HIDUPKATOLIK.com – Gereja mulai memberikan perhatian pada kesehatan mental. Ini adalah salah satu upaya mewujudkan kesejahteraan holistik bagi manusia, citra Allah yang adalah makhluk fisik, psikologis, dan spiritual. Berikut petikan wawancara HIDUP dengan Romo Paulus Erwin Sasmito.
Dalam beberapa kesempatan, Paus Fransiskus menunjukkan perhatian khusus pada isu kesehatan mental. Bapa Suci bahkan secara
khusus melakukan audiensi dengan beberapa
penderita gangguan mental. Seperti apa ajaran
Gereja tentang (kepedulian pada) kesehatan
mental?
Bapa Paus menantang kita semakin peduli dan punya hati – mendekati mereka yang berjuang melawan sakit mental. Paus berkata, “Yang paling dibutuhkan Gereja dewasa ini adalah kemampuan
untuk menyembuhkan luka dan menghangatkan hati bagi umat beriman; dan ini membutuhkan kedekatan dan semakin dekat lagi.” Komunitas-komunitas Gerejani mestinya menjadi tempat kondusif untuk mendukung orang dengan gangguan mental dan keluarganya. Gereja konsisten menghidupi ajarannya sebagai Tubuh Kristus yang hidup; artinya Gereja merangkul dan
mengakui panggilan dan kehadiran khas masing-masing pribadi anggotanya. Siapa pun itu, apa pun latar belakang dan keadaannya, ia diterima sebagai satu kesatuan Tubuh Kristus yang hidup. Paus mengajak kita memiliki kepedulian dan cinta yang tanpa menghakimi (unconditional non-judgemental love) kepada mereka yang terpinggirkan dan terabaikan.
Sikap merangkul (tidak menghakimi) dengan cinta tanpa syarat Gereja menjadi dukungan psikologis, sosial, dan spiritual luar biasa bagi kesejahteraan
secara menyeluruh mereka yang terluka, terabaikan, dan tersingkirkan karena gangguan mental, juga keluarganya. Disadari bahwa manusia tidak hanya terdiri dari tubuh; tetapi juga mind dan
spirit. Kesehatan mental adalah salah satu upaya mewujudkan kesejahteraan holistik manusia, citra Allah, makhluk fisik, psikologis, dan spiritual.
Peran agama dikatakan tak seberapa dalam hal kesehatan mental. Lantas, seberapa perlunya
Gereja ikut berpartisipasi dalam mendukung
kesehatan mental?
Menurut saya, kesehatan itu holistik, multidimensi, menyangkut aspek fisik–biologis, psikis-emosional, sosial dan spiritual. Aspek-aspek ini saling terkait. Orang yang secara mental-psikis terganggu, akan mengalami masalah secara fisik, sosial, bahkan spiritualnya. Sebaliknya, orang yang spiritualnya baik (mengalami cinta dan kedekatan dengan Allah), akan berpengaruh pula pada keadaan fisik, psikis, dan kehidupan sosialnya. Agama mestinya tidak berhenti pada aspek-aspek luaran – liturgis
materialnya; namun mampu menyentuh sisi afeksi dan kedalaman spiritual. Konsolasi (kegembiraan rohani), perasaan dicintai Tuhan, dan pengalaman
syukur memberi kontribusi positif pada kesehatan mental. Harapannya, Gereja mampu mengantar orang sampai ke pengalaman rohani-spiritual ini. Dalam Kitab Suci, setidaknya 367 kali dikatakan
‘jangan takut’ dan ‘jangan khawatir’. Sabda Tuhan ini menjadi pegangan dan kekuatan di tengah berbagai macam kesulitan dan persoalan.
Namun, gangguan mental perlu penanganan khusus. Jangan sampai terlalu gampang mengaitkan masalah kejiwaan dengan rohani spiritual, misal: penyakit mental dikaitkan dengan dosa; penyakit mental disembuhkan dengan doa tertentu.
Sering, kesehatan mental dikaitkan dengan gangguan setan dan kurangnya iman. Keluarga
sering membawa Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) ke pengobatan alternatif, termasuk dukun. Bagaimana Romo melihat ini?
Berhadapan dengan situasi ini, menurut saya Gereja perlu berada di garis terdepan memberi pencerahan, berupa pemahaman tepat mengenai kesehatan mental dan kepeduliaan konkret pada
ODGJ. Bukan hanya penderita tapi juga keluarga dan lingkungannya. Perlu pencerahan; kerasukan setan berbeda dengan gangguan mental. Orang yang kerasukan biasanya tidak mengenal identitas dirinya dengan benar, muncul “kepribadian baru”. Dia menyebut diri “setan” dan ingin mengutuk serta menghujat Allah. Ia memiliki kekuatan besar yang tak semestinya. Bisa segera sembuh setelah roh jahat diusir darinya.
Sedangkan, gangguan mental seperti skizofrenia, biasanya kesadaran akan realitas penderita terganggu. Ia tidak dapat mengenali dirinya, bahkan tidak menyadari dirinya sakit. Mereka
umumnya punya tekanan batin amat berat dan mendalam; bahkan kadang sampai menyiksa diri. Ada delusi dan halusinasi akan sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Penderita mudah curiga, cenderung depresi, cemas, tegang, dan emosi tidak stabil. Ia menjadi pasif dan tidak ada perhatian pada keluarga atau lingkungan; ia hidup dalam dunianya sendiri, idak mampu mengurus dirinya sendiri; emosinya menjadi datar.
Gereja mengajarkan kita terbuka pada ilmu saintifik dan para ahli guna menegakkan diagnosa yang jelas dan akurat mengenai penyakit mental yang adalah berbeda dari kerasukan setan. Dengan mengerti akan gejala, penyebab dan akibat gangguan mental, Gereja bisa semakin mampu memberi penanganan tepat bagi ODGJ.
