Berbisnis dengan Hati, Bisakah?

276
St. Sularto, Kontributor, Wartawan Senior
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM– JUDUL tulisan di atas mungkin langsung dicibirkan. Omong kosong. Utopis. Bisnis itu yang dicari kan keuntungan atau laba, baru yang lain-lain. Hukum besi ekonomi, pengeluaran sekecil-kecilnya pemasukan sebanyak-banyaknya. Berbisnis dengan hati itu kontradiktif, contradictio in terminis (bertentangan pada akhirnya), sudah dengan sendirinya saling meniadakan.

Tetapi tidak bagi Sudhamek AWS. Dengan bukunya Mindfulness Based Business. Berbisnis dengan Hati (MBB), terbit awal bulan ini, ia membalikkan keraguan dan sinisme orang. Mindfulness yang diterjemahkan sebagai kesadaran agung, acuan berbisnis yang berkebalikan dengan Profit Obssesed Company (POC). Dalam konsep POC keuntungan adalah tujuan, dalam MBB keuntungan itu cara.

Perbedaan antarkeduanya terletak pada pandangan tentang laba, tentang cara mendapatkan, tentang cara menggunakan, dan bersumber dari sikap batin masing-masing pelaku bisnis. Baik usaha yang mindful maupun yang tidak, mengusahakan keuntungan, punya tujuan berkembang dan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi stakeholders.

Konsep dan refleksi dari praktik (praksis) Sudhamek (Garudafood Group, Global Sevilla School, DAW Group, Koperasi Simpan Pinjam  Maju Wijaya) mirip dengan yang dikembangkan PK Ojong dan Jakob Oetama dengan grup Kompas Gramedia. Jakob memakai istilah “bekerja dengan hati”. Secara tidak langsung mereka mempraktikkan kebijaksanaan Jawa, tuna satak bathi sanak (rugi dari sisi uang tetapi untung dalam persaudaraan); bukan melulu memburu keuntungan (profit).

Alih-alih urusan bisnis, untuk urusan yang lain-lain pun, sudah harus keluar uang. Minta izin yang seharusnya gratis, perlu ongkos, pakai uang. Dua contoh sedang aktual dan memalukan. Minta lolos tender  jadi eksportir besar kecilnya upeti menentukan. Bansos yang diberikan untuk orang terpapar covid, diduiti untuk kantong pejabat. Transaksional. Tidak ada makan siang gratis. Sogok menyogok menyatu dengan bisnis. Menggunakan kesempatan di tengah kesempitan.

“Gila. Atau ini mendahului zaman?” tanya Andy. Namun, setelah membaca bukunya dan mendengarkan penjelasan Sudhamek, tanggapan itu dia koreksi. Bukan sebuah ide gila, bukan ide yang mendahului zaman.

Kembali ke rumusan MBB, penilaian awal umum disampaikan Andy F. Noya, host Kick Andy, penanggap waktu peluncuran buku. Ia katakan di awal tanggapan, bisnis dan spiritualitas tidak bisa disatukan. Menabrak kenyataan.

MBB ditemukan dari praksis selama ini. Awalnya ditemukan istilah spirituality (spiritualitas), seiring dengan praktik berbagai usaha bisnis didasarkan atas mindfulness, akhirnya spiritualitas menjadi dasar organisasi usaha.

Merujuk berbagai teori manajemen, diramu dengan pengalaman—tentu diperkaya dengan agama Buddha yang dianutnya dan budaya Jawa yang dihidup sejak kecil—konsep berbisnis dengan hati adalah temuan genuine Sudhamek bersama grup perusahannya. Di antaranya pemikiran ahli manajemen Peter F. Drucker dengan salah satu bukunya Landmark of Tomorrow, 1959 yang mengingatkan kapitalisme harus mengambil nilai-nilai spiritual agar bisa survive dan sustain; Stephen R. Covey tentang kebutuhan rohani dan jasmani (need to live, need to learn, need to love, need to a legacy) dalam The Seven Habits of Highly Effective People, 1990.

