Komunitas Rahmat Pemulihan : Teman yang Memulihkan Jiwa

1002
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Konotasi negatif soal Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) kian merambat. Komunitas Rahmat Pemulihan hadir sebagai sarana untuk menerima mereka dengan wajar.

Keluarga adalah tempat di mana setiap “luka” disembuhkan. Jika salah satu anggota keluarga sedang mengalami masalah pada kondisi kejiwaannya, hal ini akan berpengaruh kepada anggota keluarga yang lain. Sebut saja misalnya rasa malu yang harus ditanggung saat berjumpa dengan anggota masyarakat di sekitar. Tak jarang, apabila ada satu anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, maka kejadian ini dapat
diikuti penolakan dari lingkungan sekitar.

Kepedulian terhadap masalah inilah yang menjadi perhatian Komunitas Rahmat Pemulihan (KRP). Mereka ada untuk memperhatikan dan mengupayakan kesehatan jiwa. KRP mendampingi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dengan
pendekatan spiritual Katolik. Mereka juga membantu caregiver – seseorang yang merawat dan mendampingi orang sakit, bisa keluarga atau kerabat – agar dapat menjadi pendamping bagi ODGJ agar menemukan kembali “kehidupannya”.

Peduli Caregiver
Awalnya, KRP terbentuk karena adanya keprihatinan terhadap caregiver. Koordinator KRP, Margareta Ibnurini, atau akrab disapa Rini memaparkan, sangat memungkinkan, jika para caregiver dapat menjadi sangat lelah dikarenakan
mendampingi anggota keluarga yang ODGJ. Rini menyadari, apabila satu dari anggota keluarga mengalami gangguan jiwa, hal ini dapat memicu masalah lain di dalam keluarga itu. “Semakin banyak masalah di dalam keluarga, semakin perlu keluarga tersebut ditemani. Kami di KRP menyediakan diri untuk menemani keluarga-keluarga tersebut,” ungkap Rini.

Rini menambahkan, sasaran KRP adalah masyarakat. Kerap kali KRP mengadakan seminar-seminar terbuka. Seminar ini bentuk sosialisasi kepada masyarakat agar mulai memahami gangguan jiwa, sama seperti memahami gangguan pada lambung, tulang, dan sebagainya. Ia melihat, pemahaman soal kejiwaan dalam masyarakat dirasa sangat minim. Kerap kali, masalah ini bahkan dipandang sebelah mata.

Wakil Koordinator KRP, Ineke Suhati, yang sekaligus seorang psikolog, mendukung juga dengan adanya seminar yang terbuka untuk umum. Ineke memaparkan, ODGJ sangatlah beragam. “Ada yang pada tingkat ringan sampai
dengan parah. Gangguannya pun ada yang hanya mengganggu dirinya, terutama gangguan pada tingkat ringan. Tapi ada yang sudah mengganggu orang lain di sekitarnya,” tutur Ineke.

Ineke menegaskan, intinya adalah penanganan yang tepat bagi ODGJ. Penanganan paling efektif bagi ODGJ adalah mendapatkan penanganan medis oleh psikiater, sekaligus psikoterapi oleh psikolog klinis. ODGJ juga dapat mengikuti kegiatan dengan pendekatan biopsikososial yang diadakan oleh lembaga rehabilitasi, sampai yang
bersangkutan siap terjun ke masyarakat lagi.

Tentunya, menyadari begitu banyaknya jenis gangguan jiwa dengan gejala dan cara penanganan yang beragam, maka KRP hadir dengan gerakan penyadaran masyarakat. Untuk tujuan ini, KRP berusaha mengadakan berbagai workshop dengan tujuan memberi pemahaman bagi masyarakat tentang psychological first aid.
Selain sangat berguna untuk para caregiver, diskusi-diskusi tentang penanganan gangguan jiwa semacam ini juga diperlukan bagi masyarakat secara umum. “Workshop semacam ini sebenarnya bermanfaat untuk masyarakat sebagai
pencegahan gangguan jiwa,” ungkap Rini.

Menerima dengan Wajar
Meski terbilang masih baru, perlahan KRP membawa perubahan bagi para anggotanya. Salah satunya terhadap Elisabeth Irene Ganis. Akrab disapa Ganis, umat Paroki St. Arnoldus, Bekasi
Keuskupan Agung Jakarta ini awalnya mendapatkan flyer mengenai dibukanya KRP. Dalam benaknya langsung mempertanyakan, apa ya yang dipulihkan? Saat mengikuti pertemuan perdana, pandangan Ganis terhadap OGJD berubah. “Hari pertama saya melihat banyak orang hebat, semua sedang berjuang untuk sehat. Baik yang pasien atau caregivernya. Entah itu keluarganya, saudara, kerabat, semua berjuang,”
ungkapnya.

