Ini Kisah Komunitas Kapelan Penjara Padua yang Menulis Renungan Jalan Salib untuk Jumat Agung di Vatikan

362
Seorang narapidana muda melihat sekelompok narapidana lain selama latihan paduan suara di pusat penahanan Las Garzas de Pacora, Panama, Rabu, 16 Januari 2019, selama kunjungan Paus Francis ke negara itu. (Kredit: Arnulfo Franco / AP.)
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM — Renungan jalan salib pada Jumat Agung di Vatikan ini masing-masing menawarkan kisah pribadi. Renungan ini merenungkan kebencian, kemarahan, rasa bersalah, keputusasaan dan penyesalan, serta harapan, iman, dan belas kasih. Berikut kisah mereka:

Seorang tahanan merenungkan hukuman mati Yesus. Ia sendiri dihukum seumur hidup bersama ayahnya. Ia mengakui bahwa hukuman terberat adalah yang datang dari hati nuraninya sendiri. “Pada malam hari saya terbangun karena hati saya ingin menemukan setitik cahaya dari kisah pahit hidupku,” ungkapnya.

Ia pun mengakui secara jujur bahwa penjara adalah jalan keselamatan baginya. Bahkan berkali-kali ia merasa seperti Barabas (penjahat yang dibebaskan ketika Yesus dikecam) di mana jika orang lain melihatnya seperti Barabas, hal itu tidak membuatnya marah. “Dalam hati, saya tahu bahwa Ia yang tidak bersalah itu, malah dihukum seperti saya, datang untuk menemukan saya di penjara untuk mengajari saya tentang kehidupan,” tulisnya.

Sementara itu ada seorang tahanan yang didakwa dengan pembunuhan. Ia menuliskan renungan mengenai kejatuhan pertama Yesus ketika memikul salib, mengatakan kejatuhannya adalah saat ia mengambil nyawa seseorang. “Bagiku jatuh adalah kematian, “ tulisnya.

Ia pun mengingat masa kecilnya yang tidak bahagia sehingga membuatnya marah. Tahanan itu mengatakan dia tidak menyadari bahwa kejahatan perlahan tumbuh di dalam dirinya. “Kejatuhan saya yang pertama adalah saat gagal menyadari kebaikan hadir di dalam hidup ini. Lalu kejatuhan yang kedua adalah ketika saya membunuh,” ungkapnya dalam renungan.

Selain itu terdapat kisah orangtua yang putrinya dibunuh. Mereka menuliskan bagaimana neraka yang telah mereka alami sejak kematian putri mereka, yang bahkan keadilan tidak dapat menyembuhkan. “Namun, ketika keputusasaan tampaknya mengambil alih, Tuhan dengan cara yang berbeda datang untuk menemui kita,” tutur mereka. menambahkan bahwa perintah untuk melakukan tindakan amal kasih bagi sesama telah menjadi semacam penyelamatan.”Kami tidak ingin menyerah pada kejahatan,” ungkap mereka.

Keduanya dengan sadar menyepakati bahwa kasih Tuhan benar-benar mampu memperbarui kehidupan karena sebelumnya Yesus pun mengalami penderitaan manusia sehingga dapat mengalami kasih sayang sejati.

Merefleksikan belas kasih yang ditunjukkan oleh Simon dari Kirene, yang membantu Yesus memikul salibnya, seorang tahanan lain mengatakan bahwa ia mampu melihat sosok Simon dari Kirene di tempat-tempat yang terduga. Bukan hanya dengan para sukarelawan yang datang membantu para tahanan, tetapi juga oleh teman satu selnya. “Satu-satunya harta kekayaan yang saya miliki adalah sekotak permen. Saya gemar makan manis, tetapi saya memutuskan untuk memberikan kepunyaannya ini kepada istriku ketika ia berkunjung pertama kali. Ketika itu, ia menangis karena isyarat kasih ini. Saya bermimpi suatu hari nanti saya akan bisa kembali mempercayai orang lain. Saya ingin menjadi sosok Kirene itu yang membawa sukacita bagi seseorang,” tulisnya.

Lalu seorang tahanan lain yang akhirnya menyeret seluruh keluarganya ke penjara setelah menjajakan narkoba telah menyebabkan serangkaian peristiwa tragis. Ia pun mengatakan bahwa pada tahun-tahun kelam itu, ia tidak tahu apa yang  dilakukan. “Sekarang saya mencoba membangun kembali hidup saya dengan bantuan Tuhan,” ungkapnya.

Seorang tahanan lainnya menulis tentang kejatuhan ketiga Yesus sembari mengingat seringkali anak-anak terjatuh ketika belajar berjalan. “Saya mulai berpikir bahwa ini adalah persiapan saat ketika kita terjatuh sebagai orang dewasa,” katanya.

