosesan Keuskupan Sibolga oleh Mgr. Anicetus Bongsu Sinaga, OFMCap, sebagai buah sulung imam yang ditahbiskan uskup baru tersebut.

Pengabdian di Dunia Pendidikan
Sebagai imam muda yang berkarya di Nias, ia dipanggil oleh Uskup Sinaga dan diutus untuk pergi studi ke Roma. “Sebelumnya tidak ada pembicaraan empat mata dengan uskup terkait studi saya ke Roma. Namun karena imam diosesan itu ibarat ‘misdinar’ uskup, maka saya pun taat,” imbuhnya. Ia pun dengan mantap menjalani program S-2 Filsafat di Pontificia Universita’ Gregoriana, Roma, Italia. Selanjutnya Studi-Riset Doktoral di Tübingen Universität, Jerman, S-3 Filsafat di Pontificia Universita’ Gregoriana. Ia amat semangat menjalani perutusan studi ini. Sejak awal, ia senang dengan iklim kompetitif dalam belajar, apalagi ia gemar sekali membaca artikel-artikel bahasa asing dan gemar belajar bahasa. Meski mulanya tidak menyukai filsafat, namun ia merasa bahwa filsafat membantunya memahami keindahan dan estetika kehidupan ini. “Mulanya belajar filsafat, saya serasa dipaksa untuk ikut buah pemikiran orang, bukan pikiran kita sendiri. Akan tetapi dalam perjalanan waktu saya memahami, bahwa dengan itu saya pun harus melahirkan buah pemikiran yang baru dan semakin menempa keyakinan akan Tuhan yang saya imani,” ungkapnya.

Bagi Doktor Filsafat yang telah mengabdikan diri selama 23 tahun di Fakultas Filsafat Unika Santo Thomas Medan dan STFT St Yohanes Pematang Siantar ini, filsafat dapat membantu para calon imam dan imam untuk semakin kritis dan memiliki dasar untuk mempertanggungjawabkan imannya. Dengan filsafat, tata keyakinan religius pun bisa dikritisi kembali. Dengan demikian, ia sangat bersyukur bahwa telah diutus untuk menjadi pembina para calon imam dan tenaga pastoral, sekaligus formatores di rumah bina di Seminari Tinggi St Petrus, Pematang Siantar. “Pemikiran saya selalu dimudakan ketika berhadapan dengan mahasiswa. Dengan demikian panggilan saya pun semakin diteguhkan di tengah perjumpaan mahasiswa yang semangat berjuang,” tuturnya.

Di tengah sukacita dalam pendampingan para calon imam ini, terselip juga sebuah kecemasan, yaitu perjuangan di tengah disruption. Teknologi semakin canggih, dan ketika kita lengah, maka mahasiswa khususnya akan masuk dalam budaya instan, kehilangan daya juang membaca buku-buku tebal, ketika harus menyiapkan khotbah akan kehilangan ilmu hermeneutik-penafsiran dan homiletika. Hal yang mengerikan adalah calon imam dan imam yang tidak pernah bermeditasi dan berefleksi karena semua teks ada di layar dan tinggal membacakan saja. “Ini sangat menakutkan dan perlu diwaspadai sungguh,” katanya. Dalam hal ini perlu kejujuran sekaligus kesadaran untuk mau dibimbing dan diarahkan, khususnya dalam bimbingan rohani. “Sebagai pembimbing rohani, saya akan belajar memberi keteladanan hidup, mendengarkan, dan berusaha menjadikan anak bimbingan rohani saya itu semakin yakin dan mau ditemani,” imbuhnya.

Mentalitas Matador
Hingga di usianya yang kian ‘menaik’ ini, Pastor Hiero selalu memudakan dirinya dengan membaca. Baginya membaca adalah asupan untuk merawat syaraf-syaraf otak. Hingga kini ia masih gemar mendidik diri dengan membaca dan menulis, juga berdiskusi. Bahkan ia pun kerap mengulang-ulang refleksi dari sebuah lagu Pop Batak, “Anak Medan”. Salah satu yang ia renungkan adalah kalimat, “kambing” di kampung sendiri, banteng di perantauan. Namun sebagai penikmat dunia akademisi ini, mentalitas menjadi banteng saja tidak cukup. Harus lebih dari itu, yakni menjadi matador. Dengan bekal leadership dan management yang baik di dunia pendidikan, mentalitas matador harus ada dalam diri saya, yakni bisa memengaruhi, mengatur, dan mengelola “ganasnya” bantengbanteng” itu. Maka, mentalitas matador ini sangat berguna bagi saya dalam mengelola dan mengatur dinamika hidup di dunia pendidikan,” ungkap mantan Rektor Unika St Thomas Medan (2011-2016).