Hingga saat ini, pastoral konseling di tingkat
keuskupan baru ada di Keuskupan Bogor. Apakah kesehatan mental kurang menjadi prioritas dalam Gereja Indonesia?
“Bukan orang sehat, melainkan orang sakit yang memerlukan tabib”. Sabda Tuhan ini dihidupi Gereja dalam kepeduliaan dan keberpihakannya pada mereka yang lemah dan tersingkir – dapat dimengerti dalam berbagai aspek. Orang dengan gangguan mental lemah secara mental dan emosional-psikis, dan tersingkir secara sosial karena stigma-stigma negatif di masyarakat.
Kepada mereka, Gereja memberi perhatian dalam karya pastoralnya. Hanya perlu diakui, Gereja sebagai lembaga keagamaan, lebih banyak memberi perhatian pada aspek spiritual-moral.
Kesadaran bahwa manusia makhluk multi-dimensi: fisik, psikis, sosial, dan spiritual, kiranya semakin menumbuhkembangkan kepekaan dan menggerakkan komitmen Gereja untuk mengupayakan kesehatan mental sebagai bagian pastoral yang holistik.
Paroki-paroki di Keuskupan Agung Jakarta,
umumnya memiliki konseling keluarga. Apakah
keluarga menjadi nomor satu yang paling terkait dengan isu gangguan mental?
Banyak teori psikologi menyebut ODGJ disebabkan faktor biologis – genetik; juga faktor lingkungan, yakni pola asuh atau situasi lingkungan yang
membuat orang trauma/ depresi berlebihan. Maka, tidak salah bila paroki-paroki punya perhatian khusus pada konseling keluarga. Dari keluarga orang tumbuh berkembang. Dari keluarga, mestinya multi-dimensi manusia dirawat dan dikembangkan. Secara fisik-biologis, seseorang mestinya mendapat nutrisi cukup dari keluarga sejak kecil.
Secara psikologis-emosional, anak harusnya memperoleh kehangatan cinta afeksi dari orang-orang yang mengasuhnya. Secara sosial, seorang pribadi harusnya mampu belajar berelasi dan hidup bersama dalam keluarga.
Di tengah tantangan zaman now yang bisa membuat keluarga-keluarga Kristiani ‘ambyar’, Gereja perlu memberi perhatian khusus pada
keluarga. Keluargalah yang diharapkan sebagai lingkungan hidup pertama di mana orang tumbuh-berkembang sehat secara biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.
Pola asuh dalam keluarga disebutkan sangat
mempengaruhi kesehatan mental. Bagaimana
sebaiknya keluarga Katolik mengasuh anak-anak?
Kesehatan mental terkait erat dengan luka psikologis yang sering tidak begitu dipedulikan daripada luka fisik. Di masyarakat, khususnya keluarga, ketika lutut terluka karena terjatuh, segera dicarikan betadine. Namun, bagaimana
dengan luka psikologis? Saat anak merasa terluka karena dipermalukan, dihina, dan diabaikan, apakah orangtua segera mencarikan obat? Peristiwa traumatis, pengalaman pahit, perlakuan keras, menekan, dan tidak adil dapat menyisakan luka secara psikologis mental dalam diri anak atau luka batin.
Luka ini menimbulkan kesedihan mendalam, perasaan tak menentu, amarah, emosi tak terkendali, kejengkelan, hidup tak terarah, bahkan bisa menimbulkan keinginan mengakhiri hidup. Jika terus dibiarkan, tak heran gangguan mental
menimpa seseorang.
Pada keluarga-keluarga, sering saya sampaikan, anak butuh 5A: affection (kehangatan dan kasih sayang); affirmation (diteguhkan dan dikuatkan), appreciation (dihargai), acceptance (penerimaan), dan attention (perhatian, sapaan). Idealnya, 5A diperoleh dalam perkembangan anak bersama orangtua di keluarga. Kenyataannya kebutuhan ini tak terpenuhi. Akibatnya, anak mengalami luka: merasa diabaikan, ditolak, dihina, dikhianati, dan diperlakukan tidak adil. Semua ini mengerucut pada rasa “tidak dicintai” dalam dirinya. Perasaan negatif ini bisa menjadi bom waktu yang bisa meledak dan menyebabkan gangguan mental.
Kesehatan mental tidak hanya terkait tindakan kuratif pada si sakit; tetapi usaha panjang yaitu upaya promotif dan preventif dari keluarga. Parental guidance, holistic wellbeing, dan khususnya mental health perlu mendapat perhatian dalam katekese keluarga.
Bagaimana komunitas-komunitas dalam Gereja bisa turut peduli kesehatan mental? Apa hal sederhana berdampak nyata yang bisa dilakukan, selain konseling?
Komunitas kita bisa ambil bagian dalam upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Promotif, dengan memberi edukasi dasar tentang kesehatan mental melalui komunitas-komunitas, seperti anak-anak, OMK, kursus persiapan perkawinan, dan keluarga-keluarga. Sebarkan pamflet atau brosur tentang pentingnya sehat mental, pengenalan kepribadian, anti-bullying di Gereja. Preventif, Gereja melibatkan ahli untuk
memberi pemahaman mendalam pada keluarga-keluarga. Parental guidance dan penyembuhan luka batin adalah contoh konkret materi yang bisa ditawarkan pada keluarga. Kuratif, pastoral counseling care perlu mendapat perhatian khusus bagi Gereja. Imam sebagai pelayan Gereja perlu dibekali pengetahuan dan kemampuan dasar tentang psikologi-konseling agar mampu
menjalankan tugas dan perannya secara profesional.
Hermina Wulohering
HIDUP NO.05 2020, 2 Februari 2020