Ia mencatat bahwa di dalam penjara bentuk keputusasaan terburuk adalah berpikir bahwa hidup tidak lagi memiliki makna. “Ini adalah penderitaan terbesar: dari semua orang yang kesepian di dunia, kamu merasa seperti orang yang paling kesepian,” katanya sembari berkhayal pada hari ketika ia dapat bertemu dengan cucunya di luar penjara, ia akan memberitahunya tentang kebaikan yang ia temukan ketika di sana, bukan kejahatan yang dilakukan.

Sedangkan ibu dari seorang tahanan merenungkan ketika Yesus bertemu ibunya sendiri, Maria. Ia secara jujur mengakui ketika mendengar putusah hukum yang dijatuhkan pada putranya, ia tergoda untuk meninggalkannya. “Saya merasa Bunda Maria dekat dengan saya: dia membantu saya untuk tidak putus asa dan mengatasi rasa sakit. Aku memohon belas kasihan yang hanya bisa dialami oleh seorang ibu, sehingga putraku dapat hidup kembali setelah membayar kejahatannya.”

Berbeda dengan yang lain, seorang katekis penjara merenungkan saat Veronica mengusap wajah Yesus. Sebagai seseorang yang bekerja dengan tahanan setiap hari ia mengungkapkan pekerjaannya bukan saja mengajar tetapi menghapus banyak air mata, membiarkannya mengalir tak terkendali dari hati yang hancur. “Air mata mereka timbul dari kekalahan dan kesepian, penyesalan dan kurangnya pemahaman. Saya sering membayangkan Yesus di sini sebagai pengganti saya. Bagaimana Dia menghapus air mata?. Ia pun menemukan jawaban dari Kristus sendiri untuk tidak takut bersama mereka yang menderita.

Seorang guru penjara, merenungkan tentang Yesus yang dilucuti pakaiannya. Ia mencatat bahwa ketika seseorang pertama kali masuk penjara, mereka juga dilucuti banyak hal, dan tidak berdaya, frustrasi oleh kelemahan mereka, bahkan sering kali kehilangan kemampuan untuk memahami kesalahan yang telah dilakukan.

Sedangkan seorang imam yang dituduh melakukan kejahatan dan menghabiskan 10 tahun hidupnya dalam penjara merenungkan mengenai Yesus yang dipaku pada kayu salib. Sebelum dibebaskan setelah sidang ulang, ia mengatakan sering membaca kembali bagian-bagian Injil penyaliban dan kematian Yesus.

Seperti Yesus, “Saya menyadari bahwa saya adalah seorang pria yang tidak bersalah yang dipaksa untuk membuktikan ketidakbersalahannya,” katanya. Ia mencatat pada hari di mana ia akhirnya dibebaskan, “Saya mendapati diri saya lebih bahagia daripada sepuluh tahun sebelumnya. Saya mengalami sendiri Tuhan bekerja dalam hidupku. Tergantung di kayu salib, saya menemukan arti imamat saya.”

Berbicara tentang keseimbangan antara keadilan dan harapan, seorang hakim sipil yang menulis tentang Yesus yang mati di salib mengatakan ia membagikan hukuman, tetapi keadilan sejati hanya mungkin melalui belas kasihan yang tidak menyalibkan seseorang selamanya. Hal ini menjadi panduan dalam membantunya untuk bangkit dan menyadari kebaikan, untuk semua kesalahan yang telah ia lakukan.

“Tidak mudah dihadapkan dengan seseorang yang menyerah pada kejahatan dan merugikan orang lain dan kehidupan mereka. Di penjara, sikap acuh tak acuh dapat membuat kerusakan lebih lanjut dalam sejarah seseorang yang telah gagal dan membayar utangnya ke pengadilan, ”tulis seorang petugas koreksi. Ia mengatakan setiap orang dapat berubah, tetapi mereka harus melakukannya dari diri mereka sendiri dan ini harus dihargai.

Sedangkan seorang bruder yang menjadi sukarelawan di sebuah penjara mengatakan bahwa ia berterima kasih atas kesempatannya melayani. “Kita orang Kristen sering jatuh ke dalam ilusi perasaan bahwa kita lebih baik daripada yang lain,” katanya, mencatat bahwa Yesus menghabiskan hidupnya di antara para pelacur, pencuri dan penderita kusta.

“Bahkan di dalam orang-orang yang paling buruk, dia selalu ada di sana, walaupun tersamar,” ungkap sukarelawan itu. “Aku hanya perlu menghentikan langkahku yang sibuk, berhenti dalam keheningan sebelum bertemu dengan wajah-wajah yang dirusak oleh kejahatan dan ketika bertemu mereka, mendengarkannya dengan belas kasih.”

Felicia Permata Hanggu

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here