ROMO YOHANES GUNAWAN: INSPIRASI DARI SANG PANGON BEBEK

400
Rate this post

Hidupkatolik.com Romo Gunawan, sapaannya, mulai menekuni dunia tulis-menulis sejak  di Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan, Magelang. Ia juga gemar mengarsipkan data-data penting seputar Keuskupan Agung Semarang (KAS). Kecintaan dan ketekunannya itu membuatnya didapuk sebagai pengurus Aquila (majalah Seminari Mertoyudan), Wara Sastra (mading berbahasa Jawa), Garam Newsletter (buletin milik para frater masa tahun orientasi rohani di Jangli, Semarang), dan Salus (majalah Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan).

Setelah menjadi imam, ia juga didaulat menjadi Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Salam Damai, majalah bulanan umat KAS (2013-2017). Pengalaman di dunia jurnalistik itu menjadi hobi sekaligus muara cintanya untuk menyumbangkan gagasan bagi banyak orang. Bahkan hal itulah yang juga menjadi salah satu pemacu niatnya untuk menulis beberapa buku, antara lain Spiritualitas Kepemimpinan, Spiritualitas Maria, dan Spiritualitas Imam Diosesan.

Dalam pengalaman panggilan, ia pernah diterpa “ombak”, yang nyaris menenggelamkannya sebagai calon imam. Tahun 2006, ia dan keluarganya merasakan gempa Yogyakarta. Setahun kemudian, kakak kandungnya, Fransiskus Eko Nugroho, meninggal. Orangtuanya shock. Sementara, sang adik, Antonius Tri Handono, masih sekolah.

Tafsir Mimpi

Bagi Gunawan, masa itu merupakan salah satu periode terberat dalam hidupnya. Kala itu, ia tingkat lima di Seminari Tinggi Kentungan. Situasi dilematis. Namun, di hati terdalamnya ia lebih condong untuk menanggalkan jubah dan kembali ke keluarga. Ia ingin bekerja untuk membiayai pendidikan adiknya.

Di tengah kegalauan itu, malam harinya ia bermimpi. “Suatu sore, saya diajak jalan-jalan oleh Mgr. Ignatius Suharyo (Kardinal Suharyo) di kebun belakang Seminari Kentungan. Tiba-tiba, Bapa Uskup meminta saya untuk memotong rambutnya. ‘Frater, maukah frater memotong rambut saya?’ Lama saya terdiam. Kemudian, ia tanya kedua kali hingga ketiga kalinya dengan pertanyaan yang sama. Saya bingung karena saya tidak bisa memotong rambut. Saya bingung harus menjawab apa. Saya akhirnya mengatakan, saya bersedia Monsinyur,” kenang putra pasangan Mikael Sukino dan Anastasia Sukeni, menceritakan mimpinya. 

Pada satu kesempatan bimbingan rohani, Gunawan menceritakan mimpinya kepada Romo St. Darmawijaya, pembimbing rohani sekaligus ahli Kitab Suci. Perjumpaan itu memberi pencerahan kepada Gunawan. Romo Darmawijaya menafsirkan mimpi itu demikian, “Frater, dalam Kitab Suci, Allah juga berkarya lewat mimpi ketika seseorang mengalami kebingungan. Misalnya ketika Yusuf dalam Perjanjian Lama, juga Bapa Yosef dalam Perjanjian Baru sebelum akhirnya mengambil Maria sebagai istrinya, juga diingatkan Allah lewat mimpi.”

Romo Darmawijaya melanjutkan tafsirnya, “Rambut itukan letaknya di atas kepala. Di dalam kepala itu kan ada otak untuk berpikir. Maka sebenarnya di dalam otak itulah Bapa Uskup memikirkan keuskupan, Gereja, umat Allah, dan juga para imamnya. Maka mencukur rambut berarti meringankan atau memotong segala beban yang dipikirkan oleh Bapa Uskup. Dengan itu, jika kamu menjadi imam diosesan, ada dua kemungkinan yang terjadi. Apakah kamu ingin membantu Bapa Uskup? Atau kamu justru ingin merepotkan Bapa Uskup?”

Mimpi, penjelasan Romo Darmawijaya, serta olah rohani menguatkan panggilan sekaligus mengantar Gunawan untuk menerima Sakramen Imamat. Waktu itu, dalam hatinya, ia berharap, Mgr. Suharyo yang menahbiskan. Namun, Vatikan menunjuk Uskup Agung Semarang itu sebagai Uskup Agung Jakarta. Akhirnya, ia ditahbiskan oleh Mgr. Johannes Maria Trilaksyanta Pujasumarta.

