JIWA PEMAIN

199
Kontributor/Konsultan HRD
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Menjadi seorang player berarti bahwa kita menggunakan kebebasan yang kita miliki untuk memilih tindakan-tindakan kita yang dapat membawa kita bergerak maju.

 KETIKA Covid-9 mulai mewabah di negara kita, diskusi mengenai apa yang harus dilakukan pemerintah begitu ramai di social media. Setiap orang memiliki pendapat. Sebagian menuntut lockdown segera diberlakukan untuk mencegah penyebaran virus lebih jauh lagi. Sebagian lagi mengkhawatirkan dampak lockdown terhadap kegiatan perekonomian terutama pada mereka yang memang harus keluar rumah untuk mencari penghasilan.

Pada akhirnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pun diberlakukan dengan segala aturan mainnya. Banyak orang yang karena pekerjaannya mengharuskan mereka untuk tetap beraktivitas di luar rumah berkomentar, lebih baik mati karena virus daripada keluarga mati kelaparan. Ada kalanya kita berhadapan dengan situasi seperti ini, saat-saat kita merasa tidak berdaya karena keadaan yang terjadi.

Kondisi ekonomi yang membuat anak-anak sulit bersekolah, anggota keluarga atau diri sendiri yang menderita sakit berkepanjangan, sempitnya lapangan kerja, bencana alam, atau bahkan sekedar situasi kantor yang tidak kondusif karena atasan yang otoriter maupun klien yang terlalu menuntut. Dalam situasi-situasi seperti itu biasanya ramai kicauan baik yang sekadar menyindir sampai pada tuntutan keras agar pihak-pihak yang berwenang melakukan sesuatu untuk perbaikan. Media sosial juga sering ramai dengan curcol-curcol karyawan  yang merasa dizolimi.

Situasi hidup yang begitu menantang memang bisa membuat kita merasa tak berdaya, merasa hidup tidak adil dan berhak menyalahkan pihak lain yang kita anggap lebih memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk membuat perubahan.

Pertanyaannya, apakah berteriak-teriak, menuntut pihak lain akan membuat hidup kita menjadi lebih baik? Kita memang perlu menyuarakan ketidakadilan, melakukan aksi sosial untuk menuntut perubahan. Namun sampai perubahan benar-benar terjadi, apakah ada hal lain yang bisa kita kerjakan untuk selangkah lebih dekat pada perubahan yang kita inginkan?

Victim vs Player Mindset

Fred Kofman dalam bukunya Conscious Business menjelaskan mengenai dua peran yang bisa kita ambil manakala kita menghadapi situasi yang memberikan perasaan frustrasi. Kita bisa mengambil peran sebagai korban yang  teraniaya, pihak lemah yang harus dilindungi.  Di sini harga diri kita akan aman karena sebagai korban, kita tidak bersalah, tidak memiliki tanggung jawab terhadap solusi masalah. Kita bahkan bisa menyalahkan orang lain dan memberikan tanggung jawab itu pada mereka.  Kita bukan bagian dari masalah tersebut.

Peran yang lain adalah pilihan yang lebih sulit karena berisiko untuk gagal, berpotensi untuk disalahkan dan harus memikul tanggung jawab. Namun ia juga bisa menjadi sumber energi yang memberikan kekuatan pada diri kita ketika kita merasa dapat melakukan sesuatu yang berkontribusi pada perubahan. If we do not see ourselves as part of the problem, we cannot feel part of the solution. Menjadi seorang player berarti bahwa kita menggunakan kebebasan yang kita miliki untuk memilih tindakan-tindakan kita yang dapat membawa kita bergerak maju. Hidup memang penuh batasan, tetapi setiap manusia memiliki kebebasan yang absolut untuk menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap setiap situasi kehidupan.

Pada tahun 1963 terjadi kebakaran besar yang menghanguskan hampir seluruh Bukit Gendol dan Ampyangan di Desa Geneng, Bulukerto, Wonogiri sehingga membuat warga kesulitan mendapatkan air. Warga harus berjalan jauh dari rumah dan mengantri lama untuk mendapatkan air bersih. Tak jarang konflik antarwarga terjadi untuk memperebutkan air bersih.

Pada tahun 1996, Bapak Sadiman seorang warga di bukit tersebut memutuskan untuk menanami bukit gersang itu dengan berbagai macam pohon yang bisa menyimpan air. Seorang diri ia melakukan semuanya. Mulai dari mencari bibit sampai menanam dan merawat pohon-pohon itu satu persatu.  Buah dari kerja kerasnya bisa dirasakan oleh 800 warga bukit itu 20 tahun kemudian, kebutuhan air bisa terpenuhi dengan mudah bahkan dalam musim kemarau sekalipun.

Pak Sadiman  menjadi salah satu Kick Andy Heroes dalam bidang lingkungan. Pak Sadiman bisa memilih bersikap seperti warga lain yang mengeluh, berharap agar pemerintah lebih memperhatikan nasib mereka, atau mengambil aksi nyata untuk membuat perubahan. Kedua pilihan pasti memiliki konsekuensinya masing-masing. Dan ia memilih untuk melakukan sesuatu demi mewujudkan impiannya akan hidup yang lebih baik, meskipun dibutuhkan waktu 20 tahun.

Tidak ada orang lain yang lebih tepat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, selain mereka yang menderita dari masalah tersebut karena mereka pastinya memiliki motivasi terbesar untuk menyelesaikannya, terlepas dari siapapun penyebab masalah itu terjadi. Bila kita mengharapkan orang lain yang tidak mengalami kesusahan dalam masalah yang kita rasakan ini untuk menjadi penanggung jawab, tidakkah hal tersebut akan menjadi harapan yang terlalu tinggi?

Everything can be taken from a man but one thing: the last of the human freedoms—to choose one’s attitude in any given set of circumstances, to choose one’s own way.” – Viktor Frankl

 

Emilia Jakob, Kontributor/Konsultan HRD

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here