Tidak menyangka, setelah pertemuan perdana di KRP, Ganis justru terpanggil mengajak seorang teman dari kelompok Legio Maria di paroki bernama Devi yang mengidap Skizofrenia. “Sepertinya waktu kecil sempat demam tinggi juga, jadi menyerang saraf dan harus dibantu dengan alat pendengaran,” jelas Ganis.

Relasi Ganis dan Devi tadinya dingin. Jujur saja, Ganis mengakui, Devi terkesan jutek. Namun hati Ganis pun luluh setelah pertemuan KRP. “Saat orang-orang menilai negatif pada Devi, saya mulai menerima Devi secara positif. Dia punya kekurangan, tapi dia punya kelebihan tersendiri. Saya pun merekomendasikannya gabung ke KRP,”
katanya.

Ganis memang bukan seperti caregiver pada umumnya. Ia tidak mendampingi Devi secara intesif, yang setiap hari mendampingi, tetapi tidak melepaskannya begitu saja. Awal-awal, Devi selalu
mengingini apa yang ia mau. Apalagi kalau sedang di jalan, misal di Trans Jakarta. Ia tidak mau berbagi tempat dengan orang. Perlahan, Ganis mendampinginya, membimbingnya secara perlahan. Sekali dua kali mereka pergi ke KRP bersama. Tetapi Ganis pun tidak memanjakan. Ia
menuntun Devi dari jauh. “Walaupun saya membiarkannya naik angkutan umum sendiri, diam-diam dari belakang saya ikuti,” jelasnya.

Ganis mengakui, kejiwaan menjadi topik tabu atau sensitif . “Tetapi dengan munculnya KRP, kita sebagai umat dihimbau untuk menerima ODGJ dengan wajar. Saya sama sekali tidak rugi dengan
bergabung disini,” tegasnya.

Pastoral Kreatif
Sejauh ini KRP berdiri secara mandiri, artinya, Rini menjelaskan, KRP berkegiatan dengan kemampuan sendiri. Gereja di KAJ terbuka, dan KRP sudah dikunjungi Romo Edi Muljono SJ Vikep Katagorial KAJ pada bulan November 2019. Ada banyak kegiatan yang seharusnya bisa KRP lakukan, tapi masih ada kesulitan waktu, tenaga dan dana. “Itu sebabnya kelihatannya KRP kurang cepat maju. ya, tidak masalah karena komunitas kan memang harus mengalami dulu pembentukan akar yang baik,” ungkapnya.

Rini pun bersyukur mendapatkan kemurahan hati dari Pastor Paroki Bidaracina, Romo Blasius Sumaryo, SCJ untuk mempergunakan ruang di Gedung Hati Kudus Yesus sehingga KRP punya
rumah tempat bertemu. Ke depannya, yang menjadi tantangan adalah bagaimana bisa semakin banyak caregiver dan ODGJ diperhatikan kesejahteraan jiwanya.

Bagi Rini, membuat jiwa yang sehat itu penting. Jika orang bisa bersyukur atas Rahmat Allah biasanya jiwanya dalam keadaan bahagia dan sehat. “Pendampingan yang kami lakukan setiap
hari melalui WhatsApp Group selalu diusahakan penuh pujian, kegembiraan, dan dengan begitu kami harap walaupun anggota kami memiliki masalah tapi dengan selalu bersyukur semoga caregiver merasa lebih ringat sehingga dapat
mendampingi ODGJ. Diharapkan pula, ODGJ bisa stabil bila hatinya bahagia, asalkan tetap disiplin minum obat sesuai dosis dokter,” paparnya.

Romo Moderator Sementara, Pastor Donatus Kusmartono, SCJ mengatakan, bahwa KRP merupakan salah satu pelayanan yang harus ditanggapi oleh Gereja. Awalnya, Romo Kus sapaannya, hanya sebatas diminta oleh KRP untuk
Misa. Setelah beberapa kali datang dan memahami, sejauh yang ia amati, jika ada aksi seperti pengobatan massal, akan lebih mengarah ke kondisi secara fisik. Menurutnya, kesehatan mental belum tertangani secara mendalam oleh Gereja.

Menurut Romo Kus, kegiatan pendampingan semacam ini perlu juga dikembangkan agar umat menjadi terbantu. Gereja mesti menangkap, bahwa ini suatu peluang pastoral untuk melihat tanda-tanda kebutuhan dunia boleh dikatakan. “Ini pastoral yang kreatif, artinya KRP mencoba menanggapi kebutuhan umat sehingga pantas
mendapatkan perhatian dari Gereja,” pungkasnya.

Karina Chrisyantia

HIDUP NO.05 2020, 2 Februari 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here