Model Kepemimpinan

Gunawan memilih moto tahbisan ad omne bonum paratus, artinya taat dan siap untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik. Poin permenungan dari Surat Rasul Paulus kepada Titus 3:1 itu memberi arah hidup kepadanya untuk selalu siap sedia dalam segala bentuk perutusan panggilan.

Usai ditahbiskan, Romo Gunawan bersama dua rekannya, Romo Dominikus Sukristiono dan Romo Aloysius Triyanto, menjalani studi lanjut. Ia lulus dengan predikat summa cum laude. Tujuh tahun kemudian, Uskup Agung Semarang, Mgr Robertus Rubiyatmoko, mengirimnya ke Roma untuk mendalami Teologi Spiritual dengan spesialisasi Pembinaan Panggilan Imam di Universitas Kepausan Gregoriana. Ia lulus dengan predikat magna cum laude. Kembali dari sana, Romo Gunawan menjadi formator di  Seminari Menengah Mertoyudan.

Di tengah litani tugasnya sebagai pendamping para seminaris, Romo Gunawan terus mengasah kemampuan menulis. Belum lama ini, ia meluncurkan buku Uskup Tanpa Imam Diosesan Seperti Macan Ompong. Karya tersebut ia persembahkan sebagai ungkapan syukur atas persaudaraan imam diosesan dan “kado” ulang tahun ke-64 UNIO KAS. 

Pada tahun yang sama pula, ia juga meluncurkan buku tentang Kardinal Suharyo. Karyanya itu berjudul Sang Pangon Bebek Jadi Kardinal. “Buku yang baru saja direlease (2019) ini juga bagian dari pengembangan tesis saya tahun 2012. (Buku ini) berisi sejarah hidup Mgr. Suharyo ketika masih kecil hingga ditunjuk dan dilantik oleh Bapa Suci Fransiskus sebagai kardinal ketiga Indonesia,” tutur kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 13 Agustus 1983 ini.

Sejak menyusun tesis di Fakultas Teologi Sanata Dharma, ia menggarap analisanya terhadap kepemimpinan Mgr Suharyo ketika menjadi pangon (gembala) di KAS (1997-2009). “Ketika saya menulis tesis, Romo Fl. Hasto Rosariyanto, SJ selaku pembimbing bertanya kepada saya, ‘kog kamu berani menuliskan analisis kepemimpinan Mgr Suharyo? Beliau masih hidup lho’. Ya, yang saya analisis kan seputar karya Beliau ketika di KAS. Saya membatasi kepemimpinannya hanya di KAS” ungkapnya.

Pada 22 Desember 2019, lebih dari dua ribu umat Katolik di Yogyakarta dan sekitarnya menghadiri perhelatan peluncuran buku Sang Pangon Bebek Jadi Kardinal di Sleman City Hall. Kardinal Suharyo hadir dalam acara tersebut. Pada kesempatan itu juga Kardinal Suharyo mengungkapkan pola kepemimpinannya yang terinspirasi oleh gaya St. Barnabas.

Bagi Kardinal Suharyo, meski St. Barnabas dikenal sebagai orang hebat, namun dirinya tidak terlalu dikenal. Kardinal juga mengungkapkan, St. Barnabas merupakan pemimpin yang visioner. Ia memimpin Gereja Antiokhia dan mengawali gerakan karya misi yang sekaligus menjadi model Gereja yang berkembang.

Inspirasi Panggilan

Romo Gunawan amat menyadari, Kardinal Suharyo ikut mewarnai sejarah panggilannya. Kardinal Suharyo juga menginspirasinya sebagai figur gembala yang rendah hati, murah hati, berbelaskasih, dan gemati (setia).

Di dalam buku tersebut juga terdapat ulasan khusus 27 Surat Gembala Mgr. Suharyo selama di KAS. “Surat-surat gembala itu saya kumpulkan dan saya ketik ulang. Maka saya sungguh terbantu dengan hobi pengarsipan itu. Selain itu beberapa file tulisan saya seputar imam diosesan juga masih tersimpan rapi di komputer saya,” bebernya.

Frater Nicolaus Heru Andrianto

HIDUP No.08, 23 Februari 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here