Maria Magdalena Sutanti: SALING MEMBANTU, MENJAGA, DAN MENDUKUNG

421
Maria Magdalena Sutanti (Dok. Pribadi)
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM Ia ahli di bidang pergigian. Saat didapuk sebagai pemimpin Puskemas, ia mengaku justru belajar banyak hal di sana. Kini, ia dipercaya sebagai penanggung jawab satuan tugas Covid-19 di institusinya. 

SEJAK kecil Maria Magdalena Sutanti terinspirasi oleh tetangganya yang adalah dokter gigi. Ia kepincut untuk menjalani profesi tersebut. Harapan itu perlahan-lahan mulai tampak ketika Tanti, sapaannya, lulus dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tahun 2005. Ia lalu bekerja di Puskesmas Limbangan Kendal, Jawa Tengah dan melayani pasien gigi di Klinik Gigi Gereja Mater Dei, Semarang. Saat itu, Tanti masih berstatus Pegawai Tidak Tetap (PTT).

Selesai masa PTT selama tiga tahun, ia berkarya di Palah Merah Indonesia (PMI). Tahun 2002, ia diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Ia memberanikan diri untuk membuka klinik sendiri. Semula, kenang Tanti, hanya ada tiga atau empat pasien yang datang kepadanya dalam sepekan. Pada 2004, datang tawaran kerja sama dari PT Jamsostek. Menurutnya, praktik sebagai dokter di Jamsostek kurang banyak dilirik karena pemasukannya kecil. Tapi, baginya, dirinya menjadi dokter gigi bukan untuk mengumpulkan mamon. Ia ingin menolong banyak orang dari seluruh lapisan masyarakat.

Ada pasien yang membalas jasanya dengan buah atau makanan ringan. Ada juga yang cukup mengatakan terima kasih. Ia menerima pemberian pasien dan memperlakukan mereka secara baik seperti pasien lain. Berkarya sebagai tenaga medis, menurutnya, tak sekadar mengobati pasien tapi juga menjadi pendengar berbagai persoalan dan kisah mereka secara baik.

Beberapa anggota Tim Gerak Cepat Penanganan Korona Puskemas Poncol Semarang. (Dok. Pribadi)

 

Tanti membagikan masker kepada para penjual di pasar. (Dok. Pribadi)

Pucuk Pimpinan

Sedari nol hingga punya jam terbang tinggi, Tanti tetap rendah hati dalam pelayanannya. Dalam tempat karyanya yang baru, sembari praktik di rumah, ia berkarya di salah satu Puskesmas tertua di Semarang, yakni Puskesmas Poncol. Puskemas itu berdiri sejak 1973. Terletak di daerah Johar, sebelah kantor pos, Puskemas itu semula bernama Reganan. Pada 1977, Puskemas itu pindah ke Jalan Imam Bonjol 114, persis di depan Stasiun Kereta Api Poncol.

Puskemas ini membawahi sembilan kelurahan di Kecamatan Semarang Tengah. Puskesmas Poncol ini memiliki keunggulan di program HIV/AIDS dan memiliki klinik VCT, yakni klinik untuk pemeriksaan atau test HIV, dan membuka layanan extra time pada sore hari seminggu dua kali.

Tanti mengatakan, Puskesmas ini juga memiliki program unggul yang belum dimiliki Puskesmas lain, yakni adanya Klinik Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM), untuk rehabilitasi narkoba putaw, dan sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL). Uniknya, Puskesmas Poncol ini pun memiliki mitra, yakni pekerja seks komersial, transpuan, gay, dan mantan pecandu narkoba.

Sebelum di Puskesmas Poncol, ia menjadi dokter gigi fungsional di Puskesmas  Rowosari, kemudian dipindah di Puskesmas Bulu Lor. Lima tahun ia berkarya sebagai dokter gigi biasa di Puskesmas tersebut, kemudian diangkat menjadi kepala Puskesmas Bulu Lor. Enam tahun menjadi Kapus Bulu Lor barulah ia dipindahkan dan menjadi pemimpin Puskesmas Poncol. Saat ini ada 44 pegawai dan sembilan tenaga surveyor kesehatan. Mereka akan terjun langsung ke masyarakat untuk menggali informasi, penyelidikan epidemiologi.

Sebagai pucuk pimpinan, ia menyadari bukanlah sesuatu yang mudah tatkala harus memimpin anggota yang adalah dokter dan perawat senior pendahulunya. Namun, ia mengembangkan semangat kepemimpinannya dengan melayani secara total, memperhatikan keutuhan pegawai dalam karya.