Thomas Aquinas menjadi sosok inspiratif bagi Pastor Hiero. Bahkan sosok ini sungguh memengaruhi cara pikirnya. Baginya, Thomas selalu meletakkan buah pemikirannya di hadapan Tuhan. Dia sudah “hijrah” menyeberang hingga pada pusat kehidupan, yaitu Tuhan. Maka hal itulah yang juga semakin menjiwai karya-karyanya di dunia pendidikan para calon imam ini. Hal itulah yang juga memacunya untuk menuliskan buku “Estetika: Indah di Seberang,” yang dirilis pada 30/10 silam bertepatan dengan perayaan purnabaktinya sebagai dosen filsafat di STFT Santo Yohanes Pematang Siantar dan Unika St Thomas, Medan. Buku tersebut merupakan pengembangan refleksi filosofisnya, bahwa kehendak Allah itu tidak pernah berhenti dalam hidup manusia. “Kita selalu ditarik untuk terus berada dalam pencarian untuk mengetahui dan memahami kehendak Allah itu. Kendati kadang kita pun berada dalam ranah misteri. Dengan ini pun sebagai insan yang berpikir dan rasional, keindahan pun harus bisa “hijrah” menyeberang sampai pada Tuhan yang kita imani, itulah Keindahan Tertinggi, yakni peristiwa salib dan kebangkitan-Nya untuk penebusan manusia”.

Bagi Pastor Hiero, purnabakti sebagai dosen ini hanyalah soal temporal saja, tidak memengaruhi karya dan semangat untuk terus belajar dan meng-upgrade diri terus-menerus. Bahkan ia akan terus merawat ingatannya dengan membaca dan menulis di masa sekarang ini. Baginya, ilmu pengetahuan dalam dirinya adalah kekuatan, Ipsa Scientia Potestas Est. Inilah yang menjadi moto dan spirit baginya di dunia pendidikan. Kini semangat ini pun masih akan ia kembangkan di lahan perutusan yang baru sebagai pengajar Filsafat Epistemologi di STP Sibolga di samping kesibukannya sebagai formatores di Seminari Menengah Aek Tolang Sibolga, Dewan Konsultores Keuskupan Sibolga, dan Tim Visioner Keuskupan sekaligus menjadi Tim Pembangunan Chatolic Center, Keuskupan Sibolga.

Pastor Hieronymus Simorangkir

Tempat/Tanggal Lahir : Sibolga, 16 September 1954

Pendidikan :
• TK Mutiara Katolik (1966), Sibolga
• SD RK (1967), Sibolga
• Seminari Menengah: SMP (1970), SMA (1973) dan Rhetorica (1974), Pematang Siantar
• S-1 Kateketik (1978), Sekolah Tinggi Kateketik Pradnyawidya, Yogyakarta
• BA Filsafat-Teologi (1980), IKIP Sanata Dharma Yogyakarta
• S-1 Filsafat-Teologi (1981), IKIP Sanata Dharma Yogyakarta
• S-2 Teologi (Lokal, 1983) Kelengkapan Pendidikan Imam, Institut Filsafat-Teologi, Kentungan, Yogyakarta
• S-2 Filsafat (1987) Pontificia Universita’ Gregoriana, Roma, Italia; Selanjutnya Studi-Riset Doktoral di Tübingen Universität, Jerman
• S-3 Filsafat (1992) Pontificia Universita’ Gregoriana, Roma – Italia

Karier :
• Berkarya di Nias sampai tahun 1986
• Dosen Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat & Teologi Santo Yohanes dan Universitas Katolik Santo Thomas, 1992-2019
• Formator Seminari Tinggi Santo Petrus, Pematang Siantar, 1992-2019
• Dekan Fakultas Filsafat Universitas Katolik Santo Thomas dan Ketua STFT Santo Yohanes: 2001-2005, 2005-2009, dan 2009-2010
• Rektor Universitas Katolik Santo Thomas, Medan, 2012-2016
• Dosen Sekolah Tinggi Pastoral Dian Mandala, Gunung Sitoli, Nias, sejak 2019
• Tim Visioner Keuskupan Sibolga, sejak 2019
• Konsultores Keuskupan Sibolga, sejak 2019
• Dewan Pembina Yayasan Budi Bakti Keuskupan Sibolga, sejak 2019
• Formator Seminari Menengah Keuskupan Sibolga, sejak 2019

Frater Nicolaus Heru Andrianto

HIDUP NO.45 2019, 10 November 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here