Mengerem Nafsu Serakah

Meskipun tidak dikatakan dan ditulis secara eksplisit, praksis keberimanan Sudhamek sebagai penganut Buddha, kental mewarnai praksis pengelolaan bisnisnya. Kebiasaan rutin setiap saat diam dan berdoa, utamanya sebelum awal bekerja di pagi hari dan akhir hari, tanpa sadar membangun dirinya sebagai sosok yang cinta damai, dengan sesama termasuk dengan semua ciptaan.

Kebiasaan itu pula yang mendasari pengembangan usahanya jauh dari nafsu serakah (greed). Keuntungan berusaha adalah berkah dari eksistensinya sebagai manusia sebagai bagian dari alam ciptaan. Keuntungan adalah berkah dari usaha yang dijalankan secara etis. Harta dan keuntungan hasil kerja keras berfungsi sosial seperti yang dianut dan dijalankan Jakob dengan bisnisnya Kelompok Kompas Gramedia.

Di masa pandemi, ketika orang mulai dihadapkan terjadinya perubahan gaya hidup  antara sebelum dan sesudah virus Corona menjalar, ke depan orang mulai memunculkan berbagai harapan. Di antaranya nafsu serakah manusia mengerkah lingkungan sebelumnya, tergantikan sikap lebih santun terhadap alam lingkungan. Munculnya virus ditempatkan sebagai bagian dari alam yang membuat keseimbangan, yang menunjukkan eksistensinya, yang selama ini dikerkah oleh nafsu serakah manusia. Dalam konteks itu bencana alam dan banjir atau gunung meletus bisa ditempatkan sebagai bagian dari upaya alam mencari keseimbangan diri.

Dan, ketika orang mencari dan mengharapkan sistem ekonomi yang berkeadilan, secara langsung konsep praksis ini menawarkan diri sebagai pilihan. Bahwa keserakahan manusia sebagai homo technoeconomicus yang mendominasi selama ini—mentok ketika terjadi pandemi—perlu berganti haluan kembali menjadi homo ecoreligiosus. Sebuah istilah yang dikembangkan Rama L. Andang Binawan SJ: 2020, dari pemikiran filsuf Polandia, Henryk Skolimowski, yang concern pada masalah lingkungan hidup, dalam arti luas seluruh alam ciptaan termasuk manusia. Survival manusia tidak bisa lepas dari survival mahkluk lain seperti yang diingatkan sebagai pesan moral Laudato Si oleh Paus Fransiskus tahun 2015.

Di sini setidaknya terjawab pertanyaan: bisakah berbisnis dengan hati? Dengan MBB yang tidak hanya konseptual tetapi sebagai praksis Sudhamek dengan bisnisnya, berbisnis dengan hati bahkan menjadi keniscayaan; prasyarat sebuah kehidupan yang harmonis, yang berkeadilan, dan bukan kehidupan yang saling mengerkah. Ketika nafsu serakah manusia sebagai homo technoeconomicus tiba-tiba mentok karena wabah, di sana menunggu diselenggarakan gaya hidup yang serba berkeadilan. Kesadaran manusia terhentak sebab secara radikal sikap dan perilaku manusia berubah. Dimensi transenden dan dimensi imanen bertemu dalam satu kehidupan di sini dan saat ini (hic et nunc).

Di saat yang sama, pandemi berkontribusi pada kondisi kehidupan yang sedang menyiasati Revolusi Industri 4.0. Pandemi Covid tiba mendompreng kondisi disruptif digital. Dalam era demikian, pasca-pandemi, yang dibutuhkan adalah pemimpin dan kepemimpinan yang terbuka terhadap perkembangan teknologi, terbuka terhadap kerja sama pun dengan siapa pun termasuk yang berbeda pendapat, bukan membentak-bentak memaksakan kebenaran versi sendiri. Pemimpin masa depan adalah pembelajar yang bisa mempertanyakan kebenaran suatu pernyataan dan berefleksi kritis (J. Haryatmoko SJ: 2020) atau berkesadaran agung menurut istilah Sudhamek.

St. Sularto, Wartawan Senior, Kontributor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here