Mahalnya Nilai Sebuah Kebebasan, Mengenang Myanmar

291
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Tahun 2012 pertama kalinya saya mengunjungi Myanmar, dua tahun setelah pemimpin gerakan demokrasi negara itu, Aung San Suu Kyi, dilepaskan dari tahanan rumah oleh rezim militer. Militer Myanmar sudah berkuasa sejak terlepas dari jajahan Inggris.

Saat itu masih sangat sulit bagi orang asing masuk ke sana. Untuk mengurus visa ke Myanmar harus lewat Bangkok, Thailand. Ketika menginjakan kaki di Yangon, saya seakan berada di negeri antah beranta. Akses telepon sangat sulit karena itu komunikasi dengan orang di luar Myanmar termasuk dengan keluarga sangat terbatas. Satu-satunya cara berkomunikasi lewat telepon satelit. Karena itu setiap kali harus ke Myanmar, kita seolah ditelan bumi. Jalan-jalan sangat sepi, hanya ada beberapa taxi tua yang kadang lewat.

Waktu itu saya kebetulan bekerja untuk sebuah organisasi Katolik yang berbasis di London, Inggris dan lembaga itu fokus pada masalah-masalah pembangunan dan kebijakan publik. Selama bertahun-tahun lembaga tersebut telah membantu Myanmar atau Burma lewat jaringan Gereja Katolik di sana dan juga membantu para pengungsi Myanmar yang tinggal di sepanjang perbatasan antara Myanmar dan Thailand. Lobi-lobi politik juga kami lakukan lewat Parlemen Inggris bersama komunitas-komunitas Katolik di sana agar Inggris bisa lebih menyuarakan masalah hak asasi manusia di Myanmar.

Di lembaga tersebut saya mengoordinasi program untuk Asia Tenggara dengan kantor rejionalnya di Phnom Penh, Kamboja dan mengelola beberapa program yang salah satunya fokus untuk Myanmar. Karena itu bisa dibilang cukup familiar dengan berbagai persoalan tentang Rohingya, kepentingan Tiongkok untuk membuka akses pipeline yang membentang dari tempat produksi gas (Swe Gas) yang berbatasan dengan Bangladesh melewati negara tersebut hingga Yunan di Cina dan berbagai masalah pengungsi di wilayah perbatasan Myanmar dan Thailand.

Salah satu program yang kami lakukan waktu itu adalah membawa anak-anak muda yang potensial keluar dari Myanmar lalu memberikan mereka pelatihan dan beasiswa untuk kuliah agar lebih terbuka wawasan mereka dan pelan-pelan membuat perubahan dari dalam Myanmar sendiri. Sejumlah alumni program tersebut kemudian memilih jalan politik dan beberapa bergabung di partai politik yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, The National League for Democracy (NLD).

Sejak pertama kali ke Myanmar tahun 2012 hingga tahun 2019, hampir setiap tahun saya mengunjungi negara itu untuk urusan pekerjaan. Selama kurun waktu tersebut setiap kali menginjakan kaki di kota Yangon selalu ada sesuatu yang baru. Taxi-taxi tua yang saya temui tahun 2012 pelan-pelan menghilang digantikan mobil-mobil yang baru. Hotel yang dulu hanya bisa dihitung dengan jari pelan-pelan tumbuh memenuhi kota Yangon. Geliat ekonomi dan politik negeri itu cukup terasa sejak NLD menang pemilu. Berbagai kebijakan yang progresif untuk mendorong proses demokratisasi dan keterbukaan terus dilakukan meskipun tentu saja selalu ada kekurangan di sana-sini.

Namun kelihatannya berbagai gerakan perubahan tersebut cukup mengganggu kepentingan bisnis dan politik militer Myanmar yang selama bertahun-tahun berkuasa. Bukan rahasia lagi bahwa jaringan militer di bisnis tambang Myanmar cukup besar dan selama mereka berkuasa tak ada satu pun yang meminta pertanggungjawaban mereka. Sejak proses reformasi bergulir di Myanmar, kepentingan bisnis militer seakan diobrak-abrik dengan berbagai kewajiban untuk membuka kepemilikan perusahaan hingga uang yang mengalir dari perusahaan-perusahaan tersebut ke kas negara.

Militer kelihatannya tidak siap dengan gerakan demokrasi dan keterbukaan yang masif, hingga awal tahun ini memilih untuk menkudeta hasil pemilu terakhir yang kembali dimenangkan oleh NLD. Sekali lagi pemimpin demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi bersama para pendukungnya ditahan paksa oleh Militer.

Sejak itu protes besar-besaran khususnya oleh generasi muda Myanmar terus bergulir. Mereka tidak mundur satu langkah pun meskipun banyak yang telah menjadi korban peluru dan gas air mata.

Kita menyaksikan betapa mahalnya nilai sebuah kebebasan. Kebebasan itu tidak datang secara gratis, banyak nyawa manusia menjadi taruhannya…salah satunya gadis muda berusia 19 tahun yang bernama Kyal Sin. Ya…seperti pesan yang disampaikan dengan kuat dalam kaus hitam yang dikenakannya… Everything will be OK! Rest in Power. Hasta la victoria siempre!

Emanuel Bria, Konsultan di World Bank, Aktivis Pemuda Katolik

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here