Amat Perlu bagi KWI dan Keuskupan-keuskupan Membentuk Komisi Pendidikan Tinggi

339
Adrianus Meliala, Guru Besar FISIP UI, Koordinator Paguyuban Dosen UI Katolik, Penasehat Ikatan Dosen Katolik Indonesia
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOIK.COM – APA ada Komisi Pendidikan Tinggi di Kantor KWI? Memang tidak ada. Tepatnya, belum ada. Ini adalah usulan penulis yang merupakan inti tulisan ini.

Jika berdasarkan kemiripan, maka yang ada di KWI adalah Komisi Pendidikan. Dari sudut kalangan yang menjadi peserta pendidikan, maka terdapat Komisi Kepemudaan. Komisi Jika terbentuk, Komisi Pendidikan Tinggi sebenarnya mengurusi apa yang tidak diurus oleh dua komisi tersebut, sehingga mempertajam penetrasi Gereja terkait perkembangan umat dan masyarakat.

Bermula dari keterlibatan penulis yang intens di perkumpulan para dosen Katolik di Universitas Indonesia penulis melihat ketiadaan struktur di tingkat keuskupan dan lanjut ke tingkat KWI, maupun fungsi kategorial yang bertanggung jawab menyangkut dinamika dosen Katolik. Ini tentu disayangkan mengingat peran dosen yang amat strategis dewasa ini.

Terdapat 2 (dua) kelompok besar dosen Katolik: yang mengajar di lingkungan Perguruan Tinggi Katolik dan yang mengajar di lingkungan Perguruan Tinggi Non-Katolik. Terkait kelompok pertama, tentu tidak ada masalah. Selain berjumlah cukup besar, para dosen di sana tentu nyaman berkat dukungan lembaga yang berafiliasi Katolik. Yang repot adalah kelompok kedua. Adakalanya jumlah mereka di suatu perguruan tinggi (baik negeri atau swasta) hanya berbilang jari, sehingga sulit membentuk suatu komunitas doa sekalipun. Konon, jumlah total seluruh Dosen Katolik mencapai 5 ribu orang di seluruh Indonesia.

Selain menyangkut pendampingan sehari-hari bagi para dosen, masalah pastoral lainnya adalah menyangkut aktivitas keilmuan. Satu contoh adalah perihal dosen yang memiliki kualifikasi mengajar mata kuliah Agama Katolik. Apakah setiap romo atau frater lalu bisa mengajar? Yang juga penting adalah persoalan apa yang menjadi silabus dari mata kuliah Agama Katolik. Juga sering muncul persoalan etis dalam dunia akademik, dimana seorang dosen Katolik mengalami dilema antara mengedepankan perannya sebagai ilmuwan atau sebagai seorang Katolik saat membuat sebuah penelitian.

Untuk membantu menjawab hal-hal tersebut, penulis menganggap Komisi Pendidikan Tinggi baik di KWI maupun keuskupan-keuskupan akan berperan besar.

Seiring keterlibatan di kalangan dosen Katolik, penulis juga melihat kelompok alumni Katolik sebagai kelompok yang tak pernah digalang secara serius oleh Gereja. Saat telah menikah, maka para alumni tersebut menjadi urusan Komisi Keluarga. Ketika mereka merupakan tenaga kerja produktif, maka selayaknya merupakan urusan Komisi Pembangunan Sosial Ekonomi. Dan ketika mereka aktif di masyarakat, khususnya di sektor publik, maka mereka menjadi urusan Komisi Kerasulan Awam. Potensi alumni ini perlu dirawat dengan pendekatan pastoral khusus agar tidak menjadi masalah baru bagi komisi-komisi sebagaimana disebutkan di atas.

Minimal, bagi almamater mereka sendiri, para alumni adalah pihak yang seringkali mampu mendukung kinerja kampus sebagai lembaga pendidikan tinggi. Para imam yang diterjunkan menjadi moderator alumni tentu bisa mengingatkan almamater maupun mahasiswa agar jangan hanya berinteraksi dengan alumni jika membutuhkan dana saja.

Terkait lembaga  Pendidikan Tinggi Katolik, Gereja Katolik hanya mengenal APTIK (Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik) yang mengkoordinir belasan Perguruan Tinggi Katolik swasta. Kementerian Agama juga mengelola dua puluhan perguruan tinggi Katolik yang memperoleh dukungannya. Namun, belum terlihat strategi besar gereja dalam rangka pengembangan kelembagaan perguruan tinggi pada umumnya. Sebagai contoh, apakah tidak perlu berpikir mengenai pengembangan Perguruan Tinggi Negeri Katolik?

Entitas terakhir yang perlu disebut adalah mahasiswa. Mahasiswa Katolik dalam hal ini secara langsung ataupun  tidak langsung disentuh oleh 2 (dua) entitas. Yang pertama adalah Komisi Pendidikan, baik di KWI maupun keuskupan. Namun, melihat sekilas aktivitas komisi-komisi tersebut, tekanan nampaknya lebih pada pendidikan dasar dan menengah.

Yang kedua adalah Paroki Mahasiswa, yang dikelola oleh keuskupan. Walau namanya paroki, namun entitas ini tidak memiliki wilayah dan aktivitasnya lebih terkait dengan perguruan tinggi yang terdapat di seputar Paroki Mahasiswa tersebut. Sejauh amatan penulis, keberadaan Paroki Mahasiswa amat tanggung, kalau tidak mau dikatakan tidak pas, terkait pengembangan orang muda entah sebagai mahasiswa, sebagai calon alumni dan juga sebagai calon ilmuwan.

Mempertimbangkan penjelasan di atas, nampaknya sudah amat perlu bagi  KWI dan keuskupan-keuskupan membentuk Komisi Pendidikan Tinggi. Sudah dijelaskan bahwa tugasnya adalah menyusun strategi terkait pengembangan Dosen Katolik, Lembaga Pendidikan Tinggi Katolik, Alumni UI Katolik serta Mahasiswa Katolik. Keempatnya pada dasarnya membentuk siklus yang terkait erat.

Keberadaan komisi ini dengan demikian mengurangi beban komisi-komisi yang terkait (Komisi Pendidikan, Komisi Kepemudaan dan sebagainya). Sekaligus, komisi ini  akan menambah relevansi Gereja di tengah masyarakat yang semakin terdidik dewasa ini.

 Adrianus Meliala, Guru Besar FISIP UI, Koordinator Paguyuban Dosen UI Katolik, Penasehat Ikatan Dosen Katolik Indonesia

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here