“Saya selalu menanamkan dalam diri saya, dan kemudian juga saya menularkan kepada yang lain, bahwa pasien itu adalah “raja” yang harus kita layani dengan baik. Pasien tidak pernah salah, kalau ada complain dari pasien sekali lagi kita kembalikan bahwa pasien adalah raja.  Dulu saya cuma tahu pergigian saja, setelah jadi kepala Puskesmas, harus bisa menguasai semua program Puskesmas,” ungkap kelahiran Semarang, 19 Mei 1971 ini.

Garda Terdepan

Selama wabah Covid-19 ini, banyak masyarakat datang ke Puskemasnya. Itu artinya, ia bersama rekan-rekannya bekerja keras. “Saya bersama anggota dengan sigap membentuk Tim Gerak Cepat. Mereka sebagian akan investigasi ke masyarakat. Kemudian kami bekerja sama dengan lintas sektoral (Kapolsek, camat, Koramil, lurah) untuk penyemprotan disinfektan ke rumah warga dan pemamtauan lingkungan,” tutur alumna Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang ini.

Sebelum Covid merebak, tutur Tanti, ia bersama timnya sudah mensosialisasikan kepada masyarakat, institusi pendidikan, kader, dan sebagainya akan virus itu. Pada saat pandemi di Semarang, kendala yang dirasakan adalah mencari Orang Dalam Pemantauan (ODP) yang pindah alamat, menginap di hotel, kemudian kalau sudah bertemu ada kendala lagi tatkala ODP tidak mau jujur dalam wawancara untuk memperoleh tracking yang valid jika ada indikasi terjangkit virus tersebut.

Padahal dengan adanya keterbukaan, memudahkan timnya melakukan penanganan intensif. Tim juga sering mendapat perlakuan yang tidak enak dari ODP. Reaksi orang memang beda-beda mengingat pengetahuan mereka yang minim tentang virus ini. Biasanya, ketika mereka jujur, mereka takut mendapat stigma negatif dari masyarakat lain.

Sebagai kepala Puskemas, ia pun sering menampung cerita dan mengambil sikap atas kisah anggotanya berhadapan dengan wabah mematikan ini. Sebagai manusia biasa, mereka juga merasa cemas atau takut tertular. Apalagi Alat Pelindung Diri (APD) terbatas. Harga APD pun terbilang mahal kini. “Namun, saya punya tanggung jawab untuk melindungi mereka. Saya meyakinkan mereka akan pelayanan kemanusiaan ini dan menjaminnya dengan sarana terbaik. Namun saya bersyukur, mereka cepat beradaptasi dengan situasi semacam ini, dan mengambil langkah-langkah yang sigap”, tuturnya.

Saat ini, Tim Gerak Cepat dibekali dengan APD yang memadai. Ia memastikan kecukupan sarana keselamatan itu dengan dana yang tersedia. Tim Gerak Cepat yang digagas Tanti ini terbagi dalam dua tim, satu tim terdiri dari delapan hingga sepuluh orang. Tim ini juga bergerak ke lokasi-lokasi dan terjun ke masyarakat untuk mencatat data sebagai laporan. Sebagai penanggung jawab akan tugas ini, ia tetap pasrah pada kehendak Tuhan. Ia selalu meyakinkan diri, hidup dan mati adalah milik Tuhan.

Menjaga Kesehatan

Tanti amat mensyukuri tugasnya saat ini. Namun, ia tetap selalu mawas diri dan menjaga kesehatan pribadi dan keluarganya. Ia sadar, banyak orang gelisah saat ini akibat korona. Maka, ia mendorong agar timnya selalu siap sedia jika dibutuhkan masyarakat. “Saat ini, banyak waktu saya yang terpakai untuk karya kemanusiaan, dibanding mendampingi anak-anak saya belajar (secara daring di rumah),” ungkapnya.

Situasi sekarang, menurutnya, menjadi pelajaran bagi semua orang, baik tenaga medis maupun masyarakat umum. Saling membantu, menjaga, dan mendukung menjadi kunci untuk memutus rantai penyebaran korona. “Kami, tenaga medis butuh support dan kerja sama masyarakat semua, terlebih dalam doa-doa kita agar wabah ini segera berakhir,” pungkasnya.

Frater Nicolaus Heru Andrianto

HIDUP NO.19, 10 Mei 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here